Sinar mentari pagi yang lembut membangunkanku. Bang Julian sudah tak lagi di sampingku, tapi bekas hangatnya di tempat tidur gubuk yang sederhana itu seolah bercerita tentang malam yang penuh gairah kemarin. Perlahan, aku bangkit dan mengambil bajuku yang berserakan di lantai. Ada setitik rasa nyeri di dadaku, efek samping dari "pelajaran" yang Bang Julian berikan padaku kemarin.
Saat keluar gubuk, kulihat Bang Julian sedang menyiapkan sarapan di tungku api sederhana yang ada di halaman. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, membuat perutku keroncongan.
"Selamat pagi, Bagas," sapanya sambil melempar senyum yang membuat jantungku berdebar.
"Selamat pagi, Bang Julian," jawabku pelan.
Dia menuangkan kopi ke dalam cangkir enamel dan memberikannya padaku. "Malam tadi... kau luar biasa," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Pipiku langsung merona. Aku menyesap kopiku untuk menyembunyikan rasa malu.
"Tapi," lanjutnya, nada suaranya berubah serius, "ingat peranku tetap dominan. Dadamu memang indah, tapi jangan seenaknya sendiri memamerkannya di depanku."
Perintahnya disampaikan tegas, namun ada nada menggoda di dalamnya. Aku mengangguk patuh. "Iya, Bang Julian," kataku.
Kami menghabiskan sarapan dalam diam, hanya diiringi suara gemericik air dari sumur tua di dekat gubuk. Meski hening, ada kehangatan yang mengalir di antara kami. Mungkin ini definisi tersendiri dari hubungan kami - dominasi yang dibalut rasa percaya dan hasrat.
Setelah sarapan, Bang Julian mengajakku berkeliling kebunnya. Dia menunjukkan berbagai tanaman yang ia tanam, dan sesekali memintaku untuk membantunya menuangkan air ke tanaman-tanaman itu.
Sepanjang hari, Bang Julian bersikap dominan seperti biasanya. Sesekali dia menyentuh dadaku dengan genit, atau memberiku perintah kecil yang harus aku patuhi. Namun, di sela-sela dominasinya itu, kulihat ada senyum dan tatapan lembut yang dia tujukan padaku.
Menjelang sore, kami kembali ke gubuk. Kali ini, suasana terasa berbeda. Ada rasa percaya diri yang tumbuh dalam diriku. Aku masih submisif yang patuh, namun ada setitik keberanian untuk mengeksplorasi keinginan terpendamku.
Saat senja mulai turun, kudekati Bang Julian yang sedang bersandar di dinding gubuk. Dengan suara pelan, aku tanyai, "Bang Julian, bolehkah aku..."
Dia mengangkat sebelah alisnya, seolah menunggu kelanjutan pertanyaanku. Aku sedikit gugup, tapi tekadanku bulat. "Bolehkah aku..." suaraku semakin kecil, "...melakukan sesuatu untukmu?"
Senyum jahil terurai di bibir Bang Julian. "Oh? Dan apa itu, Bagas?"
Degup jantungku berpacu kencang. Rasanya baru kemarin aku takut menatap Bang Julian, apalagi mengajukan permintaan. Tapi malam tadi, di bawah dominasinya, ada secuil keberanian yang mekar di dalam diriku.
"A-aku ingin..." aku jeda sejenak, mengumpulkan keberanian, "aku ingin... memijatmu."
Bang Julian terkekeh pelan. Suaranya yang dalam memecah keheningan sore itu. "Memijat? Serius?"
Aku mengangguk antusias, meski pipiku terasa panas. "Iya, Bang Julian. Bolehkah aku?"
Dia menatapku lekat-lekat, seolah menimbang-nimbang permintaanku. "Kau yakin?" tanyanya, suaranya sedikit menggoda.
"Ya," jawabku mantap. "Aku ingin membalas... atas semua yang kau berikan padaku."
Senyumnya melebar. Ada setitik rasa bangga terpancar di matanya yang tajam. "Baiklah," katanya, "tapi ingat, ini bukan saatnya untuk kau dominan. Kau tetap submisifku, dan aku yang menentukan batasannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan cerita gay season 2
FantasyCerita ini mengandung konten seksual eksplisit gay. Jika lo tidak nyaman dengan hal itu, gue sarankan lo untuk berhenti membaca.