Senandika.15

381 64 7
                                    

Sebuah batu saja bisa hancur jika terus menerus terkena tetesan air, lalu bagaimana mungkin Abi berpikir jika hatinya akan tetap baik-baik saja saat nyaris semua orang yang ia sayang terus menorehkan luka di sana? 

Selama ini Abi berpikir jika ia sudah cukup dengan Mama di sampingnya. Kendati Mama tak lagi sehangat dulu, kendati sikap maupun tutur kata beliau semakin membuatnya sakit seiring waktu, Abi masih enggan beranjak dengan keyakinan bahwa Mama akan kembali seperti dulu.

Akan tetapi, barangkali hal itu sudah mulai terkikis dengan Mama yang justru semakin menunjukkan sikap tak peduli. Sebab realitanya, Abi malah merasa jika Mama semakin jauh darinya. Dan kenyataan itu membuat Abi sadar, jika tak hanya sosoknya, di sisi lain Abi juga membutuhkan kasih sayang Mama. Sesuatu yang sudah lama hilang dan Abi sendiri tidak tahu kapan ia akan kembali mendapatkannya.

“Gimana liburannya, Bi?”

Suara seseorang—yang tidak lain adalah bang Galant—terdengar saat Abi masih sibuk bergelut dengan hatinya.
Pergi dari rumah kak Altair, Abi memutuskan untuk mampir ke Kafe bang Galant. Bukan untuk bekerja, kali ini Abi datang sebagai pelanggan. Singgah sebentar di sana mungkin bisa menenangkan sedikit suasana hatinya.

“Nggak usah ngeledek deh, Bang,” ujar Abi seraya mendongakkan wajahnya. Ia yang sebelumnya tengah menggelamkan kepala di antara lipatan tangan, beralih menatap bang Galant yang kini mengambil duduk di hadapan.

“Tolong banget nggak usah ceramah hari ini, gue beneran lagi nggak mood buat itu,” lanjutnya kemudian. Bukan apa, Abi paham jika bang Galant pasti akan berucap panjang lebar. Entah karena ia yang membohonginya untuk ijin dari kerja sebentar, atau mungkin perihal dirinya yang telah menjual ginjal—di mana Abi yakin Aksa pasti juga sudah menceritakannya pada bang Galant.

Abi tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja ia sungguh tidak dalam suasana hati yang baik untuk mendengar petuah dari seseorang. Sudah cukup hari ini Abi menerima tuduhan dari sang Mama maupun kakaknya, telinganya sudah panas sebab mendengar mereka terus mengabsen kesalahannya. Sekarang Abi hanya ingin tenang dengan menepi sebentar dari permasalahan hidupnya yang seolah tak pernah ada habisnya.

“Gue bukan mau ikut campur, gue sadar posisi gue nggak dalam ranah buat ngurusin atau ngatur hidup lo. Tapi sebagai orang yang udah kenal lo cukup lama, sebagai orang yang tau gimana susahnya lo banting tulang buat keluarga lo yang maaf, nggak tau diri, itu. Boleh kan kalau seenggaknya gue ngasih saran buat lo?”

Tapi memang, dalam urusan keras kepala bang Galant tidak ada bedanya dengan Aksa. Lihat, lelaki itu tetap bicara kendati Abi sudah melarang. Dan Abi tidak punya pilihan lain selain mendengar apa yang selanjutnya akan bang Galant katakan.

“Bi, gue tau lo sayang sama nyokap lo. Itu nggak salah karna emang udah seharusnya semua anak begitu. Tapi, Bi ....”

Bang Galant menjeda sebentar ucapannya, membiarkan Radit—pelayan lain di Kafe ini—meletakkan ice kopi yang sebelumnya sudah ia pesan, serta air dingin untuk bang Galant di masing-masing sisi meja mereka.
Barulah setelah Radit pergi, bang Galant kembali menyambung kalimatnya lagi.

“Masalahnya di sini nyokap lo nggak pernah ngehargain semua tindakan lo, Bi. Coba inget, berapakali lo minjem duit ke gue dengan alasan yang sama? “Buat Mama”, “buat bayar sekolah Kala, bang, kata Mama kurang”. “Terakhir kok, bang, Mama butuh uangnya buat bayar arisan”. Dan masih banyak lagi alasan-alasan lain, di mana semua itu pasti buat nyokap lo.”

“Tapi apa? Apapun yang lo lakuin, sekeras apapun lo berjuang, semua itu seolah nggak ada cukupnya buat dia.”

Tak ada yang Abi katakan sebab apa yang bang Galant katakan adalah benar. Tak hanya sekali dua kali, Abi seringkali berhutang pada bang Galant jika saja uang yang ia berikan pada Mama kurang.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang