Panawijen di pagi hari diwarnai dengan suara ayam jantan yang berkokok lantang. Para perawan sibuk menumbuk padi yang diambil para ayah dari lumbung, beberapa berangkat ke sungai untuk membasuh diri.
Di antara para perempuan yang tengah mandi di sungai itu, terdapat sesosok jelita yang menandingi eloknya batari di suargaloka. Kelamnya malam ditenun menjadi bagian dari rikma panjang bergelombang sang gadis. Kulitnya yang bersih berkilau seakan-akan dirajut dari benang putih kepunyaan raja terkaya seantero jagat. Bibirnya terlukis dari tanaman abang-abang yang ramai digunakan para gadis untuk mempercantik kuku mereka.
Sudah bukan jadi rahasia bahwa Dedes adalah perempuan terelok yang hidup di sepanjang aliran Sungai Mewek.
Selain karena parasnya yang memukau khalayak ramai, Dedes dikenal sebagai putri dari Purwa yang seorang agamawan sejati. Tak heran orang-orang ramai menyerukan bahwa sejatinya Dedes adalah Uma yang menitis ke Ibu Pertiwi karena terharu akan ketaatan Purwa yang rajin menyepi di tempuran Wurantas yang terletak jauh di Karuman, sisi barat desa mereka.
Para perempuan yang tengah membasuh badannya di tepi Mewek menatap kedatangan Dedes, yang terasa seperti diiringi alunan gending asmara yang mengagung-agungkan kecantikannya. Seluruh perempuan yang berada di sana serentak menghentikan kegiatannya, tak melepas mata dari setiap gerak-gerik Dedes.
Kiranya tatapan-tatapan itu dilemparkan seperti biasa, Dedes tidak akan ambil pusing. Perasaan iri hati para perawan Panawijen atas kecantikannya sudah biasa Dedes hadapi, seperti minum dari sebuah kendi setiap kali ia haus. Kali ini, lebih dari tatapan iri hati yang menancap ke kulit Dedes. Kemurkaan terasa seperti menguliti Dedes hidup-hidup.
"Masih ada keberanian di dalam dirimu untuk tetap tinggal di Panawijen setelah menyebabkan musibah untuk kami?" tanya salah satu dari para perawan yang tadi asyik menggosok tubuhnya dengan air sejuk Mewek sebelum kedatangan sang putri ayu.
Semua perempuan terdiam, tercekat.
Dedes memilih diam.
Ia mencelupkan kaki ke tepian Mewek, lalu melepaskan gelungan rambutnya yang dihiasi bunga kamboja, membasahi ujung-ujungnya dengan menepuk-nepuk tangannya yang telah direndam sekilas ke dalam air.
Seruan lantang perempuan yang murka itu kembali menggema ke seluruh sudut Mewek. "Kiranya kau bisu, kami tidak akan memaklumi tindakanmu, Dedes!"
Masih terdiam, Dedes memilih menyibukkan diri dengan ritual paginya. Jika dikatakan sebagai ritual untuk mendapatkan kulit bersih dan kecantikan yang bersinar yang menyilau mata, sebenarnya tidak juga. Para gadis juga melakukan hal yang sama seperti Dedes, sesekali mandi dengan air bunga supaya wangi, membubuhi lulur di tubuh untuk mengangkat bolot-bolot hitam keabuan, atau bahkan rutin meratus keperawanannya. Namun, tak ada yang berhasil menandingi keelokan Dedes. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kecantikan dimiliki Dedes suatu saat nanti akan mampu membuatnya mencuri hati dan perhatian para batara di kayangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Panawijen
Historical FictionTiap kali melintasi Sungai Mewek, kusempatkan diri untuk berhenti sejenak menikmati alam. Di antara ketenangan yang menyergapku, kurasakan radiasi amarah yang membuncah. Terdengar suara tangis pilu, dan sosok seseorang berjongkok sambil menyembunyik...