Chapter 14 : Selalu berada disisimu

30 4 1
                                    

Keisya membuka kelopak matanya secara perlahan. Hal yang pertama kali Keisya lihat adalah langit-langit yang berwarna putih serta aroma obat-obatan yang begitu pekat. Tanpa bertanya pun, Keisya rasa dia bisa langsung tahu kalau sekarang dia sedang berada di rumah sakit.

Keisya menumpu tubuhnya pada tepian ranjang pesakitan yang ditidurinya, berusaha untuk bangkit, sebelum akhirnya dia meringis kesakitan karena tangan kirinya yang mendadak terasa sakit sekali meskipun hanya sedikit digerakkan.

"Aduh" lirih Keisya kesakitan. Dia pun melihat tangannya yang ditutupi baju pasien lengan pendek kemudian melihat perban berwarna cokelat yang membalut siku kirinya sampai hampir menutupi setengah dari lengannya. Bukan itu saja, saat Keisya memegang kepalanya juga dia menemukan plester yang menempel di area pelipis kanannya. Serta jangan lupakan sudut bibirnya yang terasa sangat perih sekarang, pasti karena dua tamparan yang dia dapatkan dari Melisa.

Ceklek!

Keisya menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.

Dia pun bisa melihat seorang pria dengan jaket yang membalut kaus putihnya serta tudung jaket yang menutupi rambut hitam legamnya.

Kedua manik mata mereka saling bertubrukan selama beberapa saat. Sebelum Keisya memutuskan pandangannya lebih dulu dengan langsung menggulirkan bola matanya ke arah lain, kelihatan tidak sanggup terus beradu tatap dengannya.

Pria itu pun berjalan menghampiri Keisya kemudian dia mendudukkan dirinya di tepi ranjang pesakitan alih-alih di atas kursi yang disediakan di sisi ranjang pesakitan.

Dia menggulirkan bola matanya ke arah Keisya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, "Lo nggak papa?"

Keisya melirik ke arahnya sekilas kemudian dia menganggukkan kepalanya sekali. Pria itu pun hanya menganggukkan kepalanya pelan kemudian dia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menatap lurus kedua tangannya yang saling tertaut.

"Lo yang bawa gue ke sini?" Tanya Keisya.

Lantas Keisya mengerutkan keningnya dalam-dalam saat pria itu malah membuang muka ke arah lain, kelihatan enggan membahas perihal kejadian itu.

Keisya menggulirkan bola matanya ke sekeliling ruang rawatnya, dan menemukan sebuah baju seragam yang tergeletak di atas sofa dengan bercak darah di area depannya. Cukup untuk menjelaskan pada Keisya bahwa kejadian yang menimpa Keisya memang separah itu.

Keisya mengulurkan tangan kirinya yang sebenarnya terasa sangat sakit ini untuk bisa menggapai tangan Farrel.

Begitu merasakan sentuhan Keisya di tangannya, Farrel pun langsung menatap tangan kirinya yang kini Keisya genggam dengan erat.

"Gue baik-baik aja... dan itu semuanya karena lo"

"Karena gue apa sih Kei? Gue bahkan liat dengan mata kepala gue sendiri lo yang kesakitan di sana sendirian. Gue nggak becus jagain lo" ujar Farrel dengan tegas, menyuarakan segala sesak didadanya serta rasa kecewanya pada dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga Keisya dengan benar.

Keisya menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Farrel... Itu bukan salah lo kok. Lagipula kalau lo nggak ada buat gue saat itu, gue nggak tau apa yang akan terjadi sama gue. Mungkin gue nggak akan bisa liat lo lagi. Jadi please, jangan salahin diri lo ya" ujar Keisya, berusaha memberikan ketenangan dan keyakinan untuk Farrel bahwa apa yang terjadi pada Keisya bukan salah Farrel. Meskipun sebagai sahabat, Keisya paham betul seberapa hancurnya hati Farrel saat melihat Keisya dalam keadaan seperti ini.

Setelahnya Farrel tidak berbicara apa-apa. Dia hanya terdiam sembari menatap lurus ke depan sana, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Keisya meringis pelan, tidak suka sekali dengan situasi ini. Apalagi ketika Farrel total terdiam seperti itu. "Farrel, udah dong jangan diem aja" rengek Keisya, yang diabaikan oleh Farrel. Keisya menggerakkan jari kelingking Farrel dengan cukup brutal, "Farrel"

CROSSROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang