4. Yang Katanya Cemara

19 6 0
                                    

✼ •• ┈┈┈┈๑⋅⋯ ୨˚୧ ⋯⋅๑┈┈┈┈ •• ✼
happy reading!!

Sedaritadi Anna hanya dapat menemukan muka murung Jinan disebelahnya, tidak banyak yang temannya itu lakukan selain melamun. Jinan bahkan melewatkan mapel favoritnya dan memilih untuk tidur. Merasa keingintahuannya meningkat, lantas Anna bertanya untuk memastikan.

"Everything okay Ji?"

Jinan hanya menoleh sekilas, bahkan pertanyaan itu terdengar lucu di telinganya. Melihat beberapa orang masih berada dikelas, ia tidak langsung menjawab dan memilih mengemasi beberapa benda diatas meja.

"Oit! Dilapangan bakal ada tanding basket antar tim Dava lawan tim Jean, lo pada buruan sana lihat!!" Teriak Anna yang dengan begitu saja membuat beberapa orang yang memilih menetap dikelas langsung berlarian keluar.

Jinan dibuat melongo, lalu tangannya melayang untuk menoyor kepala orang disebelahnya. "Tandingnya masih besok cok!"

"Ya lagian lo! Cerita sama gue kenapa?"

Sebenarnya Anna tahu, ini pasti tentang keluarga dan segala masalah yang rumit. Semua itu akan membuat Jinan murung, dia akan merasa berkecil hati. Jadi disaat saat seperti ini, yang Anna lakukan adalah mendengarkan temannya itu bercerita tentang apa saja agar dirasa lega setelahnya.

"Gue cuma mau kerja, tapi bapak gue selalu ngelarang dengan alesan yang gak jelas!"

"Gue kerja juga buat bantu ekonomi keluarga, lo tau sendiri kita semua butuh duit. Mak gue juga kerjaannya marah marah mulu, bapak gue yang katanya kerja keras gak pernah tuh sekedar ngasih uang jajan buat adik gue!" sambungnya dengan nada yang sedikit kesal.

Setiap kali Jinan meminta izin untuk bekerja, yang ia dapat setelahnya adalah pertengkaran diantara kedua orangtuanya. Bapak yang ia maksud akan menghakimi dan mengatakan seolah ia tidak mampu membiayai anak anaknya, dan ibu yang mendengar itu hanya akan menambah keributan dan berakhirlah dengan tangisan kedua adik kembarnya.

"Kamu itu gak usah ngide mau kerja! Kamu punya otak itu mikir, nanti yang jadi bahan omongan orang itu bapak!" Nada bicara bapak kala itu terdengar menggebu-gebu.

"Ya justru itu pak, aku mau bantu ekonomi keluarga." Dan Jinan menjawab dengan amarah yang susah payah ia tahan.

"Terus kamu mau berhenti sekolah?!"

"Aku tetep sekolah pak." kali ini ia menjawab sekenanya, karena jujur saja ia sendiri ragu apakah kedepannya akan meneruskan sekolah atau tidak.

"Kamu malah nambah pengeluaran! Bukan pemasukan!" Suara bapak bahkan jauh lebih lantang dari sebelumnya.

Mendengar bagaimana keinginannya dibantah, ia menjawab dengan tatapan nyalang. "Aku kerja juga buat makan pak! Jelas uangnya bakal ke pakai!"

"Berani kamu ngebentak bapak?! Kamu ini anaknya emang gak punya cita-cita! Bisanya nyusahin orangtua!!"

"Fokus belajar, gak usah pikirin soal biaya!" lalu ibunya menyahut dari belakang dengan nada yang sama.

"Gimana aku gak mikirin soal biaya bu? Tiap hari kalian ribut gimana susahnya beli ini itu, aku cuma mau bantu. Aku izin karena aku masih punya orangtua, tapi kalau selalu begini jadinya, aku bakal nekat! Terserah kalau ibu sama bapak bilang aku anak durhaka!" Lalu Jinan pergi meninggalkan rumah dengan air mata yang berjatuhan.

Pertengkaran itu terjadi tadi pagi, jadi wajar saja jika gadis itu meninggalkan jejak tangis setelahnya, dan melewatkan mata pelajaran favoritnya begitu saja. Walaupun ia belum mendapat pekerjaan, Jinan hanya ingin membantu. Setidaknya ia sudah meminta izin, tapi akhir dari semua itu hanyalah keributan yang membuat ia tidak habis pikir dengan cara berpikir kedua orangtuanya.

"Kalau bukan karena adek gue, kayaknya gue bakal kabur."

"Dan lo tahu sendiri, kabur dari masalah itu malah bikin nambah masalah." Sahut Anna yang hanya dibalas dengan tatapan nelangsa.

Jinan memang kerap kali menginap di rumah temannya, walaupun sepulangnya ia dari sana, ia hanya akan mendengar penuturan ibunya yang amat panjang. Dia juga dikatakan tidak punya rumah yang bahkan ia rasa, rumah itu sendiri tidak menjadikan tempat tinggal yang nyaman untuk ia singgahi.

Demi apapun ia tidak pernah membenci bapak, mau bagaimanapun juga bapak adalah kepala keluarga dirumahnya. Bapak juga sempat bekerja, hanya saja kelalaiannya kala itu membuat bapak dipecat dan sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan baru.

Otomatis ekonomi keluarga yang sebelumnya juga tidak stabil menjadi turun drastis. Bapak juga selalu menyalahkan Jinan yang terlahir menjadi perempuan, karena katanya, andai saja ia laki-laki mungkin bapak akan membiarkan anak itu bekerja alih-alih meneruskan sekolah.

Memikirkannya saja sudah membuat Jinan putus asa, ia sudah mencoba melamar di apotek. Tapi orang itu bilang jika yang punya sedang berada diluar kota, jadi penjaga kala itu tidak bisa langsung menerimanya. Padahal Jinan jelas tahu, itu adalah penolakan halus agar ia bisa kembali pulang kerumah.

Tidak sampai disitu, ia juga pernah mendatangi warung makan. Jinan waktu itu sempat bekerja setidaknya tiga hari dan berbohong soal statusnya dengan mengatakan jika dirinya sudah lulus dari setahun yang lalu. Tapi dia harus berhenti saat teman satu sekolahnya datang dan mengatakan jika mereka saling mengenal.

Ibu warung jelas tidak menerima anak yang masih sekolah bekerja disana, apalagi beberapa pengunjung yang saat itu tengah makan mendadak menoleh hanya untuk memberi tatapan julid yang tidak enak dilihat. Seolah ibu warung mempekerjakan anak dibawah umur, bahkan beberapa ada yang sampai menyiapkan handphone bersiap merekam. Jadi dengan berat hati, Jinan pergi tanpa menunggu ibu warung mengatakan sesuatu yang lebih jauh.

Tidak ada yang Jinan lakukan setelahnya, hal itu cukup membuat ia sakit hati. Gadis dengan poni yang menutupi dahinya itu bisa dengan mudah mengatakan bahwa dunia luar memang sesulit itu. Tapi dilain sisi, ia masih ingin mencoba. Mungkin untuk kali ini ia berhenti terlebih dahulu, entah kapan ia akan kembali mencari pekerjaan yang baru.

"Jadi ini yang katanya cemara." celetuk Anna yang terdengar menyebalkan.

"Halahh cemara tai! Ini namanya cemara penuh duka." yang mana membuat keduanya tertawa terbahak-bahak.

Beberapa menit setelahnya mereka terdiam sampai akhirnya Anna terpikirkan sesuatu. "Kalau lo mau nekat, kita cari kerja berdua."

Mendengar itu, Jinan seolah baru saja mendapat penerangan saat dirasa jalan yang ia tempuh selama ini hanya ada gelap gulita. Jadi dengan kesadaran penuh, ia mencondongkan dirinya dengan mata yang membulat sempurna.

"Lo serius?!"

"Gue emang bukan orang bener, tapi kalau soal duit ayo lah!"

"Pulang sekolah kita langsung nyari kerja!" Final Jinan dengan antusias.

"Gas!!" Dan dibalas dengan nada yang tidak kalah antusias.






vote dulu btw
tbc..

FOTOGRAFI SENJA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang