𝐓𝐞𝐥𝐞𝐩𝐡𝐨𝐧𝐞

60 6 0
                                    

══ 𝑃𝑜𝑟𝑡. 𝑀𝑎𝑓𝑖𝑎. 𝐴𝑟𝑐. 𝑆𝑡𝑎𝑟𝑡 ══


"Woi. Lo denger ga sih?"

Kamu yang sedaritadi tidak bersuara, sadar tak sadar mengikutinya dari belakang tersentak karena kekesalannya. Kamu hampir menabrakkan dirimu pada punggungnya saat ia tiba-tiba berhenti.

"... Maaf, Nakahara." Kamu memelas, meratapi lantai di bawahmu selayaknya tempat zona nyamanmu. "Aku hanya... berpikir."

"Sepanjang gua ngajak lo ke sana ke sini?" dia bertanya balik. "Jangan sampe lo sama s'kali ga inget ruang kerja di mana, toilet di mana, kantor bos di mana."

Dari tampang muram kamu saja, Chuuya bisa memastikan apa yang dikatakannya benar adanya. Chuuya diam-diam mengumpat, antara tak ingin kamu dengar atau kehabisan tenaga untuk berkata lagi. "Jadi lo mau gimana?"

"Aku bakal tanya ke pegawai-pegawai lain, kok." Kamu terkekeh canggung, menggaruk tengkukmu sambil mencoba menghindar menatapnya, berharap apa yang kamu bilang diterima baik olehnya. Namun, dia yang mengerutkan keningnya menceritakan hal lain.

Apa yang membuatmu hening di sepanjang perjalanan menjelajahi lingkungan Port Mafia? Mari mulai dari awal ketika kamu diajak oleh Chuuya mengelilingi kantor para pegawai. Melirik kanan kiri, kamu mendapati dirimu ditatap dengan berbagai maksud: aneh, penasaran, angkuh, dan tatapan lain yang seperti ingin mengecilkan dirimu.

Lanjut melewati rombongan bawahan yang kembali dari misi, mereka berbisik-bisik saat mengintipmu dari sudut mata sebelum ditegur oleh atasan mereka. Kamu semakin merasa gugup setiap kali kamu harus melalui banyaknya anggota yang berlalu-lalang, kemudian membicarakan tentangmu.

Bukannya kamu sengaja tak mengapresiasi penjelasannya, namun kamu tidak nyaman ketika kamu dikelilingi oleh orang-orang yang tak kamu kenal dan mereka sudah menghakimimu sejak pandangan pertama. Ditambah memikirkan nasibmu yang sekarang berada di ujung jurang, bagaimana kamu bisa tenang? Kamu telah dikepung oleh pikiran-pikiranmu sendiri hingga tuli pada sekitarmu.

"Emang lo tau mana pegawai yang lo ngomongin?"

"... Nggak." Kau membeku, berkeringat. "... Maaf aku tak mendengarkanmu. Banyak yang terjadi di kepadaku, aku perlu waktu untuk... menyortirnya satu per satu."

Chuuya mengusap dahinya sembari menyeka rambutnya ke puncak. Tak lama, ia mengulurkan tangannya dan seakan-akan sedang memintamu untuk memberinya sesuatu.

Kamu memerhatikan tangannya. "Ada apa?"

"Mana telepon lo? Gua bakal kasih nomor telepon gua kalo misal lo bingung, jadi lo bisa hubungin gua," ucapnya.

Kamu menggeleng. "Aku ga punya."

"Ga punya?" alisnya naik.

"Iya." Kamu menggigit bibir bawahmu dalam diam. "... Maaf."

Jantungmu berdegup cepat dan keras, kamu mengunci seluruh jemari tanganmu bersama dan menekan kuat-kuat sampai kulitmu memutih. Kamu tertunduk canggung. Kamu harus jujur― kamu malu. Sudah menyusahkannya, kamu tumbuk lagi dengan sebuah kenyataan kamu tak mempunyai telepon. Tamparan fakta itu membanting setir dan menabrakmu, lalu menyebutkannya kecelakaan biasa yang akan terlampir di koran halaman depan dengan judul 'seorang gadis mati tertabrak mobil karena ia tidak menoleh kanan dan kiri'.

Menekan kukumu keras sampai membentuk jiplakan ujung kuku yang lancip, dalam dirimu ingin berjerit sejadi-jadinya.

Dia berkacak pinggang dan menyimpan teleponnya kembali. Sementara memandang kamu yang menyiut, tampak ia sedang memperdebatkan suatu hal. "Yasudah, ikut gua."

𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐬 𝐌𝐚𝐲𝐡𝐞𝐦║𝐘𝐚𝐧!𝐁𝐒𝐃 𝐱 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang