Senandika; 08

328 50 19
                                    

Abi menahan napasnya saat mendengar ketukan pintu yang berkali-kali digedor dari luar. Sejak tadi, pemuda itu hanya berdiam diri di kamar, mengunci pintunya dari dalam, memastikan jika dengan melakukan itu ia tidak akan bertemu dengan  Juandra—sang Papa. Setidaknya untuk sekarang.

Namun demikian, agaknya apa yang Abi lakukan berhasil memicu amarah Pharamita. Begitu kembali setelah sebelumnya berbelanja beberapa keperluan rumah, lalu mendapati Abi justru mengurung diri di kamar di saat suaminya baru saja pulang, ibu tiga anak itu langsung menggedor pintu kamar sang anak dan menyuruhnya keluar. Amarahnya semakin menjadi ketika Abi tak kunjung membuka pintu kamar.

Benar-benar tidak sopan.

“Bi, kamu lagi ngapain, sih? Ini loh Papa baru aja pulang, bukannya disambut kok malah begini sikap kamu? Mama nggak pernah ajarin kamu jadi anak kurang ajar, ya!”

Di dalam sana, Abi masih meringkuk di ranjangnya sambil menutup kedua telinga. Terlepas dari ketakutannya pada Juandra, Abi masih kecewa pada Mama yang seolah tak peduli terhadap dirinya. Bahkan saat ini pun, Mama hanya sibuk meneriaki Abi tanpa sempat bertanya bagaimana keadaannya setelah tiga hari ia dirawat di rumah sakit.

Abi masih mendengar teriakan Mama, samar-samar ia juga dapat mendengar suara Papa yang menyuruh Mama berhenti memedulikannya kemudian memerintah Mama membuatkan makanan untuk Niskala yang sepertinya baru saja pulang.

Selang beberapa saat, suasana sejenak terasa tenang. Sebelum suara gelak tawa keluarganya dari ruang makan terdengar samar-samar, dan Abi memilih memejamkan mata kendati perutnya juga terasa lapar.

***

Tengah malam Abi terbangun lantaran merasakan nyeri pada perutnya. Seharian, perutnya memang hanya diisi oleh bubur yang Altair suapkan padanya, itu pun hanya setengah. Tadinya, Abi tak berniat beranjak, akan tetapi, rasa tidak nyaman pada perutnya benar-benar membuat pemuda itu terganggu. Kendati terpaksa, pada akhirnya Abi memutuskan keluar, melangkah ke dapur guna melihat apa yang kiranya bisa dia makan.

Helaan napas keluar begitu Abi membuka tutup saji yang nyatanya sudah tidak ada isinya sama sekali. Abi yakin ia mendengar Mama memasak sop daging untuk makan malam tadi, Mama juga sempat meminta Abi makan bersama mereka kendati sia-sia lantaran Abi menolak ajakannya. Kendati begitu, tak bisakah Mama menyisakan sedikit saja lauk untuknya?

Membuka kulkas, Abi lantas mengambil satu butir telor untuk kemudian ia jadikan telor orak-arik. Untunglah masih tersisa sedikit nasi, jadi Abi tidak perlu lagi memasak dan menunggu lebih lama di saat perutnya terasa semakin nyeri.

Selesai dengan makannya, Abi melangkah menuju halaman belakang. Duduk di atas teras, sembari menatap langit malam.

Kantuknya hilang sejak nyeri di perutnya membuat tidurnya terusik.

***

“Ngilang ke mana lagi anakmu, Mit?”

“Mungkin lagi kerja, Pa,” jawab Pharamita sembari meletakkan segelas kopi di meja. Sejak pagi, Pharamita sudah tidak mendapati Abi berada di rumah lagi.

Membuang putung rokok di tangannya, Juandra lantas meneguk kopi buatan sang istri. Menikmati rasa pahit dari kopi tanpa gula yang memang selalu menjadi kesukaannya.

Sedikit bangga. Lima tahun berpisah, nyatanya Pharamita masih ingat apa yang menjadi kebiasannya.

“Papa kapan mulai kerja?” tanya Pharamita sembari mendudukkan diri di samping sang suami.

Sejak Juandra kembali dari penjara tempo hari, ada rasa lega yang Pharamita rasakan di hatinya. Selain bahagia karena sang suami akhirnya pulang, wanita itu juga cukup berharap jika kembalinya Juandra bisa memperbaiki ekonomi mereka yang meskipun sebagian sudah ditanggung oleh Abi, tetapi tetap saja itu hanya cukup untuk keperluan pokok mereka saja.

Namun demikian, jawaban yang selanjutnya suaminya lontarkan seolah meruntuhkan harapan Pharamita saat itu juga. Nyatanya, barangkali semuanya memang tidak mungkin kembali seperti semula.

“Kerja di mana? Kamu lupa perusahaan aku bangkrut gara-gara siapa? Cari kerja juga gak segampang itu di saat nama aku aja udah tercoreng gara-gara anak kamu!”

Dan lagi-lagi.

Penyebabnya adalah Abi.

***

“Lo yakin udah baik-baik aja, Bi?”

Galant berucap khawatir. Siang ini, lelaki itu dibuat terkejut saat mendapati Abi di kafenya. Lebih terkejut lagi ketika Abi mengatakan ingin bekerja lagi. Setahu Galant, Abi baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Galant tak sepenuhnya yakin jika kondisi Abi sudah benar-benar pulih sekarang.

“Tenang aja, Bang. Gue oke, kok. Yang ada makin sakit kalau gue baringan terus di kasur,” jawab Abi seraya mengulas senyumnya, mencoba meyakinkan Galant jika ia memang baik-baik saja.

Terlepas dari alasannya, Abi rasa ia memang tidak boleh lama-lama absen bekerja di saat ia masih memiliki tanggungan hutang yang cukup banyak pada sang kakak.

Lagi pula, mana mungkin ia bisa istirahat jika Papa saja ada di sana.

“Udah sini, mana pesenan yang harus gue anter? Jangan sampe kafe kita dikasih rating jelek sama pelanggan gara-gara kelamaan, loh! Mau kerja di mana ntar gue, Bang?”

Kendati sedikit bimbang, pada akhirnya Galant tetap tidak bisa melarang. Galant akui, ia juga sedikit kerepotan saat Abi absen beberapa hari.

“Ini lumayan banyak pesenannya. Lo ati-ati bawanya, ya, Bi.”

“Aman, Bang!”

***

Abi menghentikan laju motornya ketika sudah sampai di titik alamat yang tertera di ponselnya. Menenteng dua plastik berisi makanan dan minuman di masing-masing tangan, Abi lantas mengetuk rumah yang mungkin lebih tepat disebut sebagai sebuah markas? Banyak sekali coretan di dinding gedung kecil yang mungkin hanya berisi satu ruangan tersebut, bahkan nyaris menutupi cat asli pada dinding, itu sebabnya Abi menyebutnya demikian.

Mengabaikan apa yang tidak menjadi urusannya, Abi memutuskan untuk mengetuk pintu di hadapannya. Selang beberapa saat, pintu pun terbuka. Sementara itu, tubuh Abi terpaku sejenak kala melihat siapa orang yang kini berada di depannya.

“Niskala?”

Untuk apa adiknya di sini?

Bukankah seharusnya sekarang Kala berada di sekolah mengingat ini masih jam sekolahnya?

***

Berbeda dari biasanya, hari ini Abi kembali lebih awal dari kerjanya. Memilih absen dari swalayan, pemuda itu langsung pulang begitu selesai dari kafe bang Galant. Selain karena tubuhnya yang terasa kurang sehat, ada sesuatu yang ingin Abi pastikan.

“Jawab jujur pertanyaan kakak, Kal. Kamu bolos dari sekolah, ‘kan?”

Ya, ini tentang Niskala. Siang tadi, Abi tidak sempat bertanya lantaran Kala yang langsung masuk ke dalam gedung itu begitu menerima pesanannya. Ingin menerobos masuk pun tak mungkin mengingat Abi yang saat itu sedang bekerja dan memiliki pesanan lain untuk diantar

Jadi sekarang, setelah memastikan Mama dan Papa sudah masuk ke dalam kamar, Abi memutuskan menghampiri Niskala yang masih duduk anteng di depan televisi. Mengambil tempat di sampingnya, untuk kemudian menanyakan apa yang saat ini menjadi kegelisahannya.

“Kala, kakak nanya sama kamu, loh?” ujar Abi sebab Kala tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Iya, aku emang bolos. Terus kakak mau apa? Ngadu sama Mama? Silakan aja, paling Mama juga nggak akan percaya,” balas Kala.

Sementara di tempatnya, Abi menatap sang adik tak percaya. Sedikit terkejut lantaran Kala yang selama ini ia pikir polos, bisa menjawabnya dengan begitu tenang. Seakan ini bukan apa-apa baginya. Seakan anak itu sudah biasa melakukannya.

“Kakak nggak tau apa alasan kamu sampai bolos begini, tapi tolong jangan diulangi lagi. Gak semua orang beruntung bisa sekolah kaya kamu, Kal.” Itu yang Abi katakan sebelum melenggang pergi. Meninggalkan Kala yang hanya mendecih pelan menjawab ucapannya.










________

Kangen sama Abi, nggak?

______________

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang