Curse 02: The curse of two teenagers

8 2 5
                                    

FISIK Violy semakin tidak wajar. Tinggi badannya semakin menyusut setiap kali dia dalam keadaan bahagia dan sedih. Tubuh yang mulanya tinggi mulai lenyap secara perlahan-lahan. Tinggi badan yang awalnya 163 sentimeter kini berubah menjadi 154 sentimeter. Tinggi badan gadis itu telah turun 9 sentimeter.

Akibat perubahan fisiknya yang sangat tidak wajar, Violy memutuskan untuk berdiam di rumah selama beberapa hari ke depan. Dia tidak mau berinteraksi dengan siapa pun. Termasuk Ayah dan ibunya. Setelah menghabiskan malam dengan pikiran bergentayangan, kini Violy masih berada di ranjang dengan seluruh tubuh ditutupi oleh selimut.

Gadis itu tak berniat keluar dari sana. Dia tidak bisa melihat kondisi fisiknya sekarang. Dia memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah sebelum kondisi tubuhnya kembali normal. Walau dia juga tidak tahu itu membutuhkan waktu yang lama atau tidak.

"Ah! Gue kenapa bisa jadi gini, sih? Gue malu!" rengek Violy dengan jemari semakin mencengkeram selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

"...." Violy hendak mengutarakan isi hatinya kembali secara terang-terangan tetapi suaranya kembali menghilang. Gadis itu memejamkan matanya, menahan isak tangis yang hendak mengambil alih jiwanya.

Gue nggak bisa kayak gini terus. Ya Tuhan .... Violy meringis dalam batinnya.

"Kwok, kwok ...." Tiba-tiba saja Violy mengeluarkan suara aneh dari mulutnya. Suara yang persis seperti suara katak di malam hari yang menetap di belakang rumahnya. Violy memegang bibirnya, ia kembali dikejutkan dengan kondisinya sekarang.

"Kwok, kwok, kwok." Violy berulang kembali mengeluarkan suara katak dari mulutnya. Dia seperti kena syndrom frog. Berulangkali suara itu keluar dari mulutnya tanpa henti selama hampir 7 menit.

Violy tidak kuat. Dia menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang lantas berjalan ke kamar mandi. Gadis itu mendekat ke wastafel, berkumur-kumur sebanyak tiga kali guna menyingkirkan suara katak dari mulutnya. Nihil. Usahanya tak membuahkan hasil. Suara katak itu terus keluar dari mulutnya tanpa henti.

Ini kenapa nggak bisa hilang, sih, suara kodoknya. Violy kembali berkumur sekali lagi. Sejenak, dia diam di depan wastafel dengan wajah memandang cermin bundar di hadapannya.

"Sudah hilang?" Suara Violy kembali. Dia menghela napas lega dengan netra tanpa dialihkan dari cermin di depannya. Sesaat, pikiran Violy kembali melayang pada kejadian kemarin di taman kota, depan pohon sakral; pohon harapan.

Ekspresinya berubah sendu setelah mengingat kejadian kemarin sore. Dia baru ingat kalau dirinya sudah melanggar pantangan dari pohon harapan. Perasaan gelisah menyapa hatinya. Gadis itu termenung cukup lama di dalam kamar mandi, depan wastafel dengan kran yang dibiarkan menyala oleh pemiliknya.

"Apa gue bentar lagi akan mati karena udah ngelanggar aturan di sana?"

•••••

Xero mondar-mandir di ruangannya. Perasaan gelisah kembali menggerogoti raganya dengan kasar nan paksa. Kekhawatiran dengan keadaannya sekarang melebihi apa pun. Saat bangun dari tidur, wajahnya telah menjelma seperti kucing. Pun, tangan dan kakinya tumbuh banyak bulu berwarna putih lebat di area sana. Sudah hampir setengah jam pemuda itu menjelma sebagai makhluk menggemaskan tersebut. Dia tidak bisa keluar dari ruangan hanya sebatas menyapa kepada penghuni rumah dengan keadaannya sekarang.

Pemuda itu berhenti di depan cermin besar berbentuk persegi panjang yang terpajang di sudut ruangan. Dia memandang tubuhnya sekilas di depan cermin. Terkejut. Tidak percaya sekaligus takut. Xero sudah tak bisa mengekspresikan dirinya untuk saat ini.

"Gue nggak tahu ini semacam kutukan atau gimana. Tapi, ini serem banget, anjir!" runtuknya.

Perlahan-lahan jemarinya mulai berani memegang wajahnya, meraba kumis panjang yang ada di pipinya. Xero meringis. Dia seperti memegang bulu kucing saat ini. Subuh tadi, pemuda itu sudah mengabari temannya jikalau dia tidak berangkat ke sekolah selama beberapa hari dengan alasan hendak pergi ke luar kota. Alih-alih bersembunyi dari kejaran kutukan yang mulai mengambil alih seluruh tubuhnya.

"Ini kapan berakhirnya, sih? Kalau kek gini terus bisa-bisa gue geli sama tubuh gue sendiri! Kutukan sialan!" Xero kembali mengomel. Perlahan-lahan beberapa bulu kucing yang ada di tubuhnya menghilang. Wajahnya perlahan kembali seperti sediakala. Kini dia kembali ke wujud aslinya. Seorang remaja laki-laki yang tampan. Bukan seekor kucing berbulu putih dengan taring tajamnya.

"Akhirnya hilang juga." Xero bernapas lega seraya melangkah mendekat ke ranjang, mendudukkan bokongnya.

Baru saja dia hendak mengucap kata syukur tetapi niatnya itu terurung selepas suara semacam kucing keluar dari mulutnya. Mata Xero melotot. Dia kembali bangkit dari duduknya lantas berlari ke kamar mandi.

Kaki jenjang pemuda itu berhenti di depan wastafel, lantas berkumur-kumur. "Meow ...." Mata Xero kembali membulat utuh. Jemarinya menggapai sikat gigi lantas memasukkan ke mulut, gosok gigi.

"Meow." Xero tidak henti-hentinya mengeluarkan suara kucing dari mulutnya. Dia kembali berkumur beberapa kali hingga pemuda itu menghabiskan hampir 5 menit di dalam sana.

Gue capek sialan. Xero kembali berkumur untuk yang kesekian kali. Pemuda itu memejamkan mata, berharap suara kucing itu tak keluar lagi dari mulutnya.

"Udah berhenti?" Xero memegang tenggorokannya, lantas beralih memegang dadanya. Saat mengetahui suara kucing itu tak lagi keluar, dia bernapas lega sembari keluar dari kamar mandi.

Xero mendekat ke ranjang saat mendapati ponselnya yang ada di atas nakas menyala. Pemuda itu menggapai benda pipih tersebut, membaca sekilas kontak si pengirim.

Violy Anindita:
|| Lo harus ikut gue ke teman kota. Gue tunggu kedatangan lo di depan pohon sakral. Kalau lo nggak datang, gue sumpahin kutukan lo nggak akan hilang.

Xero membaca lamat-lamat pesan tersebut. Setelahnya dia mematikan ponselnya, meletakkan di tempat semula tanpa berniat membalas dari pesan si pengirim.

"Kenapa dia tiba-tiba kayak gini? Tumben banget--ah, sudahlah. Gue harus cepet ke sana buat temuin dia." Xero kembali berdiri, kakinya hendak melangkah tetapi terurung.

"Wait. Dia tadi ngetik 'kutukan'? Dia dikutuk penunggu di sana juga?" Xero kembali memikirkan kutukannya. "Tapi kata orang setempat, kalau yang dapat kutukan seorang cewek, dia nggak akan bisa ngilangin kutukan itu sebelum si penunggu melemparnya ke alam lain? Jadi ... Violy akan dilempar ke ... alam lain?"

•••••

Curse Of The Wishing TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang