Setelah di tes surat alquran, Ghina pun duduk kembali ke kursi kesayangan miliknya itu.
Naya berdeham. "Ekhem, di tes crush sendiri tuh, ustadz Ahmad."
Ghina merasa tersinggung lantas melirik ke arah Naya.
"Ekhem, yang sekelompok sama crush sendiri, 'Aa Reksa," sindir Ghina dengan raut wajah yang sedikit memerah.
Di posisi itu Naya sangat ingin sekali adu sindiran dengan Ghina, namun, dia akhirnya mengalah.
Kelas semakin riuh ramainya suara anak-anak, Ghina merasa sangat gelisah karena suara berisik yang menerpa telinganya.
•••
Sore hari tiba, matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Suasana sinar matahari berwarna perpaduan orange dan juga biru muda terpancar indah menyirnari kubah masjid.
"Assalamu'alaikum," kata Ahmad.
Ustadz Iqbal lantas mengulurkan tangannya untuk memberikan salam kepada Ahmad.
Ahmad duduk di teras masjid mendengar ustadz Iqbal ceramah pembukaan pesantren kilat.
"Ahmad, pimpin sholawat untuk hari ini ya, ustadz ada keperluan ke ponpes," perintah ustadz Iqbal kepada Ahmad.
Tentu saja Ahmad menerima itu dengan senang hati, karena dirinya mahir dalam hal sholawat.
"Iya ustadz," sahut Ahmad sembari merapihkan pecinya.
Anak-anak lain lantas berlari mendekat ke arah Ahmad, begitu juga dengan Ghina dan Naya yang beranjak berdiri mengikuti anak-anak kecil yang berada di hadapannya itu. Ghina dan Naya duduk tepat diantara banyaknya mereka.
"Mau sholawatan apa?" tanya Ahmad kepada anak-anak yang berkumpul dihadapannya.
"Ala bali 'Aa bisa gak?" tanya Dek Ilma, salah satu anak santri pesantren kilat.
Ahmad terkekeh. "Apa sih yang 'Aa gak bisa? Tolong ambilin darbukanya."
Dek Ilma mengangguk antusias dan berlari masuk kedalam masjid, untuk mengambil darbuka yang diperintahkan oleh Ahmad.
Ghina menatap Ahmad dengan hati yang sedikit tersentuh, melihat seseorang yang ia kagumi semakin mengagumkan, mengingat dia sangat menyukai anak-anak.
Ahmad memegang darbuka yang di berikan oleh Dek Ilma. Akhirnya Ahmad memukul pelan darbuka itu, dan melantunkan sholawat Ala bali yang Dek Ilma minta.
Dengan penuh semangat Ahmad membawakannya, hingga selesai pula sholawat.
"Mau sholawatan lagi?" Ahmad melirikku lalu melanjutkan omongannya. "Ghina?"
Ghina yang memandang Ahmad lalu tersadar dari lamunannya. "Ah iya?"
Dia terkekeh, tatapannya lebih tajam namun lembut. "Mau main darbuka?"
Tentu saja Ghina menggeleng, ia malu, suaranya tak seindah orang yang ia kagumi.
"Kenapa?"
"Gak deh, Aa aja."
Ahmad senyum tersipu malu.
"Aa," beo Ahmad.Ghina memang tak pernah memanggilnya dengan sebutan itu, jarang. Karena Ahmad seangkatan dengan Ghina.
"Ayo, mau main gak? Ahmad ajarin," ajaknya sembari menabuh pelan darbuka yang Ahmad pegang.
"Enggak bisa Mad. Udah Ahmad aja."
Ghina menolak halus dengan menatap Ahmad yang kini sedang tersenyum.Ahmad menggeleng sembari tersenyum tulus yang tersungging di bibir manisnya. "Ya, udah. Ghina gak mau enggak apa-apa kok. Nanti Kapan-kapan Ahmad ajarin ya."
Melihat tatapan Ahmad yang kini sayu, Ghina tersentuh hatinya. "Tapi boleh dikit-dikit. Ghina gak bisa."
"Bukan apa Ghin, Ahmad megang vokalis, Ghina megang darbuka, bisa kan? Nanti Naya pegang gendang tuh sama Dek Ilma." Ahmad menunjuk ke arah mereka.
"Lagian kita nge-hadroh karena mau menghibur diri sendiri kan? Jadi gak apa-apa dong. Main hadroh ga seburuk itu kok."Ghina melirik kearah Naya dan Dek Ilma yang kini sudah memegang gendang dengan posisinya. Dan benar, apa yang Ahmad katakan bahwa hadroh itu tidak buruk.
"Kalau Ghina megang Darbuka Ahmad pegang apa?"
Ahmad menjawab, "Ahmad pegang vokalis."
.
.
.
TBCAhmad diem diem jago main darbuka ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Akasa 2
Roman pour AdolescentsSERI AKASA SEASON 2 [Baca dulu Akasa 1 Utamakan follow sebelum baca] "Akasa bahkan langit sekalipun, harus menjadi saksi kisah cinta kita." Masih dengan Akasa yang sama, langit yang memendam semua doa dan rasa cinta. Masih dengan terpendamnya perasa...