||PSM 33||

1.2K 73 0
                                    

“Sungguh ironis, ketika aku memintanya dalam Tahajud, dia memilihku dalam istikharah.”

Laila Zahratusya'ban


“Telur habis, gula habis, sisa... garam doang,” gumam Laila mengabsen setiap bumbu dapur yang sudah kosong melompong.

Fitya sibuk bermain boneka di kamarnya, sedangkan ia berniat untuk memasak nasi goreng siang ini. Akan tetapi, setelah mengecek persediaan makanan. Hanya ada beberapa bumbu yang tersisa, selebihnya sudah habis oleh adonan kue yang sering ia buatkan untuk catering.

“FITYA!!” teriak Laila memanggil gadis kecilnya.

“Iya Ummi!” sahut Fitya antusias turun dari tangga dengan teramat hati-hati.

“Ke pasar yuk, bumbu di dapur udah habis sayang. Kemarin Ummi lupa, gak belanja,” ujar Laila membereskan bumbu dapur yang tersisa setengahnya saja.

“Ayok, Ummi!” seru Fitya gembira.

Keduanya pun bersiap-siap untuk pergi ke pasar, meninggalkan rumahnya yang sudah Laila bereskan. Tidak sampai mencapai satu jam, mereka sudah sampai di lapangan pasar disambut dengan berbagai aneka ragam masakan, pakaian, serta alat-alat kebutuhan lainnya.

“Ummi! Aku mau ayam!” rengek Fitya ketika netranya menemukan sebuah tumpukan daging ayam di dalam ember.

“Boleh.” Laila tersenyum kepada penjual ayam tersebut. “Pak, beli ayam yang sekilo.”

“Woke, siap, Mbak!”

Laila tersenyum, menunggu daging ayam di timbang untuk ia beli. Saat tangannya mengambil dompet hitam miliknya. Tiba-tiba ada seseorang yang menyengolnya, hingga dompet itu jatuh.

Ketika Laila ingin mengambilnya, orang itu lebih cepat merebut dompetnya, berlari secepat kilat, menyalip para pengunjung yang datang ke pasar.

“COPET! TOLONG COPET!” teriak Laila mengundang perhatian orang-orang pasar.

“Ummi!” teriak Fitya menyadari Laila mengejar copet itu, meninggalkan dirinya sendirian di tengah-tengah pasar.

Pedagang ayam pun mengerjap kaget, langsung menghampiri Fitya yang sudah banjir air mata. Sedangkan Laila tidak sadar jika ia sudah berlari terlalu jauh, kepalang kaget dan juga bersemangat mengejar pencopet pasar.

Meski mendapat bantuan orang-orang tapi tak mampu menangkap copet itu yang kini sudah hilang jejak, entah kemana perginya.

Laila tiba di pertengahan jalan, kepalanya pusing, deru napasnya terdengar tak teratur. Ia mengusap keringatnya yang membasahi cadar, berbalik badan, hendak mencari tempat teduh.

Tind...

Jantungnya berdegup kencang. Laila menutup wajahnya sambil berteriak. “AAAAA!!”

Seseorang yang hampir menabraknya keluar dari mobil. Menghampiri Laila yang kini tengah berjongkok, mencari perlindungan.

Tubuhnya bergetar hebat, membuat semua pasang mata tertuju padanya. “Laa illaha ilallah...”

Samar-samar ia mendengar langkah kaki seseorang mendekatinya, bahkan lebih dekat. “Kamu baik-baik saja?”

Laila mendongak. “A-aku...”

“Kam—”

Laila mengatupkan bibirnya. Buru-buru berdiri, menatap orang itu dengan tubuh mematung sempurna.

“Bukannya kamu sedang sakit? Kok bisa ada disini?” tanya Laila dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung.

Pria itu tersenyum tipis. “Saya sudah sembuh. Menyingkirlah dulu, banyak pengemudi yang mau lewat.

Pejuang Sepertiga Malam [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang