16:37, Ephemeral

25 2 0
                                    

'Krekk...'

Sebuah pintu menuju akses rooftop terbuka perlahan, bersamaan dengan munculnya sosok pria albino yang berjalan menghampiri sang raven di hadapannya.

"Kau lama sekali..." Bisiknya, sorot mata safir itu fokus pada pemandangan senja yang terpampang indah di depan. "Apa butuh waktu selama itu bagimu untuk mengambil keputusan?"

Menggaruk pipi kirinya yang bertato 'barcode', pria itu terkekeh kecil. "Ya... Sebenarnya belum cukup, sih. Tapi kalau mengingat semua yang telah berlalu, sepertinya kali ini keputusanku sudah bulat. Aku ingin meninggalkan semua yang sudah kulalui sejauh ini, dan memulai hidup baru bersamamu."

"Begitu, ya..." Senyuman pahit terlukis di wajah putih bak porselin itu, sementara netra safirnya mulai bertatapan langsung dengan sang albino. "Kau sudah berjuang keras ya, Mafumafu..."

"...Aku juga tidak akan bisa hidup sejauh ini tanpamu, Soraru-san..." Menggenggam tangan lentik Soraru, Mafumafu tertawa getir. "Terima kasih banyak untuk selama ini..."

"Hn..."

Tampak mentari yang berada di ujung sana mulai terbenam ditelan bangunan yang perlahan hanya menunjukkan siluet gelap tersebut. Kedua pasangan itu berdiri diam di atas rooftop, menyaksikan pemandangan  kota yang tidak akan lagi dapat mereka lihat untuk keesokan harinya.

Tentu, semua itu lambat laun hanyalah kenangan. Kenikmatan dalam hidup yang takkan terulang seperti semula. Takkan ada 'save point' yang akan menempatkan kembali ke posisi awal, dan takkan ada 'akhir bahagia' yang menanti di depan. Benar-benar hidup penuh kehampaan, hanya tersisa rasa pahit setiap kali merasakannya.

Dengan begitulah, mereka telah kehilangan arah untuk menyambung hidup.

"Entah mengapa, langit terlihat begitu indah di saat-saat seperti ini..." Soraru bergumam, mengamati garis-garis awan kelam yang terbentang di atas sana.

Melirik ke arah si raven, Mafumafu tersenyum hangat. "Menurutku, Soraru-san yang ada di sini jauh lebih menawan dari langit apapun."

Menoleh ke arah sumber suara, tampak semburat merah muncul di pipi tembam sang raven. Kepalanya menunduk ke bawah, berusaha menahan malunya. "...Kenapa kau sempat-sempatnya mengatakan hal bodoh seperti itu..."

"Eh?" Mafumafu memiringkan kepalanya bingung. "Bukankah itu benar? Apa harus aku beritahu fakta-fakta lainnya betapa cantiknya dirimu saat ini??"

"...! S-sudahlah, nggak ada gunanya kau menggodaku sekarang...!"

"Tapi, meski begitu kau menyukainya, kan?"

"...Ya, baiklah. Kau menang kali ini..."

Benar juga. Rasanya hal seperti ini tidak ada lagi gunanya untuk sekarang.

Tapi apa salahnya jika mereka bahagia untuk terakhir kalinya?

"Dan juga, sebentar lagi matahari terbenam." Menyadari langit yang kian menggelap, Mafumafu lekas memanjat pagar besi yang membatasi rooftop dengan jalanan di bawah sana. "Soraru-san? Kau akan menyusul, kan?"

"Uhh..." Sebaliknya, pria raven itu tampak gemetaran sembari mengintip ke bawah. Begitu bimbang dengan keputusan yang ia pilih. Ah, Mafumafu lupa kalau ia takut ketinggian, alhasil pria albino itu mencoba membujuknya. "Tidak apa-apa. Aku akan melindungimu, jadi tolong sekali ini saja, dengarkan ucapanku.

Kita akan selalu bersama, bukan?"

"..."

Seolah satu kalimat itu berhasil memanipulasi pikirannya, dengan perlahan Soraru menaiki kawat jaring setinggi 5 meter itu lalu mendarat di platform tipis tepat di sebelah Mafumafu. Kemudian, ia menggenggam erat tangan berurat sang albino demi menyangkal ketakutannya.

"Tumben?" Tanya Mafumafu lantas terkekeh kecil. Berbalik memandang ke arah netra ruby itu, Soraru membalas dengan sebuah senyuman pahit. "...Dengan begini kita tidak akan berpisah, kan? Kehangatan ini, aku ingin merasakannya untuk terakhir kali..."

Sungguh kalimat yang tidak biasa. Paling tidak saat Mafumafu menyadari tatapan safirnya yang tampak berkaca-kaca, pria albino itu memutuskan untuk membuka suara. "...Soraru-san... Padahal kau yang mengajarkanku arti kehidupan, dan kau juga yang selalu membimbingku hingga aku dapat bertahan sampai sekarang... Tapi kenapa, kau harus berbuat sejauh ini...?"

"Kenapa...? Apa kau tidak lelah menanggung semua beban di hatimu setiap kali terbangun di keesokan harinya...? Bukankah itu menyakitkan jika harus bertahan di kesialan yang tak berujung itu...? Sudahlah... Lebih baik kita akhiri saja penderitaan ini..."

"... Kau benar-benar berubah, Soraru-san."

"...Aku tahu. Salahkan hidup yang membuatku menjadi seperti ini."

"Ya, kalau itu sih aku tidak bisa mengeluh lebih banyak lagi..."

Ah, lihatlah betapa mempesonanya wajah rupawan dengan rambut raven ikalnya yang tertiup angin itu. Meski kalimat yang ia lontarkan sama sekali berlawanan, namun bukan berarti hal tersebut malah menghilangkan kecantikannya.

"Aku menyukaimu, Mafumafu."

Percuma saja, telat untuk mengakuinya. Meski begitu, Mafumafu hanya membalas dengan kekehan kecil sementara tangan kanannya mengusap lembut pipi tembam yang memerah itu. "...Kenapa baru sekarang? Bukannya lebih baik jika kau mengucapkannya sejak awal?"

"...Untuk kali ini saja, aku ingin jujur dengan perasaanku."

"Ya~ pada akhirnya kau memang tidak bisa ditebak, Soraru-san..."

Merengkuh tubuh yang lebih pendek darinya itu, Mafumafu segera memotong jarak di antara keduanya lalu meraup bibir ranum milik Soraru dalam sebuah ciuman. Seolah tidak mau kalah, sang raven melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher sang albino dan menariknya perlahan untuk memperdalam ciuman tersebut.

Meski hanya berlangsung sekian detik, seutas benang saliva menghubungkan bibir mereka berdua usai mengakhiri ciuman tersebut. Dengan jemari lentiknya yang mengusap lembut surai raven sang kekasih, pria albino itu kembali mendekapnya erat. Setetes air mata jatuh dari manik rubynya.

"...Jujur saja, aku takut jika seandainya aku tidak akan pernah melihat wajahmu lagi... Tapi suatu saat nanti, kau akan datang menemuiku, kan...?"

Tiada balasan verbal terdengar dari bibirnya. Namun, kedua tangan yang kembali membalas pelukannya itu cukup membuat Mafumafu puas.

"...Haruskah kita pergi sekarang?"

"Ya... ayo pergi."

Maka, pria albino itu mengambil satu langkah mundur sembari membawa kekasihnya terjun ke bawah. Menuju alam selanjutnya.

-----------------------------

Damn, baru tau angst yg kek gini bisa masuk kategori cerita horror-
(Gw ambil inspirasi dari salah satu situs blog horror)

Tbh I don't even know what did I even wrote at this point.

Yahoo~ udah lama g nulis lagi, gan. Hampir 5 bulan ditinggal berdebu ni book aowkwkwk.

Yah, mungkin segini doang. Bye.

24:00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang