||PSM 10||

2.1K 110 4
                                    

“Tidak percaya akan satu hal, itu terdapat ketika kamu memandang buruk seseorang, padahal kamu sendiri tidak tahu dibalik kejadian itu terjadi seperti apa?”

Muhammad Adam As-Sidiq

Kaffa tidak henti-hentinya merengek kepada Adam ingin dibelikan banyak mainan. Berbeda dengan Kahfi yang ingin pergi ke pasar malam, namun ia tidak mau membuat Adam yang baru pulang bekerja, langsung kelelahan.

Adiknya memang lebih pengertian daripada sang kakak, lihat saja. Bahkan sekarang Asya bingung mana anak pertamanya dan mana anak keduanya? Karena mereka sama-sama mempunyai wajah yang sama.

Bukan tidak bisa membedakan. Tapi kadang kalanya Asya sering tertukar, lantaran keduanya memiliki sikap yang tidak jauh berbeda.

“Kahfi, kamu mau apa, Nak?” tanya Asya menggeser kursi rodanya agar berdekatan dengan anaknya.

“I-itu Kaffa Bunda! Kahfi yang ini!” koreksi Kahfi dengan bibir mengerucut lucu.

Asya membekap mulutnya, pura-pura terkejut. “Ups! Salah ya?”

“Salah Bunda!” kesal Kahfi membuang wajahnya ke samping.

Asya terkekeh gemas. Menoel-noel pipi Kahfi. Lalu setelahnya ia beralih kepada Kaffa yang bergelayut manja kepada Ayahnya. “Kenapa sayang?”

“M-mau mainan Bunda...”

“Mainan Kaffa 'kan sudah banyak,” ucap Asya mencoba memberikan pengertian untuk anaknya.

Kaffa mengusap jejak air matanya, menatap Adam penuh harap. “Mau yang baru! Ayah! Belikan Kaffa mainan!”

“Iya, sayang. Ayah belikan nanti. Tapi tidak sekarang, ya. Ayah capek. Baru pulang kerja loh ini.”

“Ayah gak seru!” teriak Kaffa membuang wajahnya kesamping, menyilangkan kedua tangannya di atas dada, menandakan dirinya tengah marah.

Adam memijat pelipisnya terasa pening. Dalam hati Asya ingin sekali mengajak Kaffa keluar rumah, lalu membelikannya mainan. Namun melihat kondisinya yang tidak bisa berjalan, membuat ia tersenyum kecut.

Asya mengusap punggung Adam. “Kamu belikan Kaffa mainan, ya. Aku gak tega liat dia nangis kayak gini.”

“Tapi ini udah malam, Sya,” jawab Adam melihat jam dinding kamarnya yang telah menunjukkan pukul 22:45.

“Iya tapi—”

Tok!

Tok!

Suara ketukan pintu memotong ucapan Asya. Adam bangkit dari kursi, hendak membuka pintu.

Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Pintu rumah Adam pun terbuka, menampilkan sosok wanita bercadar dengan seorang gadis kecil berhijab di sampingnya.

“Assalamualaikum...”

“Wa'alaikumsalam.”

“Maaf mengganggu waktunya, Pak Adam. Mbak Asya, dari tadi Fitya rewel mau pergi ke pasar malam bareng Kaffa sama Kahfi katanya,” ujar Laila tidak enak, lantaran ia mengganggu waktu istirahat keluarga tetangganya itu.

Pejuang Sepertiga Malam [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang