7

3 1 2
                                    

Keesokan harinya, seusai pulang sekolah, Ghina merebahkan tubuhnya di ranjang miliknya. Sungguh itulah yang Ghina sangat suka.
Kemudian, ayah Ghina datang dari pintu.

"Ghin, ganggu gak?"

Ghina bangun dan membenarkan posisinya. "Engga Ayah, ada apa?"

"Bantu ayah nyuci mobil yuk, sebentar aja," ajak ayah Ghina.

Ghina bangkit dari tidurnya dan langsung mengambil selang cuci mobil. Mengambil spons dan mencuci mobil milik keluarga kecilnya.

"Ghin, ayah mau tanya boleh?"

Ghina mematung seketika. "Apa Ayah."

"Ghina masih suka sama Ahmad?"

Spons yang Ghina pegang jatuh, badannya lemas seketika.

Tentu hati Ghina tersetuh seketika, air matanya jatuh lolos tanpa permisi. Ayah Ghina langsung sigap memeluk anak semata wayangnya yang kini sedang menangis.

"Kenapa putri kecil ayah?"

Ia melepas pelukan ayahnya dan menatap ayahnya sementara lalu kembali memeluknya. "Dia mondok Ayah."

Ayah Ghina memeluknya semakin erat, kini Ghina menangis sejadi-jadinya.

"Sebenernya bukan itu kan yang ada du hati Ghina? Kenapa? Dia punya orang lain? Gak apa-apa Ghina, dia berhak menentukan pilihannya. Jangan egois sayang."

Ghina mengerti itu, dari awal, memang ayahnya memperingati agar tidak jatuh cinta terlalu dalam, karena apa? Patah hati dengan cara baik-baik justru lebih menyakitkan dari pada di sakiti.

"Engga Ayah, Ghina yakin Ahmad gak kayak gitu," sahut Ghina.

Ibu Ghina hanya bisa memandang anak dan suaminya dari kejauhan. Biarkan mereka deep talk.

"Gak ada yang gak mungkin sayang, ayah udah bilang sama Ghina fokus sekolah aja jangan cinta-cintaan dulu, ini yang ayah takutin, ayah gamau kamu kayak gini Nak." Ayah Ghina mengelus punggung anaknya itu.

"Ayah, Ghina juga gak mau hal ini terjadi sama Ghina. Kayak yang Ghina bilang, Ghina jatuh cinta bukan atas keinginan Ghina, Ghina juga gatau endingnya bakalan kayak gini."

Ayah Ghina mengelus lengannya. "Apa yang Ahmad bilang ke kamu waktu itu?"

•••

Kemarin, saat Ahmad belum berangkat mondok, Ahmad datang ke Ghina dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Namun sorot matanya beda.

"Ghina, Aku mau tanya."

"Tanya aja."

"Kamu suka sama aku kan? Maaf ya, Aku belum bisa kasih kamu yang terbaik, karena ada alasan tertentu yang harus aku utamain."

Ghina menggeleng. "Ahmad tau?"

Ahmad mengangguk. "Iya."

Napas Ghina kali ini, tidak bisa teratur. Ini yang membuatnya sekarang tidak percaya dengan pertemanan. Semua teman itu berkhianat, pasti ada yang membocorkan itu ke Ahmad.

"Aku juga minta maaf Mad, ya gimana namanya juga gak sengaja, tapi serius Aku suka sama kamu juga dulu, sekarang Aku cuma anggap kamu sahabat, gak lebih," papar Ghina dengan napas yang gemetar sekali.

"Mana tau jodoh gimana Allah yang ngatur," celetuk Ahmad pelan.

"Hah? Apa Ahmad?"

Ahmad langsung mengalihkan pandangannya sejenak. "E-enggak lupain aja."

"Ih gabisa Aku penasaran." Ghina menahan tangisnya.
"Coba, kasih tau aku, apa yang kamu utamain?"

Ahmad menjawab, "Udah, aku gak enak bikin perasaan kamu makin terluka aku gamau."

••••

"Jadi gitu?" tanya Ayah Ghina.

Ghina mengangguk mengiyakan pertanyaan ayahnya.

"Ada pantasnya kenapa kamu gak bisa lupain Ahmad Ghin."

Ia menengok ke arah ayahnya seketika. "Maksud ayah?"

"Ah, enggak lupain aja, ayok cuci mobilnya."

Tidak ayah tidak Ahmad semuanya sama saja, sama-sama mengalihkan pembicaraan mereka.
.
.
.
TBC
Ghina, Rere ngerti posisi kamu sayaaangg

Salam hangat dari Rerileymttw

Akasa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang