Sudah lama sekali mereka berdua berteman, mungkin sejak mereka bisa berbicara. Orang tua Dedes dan Janitra adalah kawan sejak lama dan pertemanan itu menurun kepada mereka berdua. Ketika biyung Dedes meninggal dunia, biyung Janitra yang senantiasa merawatnya. Di saat ayah Dedes bertapa jauh dari Panawijen, orang tua Janitra yang menjaga Dedes. Mereka belajar menari bersama di bawah pengawasan ayah Dedes yang gemar melestarikan budaya, menenun, membatik, dan lain sebagainya. Biyung Janitra mengajarkan cara meracik ramuan obat. Bahkan hal-hal sepele seperti mencuci kain di sungai pun mereka lakukan bersama.
Dengan air mata yang jatuh menderasi pipi, Janitra menatap para perempuan yang hanya diam menatap diculiknya Dedes oleh Sang Akuwu. Begitu sang pemimpin hilang di balik rerimbunan pohon, Balin dan pasukan pun pergi menyusul setelah melepaskan cengkraman dari Janitra.
Tersamarkan sudah kecantikan Janitra dengan ingus dan air mata terbalut di sekujur muka, sementara hidung dan matanya memerah. Tak ia indahkan ruam merah bekas kuku dan cakaran dari pasukan Sang Akuwu saat dirinya berusaha membebaskan diri.
Perempuan itu mengusap ingusnya, menatap Kahiyang seolah-olah tengah merapalkan kutukan di dalam hati.
"Penyihir! Manusia berhati batu!"
Lalu, Janitra lari sekencang mungkin sambil mengucapkan sumpah serapah. Gadis-gadis yang hatinya kotor itu akan segera mendapat ganjaran dari Tuannya. Tatapan keheranan orang-orang yang bekerja di sawah dan tengah menumbuk padi pun luput dari perhatiannya. Yang ada pada pikiran Janitra saat ini: Dedes dan Dedes seorang. Tangisnya semakin pilu ketika mengingat perbuatan keji apa saja yang pernah dilakukan oleh Sang Akuwu terhadap gadis-gadis yang pernah menghangatkan ranjangnya.
Mereka diusir. Dibuang. Bahkan dijadikan pemuas nafsu untuk para bawahan Sang Akuwu. Pernah satu kali beredar kabar menyayat hati, bahwa seorang gadis dari tanah perdikan yang diambil paksa dari kedua orangtuanya, mati dibunuh karena ketahuan jatuh cinta kepada salah seorang prajurit di Pakuwon dan berencana kabur berdua. Sejak saat itu, tak pernah terdengar kabar sang gadis dan kekasihnya.
Dalam tangisnya, Janitra memanjatkan doa kepada Sang Hyang untuk keselamatan sang kawan karib, yang sudah seperti adiknya sendiri itu. Sudah jelas Janitra tak rela jika perempuan sesempurna Dedes menikah dengan Sang Akuwu yang serampangan dan bengis.
Tanpa mengetuk, Janitra masuk mendobrak pintu rumahnya. Kusnan yang tengah duduk di atas kursi sambil menggenggam gulungan lontar pun terkejut, dan buru-buru menyembunyikannya di balik tumpukan kain yang baru dilempit.
"Janitra? Ada apa, Nduk?" tanya Kusnan. Separuh dirinya mengembuskan napas lega karena tahu yang mendobrak masuk adalah putrinya sendiri. Kekhawatiran tumbuh ketika mencermati penampilan berantakan putrinya.
Hanum tiba-tiba muncul dari balik kain kelambu yang memisahkan bagian depan dan belakang kediaman mereka. Perempuan paruh baya itu langsung melesak maju dan mengusap pelipis Janitra yang masih terisak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Panawijen
Historical FictionTiap kali melintasi Sungai Mewek, kusempatkan diri untuk berhenti sejenak menikmati alam. Di antara ketenangan yang menyergapku, kurasakan radiasi amarah yang membuncah. Terdengar suara tangis pilu, dan sosok seseorang berjongkok sambil menyembunyik...