Bab 3 Makhluk dengan senyum yang mempesona

107 10 0
                                    

Lola merasa gembira ketika dia pulang dan mendapati adiknya sendirian di dalam rumah. Bahkan setelah memeriksa ke semua kamar dan dapur, Lola tak menemukan makhluk bersayap itu. Sepertinya makhluk itu sudah pergi, begitu pikirnya. Lola tak henti-hentinya mengucap syukur dan tersenyum lega. Tanpa melakukan apapun, masalahnya terselesaikan dengan sendirinya. Sekarang hidupnya akan berjalan dengan normal. Tanpa kejadian aneh dan makhluk aneh di dekatnya. Dan setelah mengganti pakaiannya, Lola pun mendekati adiknya dengan langkah ringan. Dia ingin memastikan kalau adiknya sudah mengusir teman anehnya itu.

"Kakak nggak kerja?" Dudit bertanya lebih dulu.

Lola menghempaskan badannya di atas sofa. "Hari ini kafenya tutup," jawab Lola tanpa berniat menjelaskan lebih banyak lagi. Karena bukan masalah itu yang terpenting untuk saat ini. Tapi dia juga belum cukup berani untuk bertanya langsung ke intinya. Dia belum siap untuk mendengar jawaban yang akan membuatnya kecewa. "Dudit sudah makan?" lanjutnya berbasa-basi.

"Tadi udah makan di rumahnya Erin."

"Oh," Lola mengangguk-angguk. Dia masih ragu dan terus menatap wajah adiknya untuk mencari isyarat tertentu. Apa saja, yang mungkin terlihat tak wajar. Lalu dia mengamati arah tatapan adiknya. Juga tak ada kejanggalan. Adiknya sedang mencurahkan perhatiannya pada siaran tivi. Dudit sedang menonton acara kartun favoritnya. Dan akhirnya, Lola memutuskan untuk masuk ke bagian yang paling membuatnya cemas. "Teman kamu yang bersayap itu ... sudah pergi, kan?"

Dudit hanya mengangguk ringan. Dan anehnya, tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Tak ada raut gembira, juga tak ada raut sedih. Padahal semalam adiknya memprotes keras saat Lola hendak mengusir makhluk itu. Bahkan Lola juga harus sedikit berdebat saat hendak menempatkan makhluk itu di balkon. Tapi yang dilihatnya sekarang, Dudit memberitahunya berita gembira itu tanpa memperlihatkan sedikitpun luapan emosi. Mungkin adiknya sudah bisa menerima kenyataan bahwa dia tak bisa hidup berdampingan dengan makhluk asing itu.

Dan adiknya juga sudah menyadari bahwa seseorang harus menjaga alur hidupnya agar tetap berada dalam batas-batas yang normal. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, tak mungkin anak seusia adiknya bisa memahami konsep semacam itu. Itu hanya ada di dalam pikiran Lola, tentu saja. Tapi apapun alasan Dudit merelakan makhluk itu pergi, yang jelas dia sudah membuat keputusan yang tepat.

Dan Lola senang karena hidupnya sudah kembali normal. Dia tak bisa membayangkan jika harus membagi perhatiannya untuk hal-hal yang tak masuk akal. Dia khawatir kehadiran makhluk itu akan mempengaruhi kewarasan dirinya dan adiknya. Akan lebih baik jika dia mengalami petualangan hidup yang sama dengan orang-orang. Masalah yang sama, dan teman-teman dari spesies yang sama. Tak ada lagi keanehan setelah hari ini.

"Kapan teman kamu itu pergi?" tanya Lola setengah hati. Sebenarnya dia tidak benar-benar ingin tahu. Dia menanyakan itu hanya untuk melihat sejauh mana pengetahuan adiknya tentang makhluk itu. "Dan perginya kemana?"

"Nggak tahu. Katanya sih lagi nyari Kakaknya. Dia pergi setelah Dudit masuk ke rumah. Paling nanti sore juga dia sudah pulang," tutur adiknya datar.

Lola terhenyak lalu menoleh pada adiknya, pelan sekali. "Dudit tadi bilang apa?"

"Tadi kan Kakak nanya, Agilnya kemana? Terus aku jawab, Agilnya lagi nyari Kakaknya. Nanti sore juga udah pulang. Kakak nggak usah khawatir. Dia pasti bisa jaga diri. Lagian dia kan bisa terbang."

"Kakak nggak mencemaskan dia! Tapi Kakak mencemaskan kita!" pekik Lola. Kegembiraannya tiba-tiba lenyap. Darah di kepalanya seperti menguap seketika. Dan Lola merasa kepalanya pening ketika mendapati masalah itu kembali membebani pikirannya.

"Emangnya kenapa, Kak?"

"Karena ..."

"Itu Agil sudah datang!" sorak Dudit seraya menunjuk keluar jendela.

Pacarku Jatuh dari LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang