03. BAGAIMANA INI?

361 45 12
                                    

"Dijemput kapan?" Tanya Rony dari seberang sana setelah mengucap salam. Dey mendengus. Menahan nafasnya agar tak terdengar kasar. Suara Rony terdengar biasa saja seolah tidak ada masalah apa-apa.

"Aku pulang bareng Qiya aja, Kak."

"Naik motor?"

"Iya."

"Beneran?"

"Iya, Kak."

"Ya udah. Nanti kalo perlu apa-apa kabari, yaa..."

"Iya." Jawab Dey singkat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Eh, Kak." Dey berusaha menahan Rony agar tak menutup panggilannya.

"Iya. Kenapa?" Lembut, tapi justru membuat Dey merasa semakin kesal.

"Qiya boleh main di rumah?" Tanya Dey hati-hati. Perasaannya tidak enak. Apalagi Rony tidak langsung menjawabnya.

"Selagi kamu masih istri saya, itu rumah kamu juga. Kamu bebas ngajak siapa aja kesana."

"Makasih, Kak."

"Sama-sama. Udah? Ngga ada lagi yang mau diomongin atau ditanyain?"

"Udah, Kak." Dey ragu. Suaranya terdengar samar.

"Yaudah. Hati-hati, yaa..."

"Iya."

Panggilan berakhir. Hanya itu. Tidak ada obrolan atau basa-basi yang lain. Dey memejamkan matanya. Menikmati nyeri yang merasuki sukma. Setidaknya dia menghargai Dey sebagai istrinya. Memberi kabar kalau ada masalah seperti ini, misalnya. Tidak perlu menenangkan atau apapun. Apa jangan-jangan hal tadi bukan masalah baginya? Lalu, apa yang Abi katakan keliru tentang 'kesholihan' menantunya ini?

Dey menghembuskan nafasnya lewat mulut dengan kasar. Rony bahkan tidak menanyakan kapan dirinya akan pulang?

"Mbak, jadinya gimana? Dijemput sama suamimu apa nebeng?"

"Nebeng banget bahasanya, Ya'?" Sindir Dey dengan tatapan sinis. Qiya nyengir. Menyerahkan helm yang sengaja dia titipkan di kampus kalau-kalau ada kejadian seperti ini. Dadakan nebeng.

****
"Suamimu kapan pulang, Mbak?" Tanya Qiya saat dirinya sudah ada di kamar tamu dengan hamparan karpet permadani yang tampak mahal. Laptop dan beberapa buku Qiya dan juga Dey sudah berceceran disana.

"Paling sore." Jawab Dey berusaha yakin. Karena dia sendiri tidak tau pasti kapan suaminya itu akan pulang.

"Ya', adanya buah. Belum beli cemilan." Dey menyuguhkan beberapa buah-buahan yang kemarin dibelinya lewat online.

"Hujan-hujan gini enaknya nge-mie sih, Mbak. Hehee..."

"Aku belom belanja, Qiya'. Kan udah bilang."

"Sibuk banget? Sampe ngga bisa belanja?" Tanya Qiya dengan ekspresi menggoda. Dey menyalakan mata elangnya. Namun sahabat sekaligus tetangganya itu justru nyengir dengan wajah tanpa dosa.

Di tengah asyiknya mereka bercengkrama dengan tugas masing-masing, deru mobil Rony terdengar. Dey hanya terpaku sebentar, lalu kembali fokus pada tugasnya.

"Mbak, suamimu bukan?" Tegur Qiya saat menyadari Dey tidak ada pergerakan.

"Eh, iya yaa... Maap, belum hapal suara mobilnya." Hanya alibi. Sebenarnya dia 'keceplosan' menunjukkan sikap acuh tak acuhnya pada Rony. Ditambah kejadian tadi pagi, dia semakin bingung bagaimana harus berhadapan dengan laki-laki itu.

Dengan langkah gontai, Dey menghampiri Rony yang tampak sedikit basah dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya.

Dey hanya diam memperhatikan Rony. "Assalamualaikum..." Ucapnya yang hanya dijawab pelan. Rony tersenyum simpul. Melewati Dey menuju dapur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEYMA DAISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang