Senandika.18

461 68 8
                                    

Pulang sekarang, Bi.

Mama nggak ijinin kamu pergi!

Andai kata Mama mengatakan hal tersebut kemarin; ketika Abi sedang mempertanyakan arti dari kehadirannya sendiri bagi Mama, ketika Abi membutuhkan validasi dan pembenaran Mama atas tindakannya pada Juandra, saat di mana nyawanya sendiri hampir melayang tetapi Mama masih saja lebih mementingkan suaminya alih-alih Abi sebagai anaknya. Andai saja Mama mau sedikit melirik Abi, menanyakan keadaannya daripada menamparnya tanpa mendengar dulu pembelaan darinya. Andai saja itu yang terjadi, mungkin sampai sekarang Abi masih ada di sana.

Tinggal bersama Mama dan terus mengemis kasih sayang dari Mamanya sendiri layaknya anak tiri.

Sayang, Mama mengatakan itu saat Abi sudah terlanjur sakit hati. Saat tekadnya sudah bulat dan Abi sudah enggan menengok ke belakang lagi.

Menyimpan kembali ponselnya tanpa lebih dulu membalas pesan Mama, Abi memilih menikmati pemandangan dari balik kaca mobil yang akan membawanya pergi dari Jakarta. Jauh dari Mama maupun orang-orang yang entah apa Abi masih bisa menyebut mereka sebagai keluarga.

“Keputusan lo udah tepat, Nyu. Gue tau ini berat, tapi please jangan berpikir buat mundur lagi. Mungkin mereka baru bisa menyadari kesalahan mereka setelah lo pergi.”

“Apa gunanya itu, Sa? Toh gue udah nggak ada di sana,” jawab Abi, pada temannya—Aksa—yang saat ini tengah duduk di kursi kemudi.

Usai perkenalan singkat antara Aksa dan Arunika, Abi tidak menyangka jika ternyata hal tersebut tidak berakhir sampai di sana. Barangkali adik dari bang Galant itu benar-benar tertarik pada Aru, Aksa yang kala itu kebetulan mampir ke kediaman paman Wijaya untuk menemui Aru, justru berakhir bertemu dengan Abi di detik-detik sebelum kepergiannya.

Keduanya berbincang sebentar, lalu entah bagaimana semua diputuskan secara tiba-tiba. Aksa—dengan segala kekeras kepalaannya—tanpa di duga malah memaksa ikut dengan Abi. Dengan dalih mencari pengalaman kerja, Aksa yang sampai sekarang memang masih menganggur setelah cukup lama menyandang gelar sarjana, meminta ijin pada abangnya untuk ikut pergi bersama Abi. Itu pun terjadi hanya melalui panggilan suara.

Abi sendiri cukup terkejut kenapa dan bagaimana bang Galant bisa menyetujuinya. Dengan bekal mobil juga satu setel baju yang saat ini tengah di kenakannya, Aksa benar-benar berakhir mengikuti Abi pergi tanpa persiapan apa-apa.

“Justru itu. Penyesalan mereka akan terasa semakin menyakitkan saat orang yang jadi alasan dari penyesalan itu sendiri udah nggak ada. Jadi biarin aja, biarin aja mereka tanggung rasa sesal itu seumur hidup, Nyu. Gue mau liat, sejauh apa nyokap lo bisa tahan dengan suami dan anak kesayangannya.”

Aksa kembali berucap sebelum menghentikan laju mobilnya.  Saat ini mereka sudah sampai di Kabupaten Pemalang. Butuh kira-kira lima jam lagi untuk mereka sampai ke kota tujuan mereka—Surabaya.

“Bukan itu harapan gue, Sa. Gue cuma mau kita—gue sama Mama—hidup bahagia dengan jalan kita masing-masing. Terlepas dari kekecewaan gue sama Mama, gue tetep nggak mau hal buruk apapun terjadi sama dia.”

Abi pergi dengan membawa serta kekecewaannya. Akan tetapi, di saat bbyang sama Abi juga tetap mengharapkan sesuatu yang baik untuk Mama. Bahwa perpisahan mereka hanyalah sebuah jalan agar ia dan Mama bisa sama-sama menemukan bahagia tanpa ada lagi yang merasa tersakiti di antara mereka.

“Apapun itu, gue seneng seenggaknya lo sadar kalau lo juga  perlu mikirin diri lo  sendiri.”

Kendati sedikit kesal pada Abi yang ternyata masih memikirkan sang mama, Aksa lega setidaknya Abi sadar jika hubungan mereka memang toxic dan Abi harus lepas dari hubungan itu jika ingin bahagia.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang