CHAPTER 1

778 117 10
                                    

Netra pemuda itu mengerjap, tubuh kurus penuh lebam itu terlihat menyedihkan. Ghani, si kecil yang beberapa saat lalu terpejam kini kembali membuka mata.

Ia mengernyit saat merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, pandangannya teralihkan di sekeliling ruangan tempat ia berada.

Rasanya begitu asing, dalam jangkauan ingatan yang ia miliki, Ghani belum pernah berada di tempat seperti ini, merasa takut karena seseorang tak kunjung datang, Ghani kemudian menghampiri pintu yang tertutup rapat itu.

"BUNDA...."

"BUNDA...."

"BUNDA...."

berulang kali Ghani berteriak memanggil sang bunda sembari menggedor pintu dengan keras, ia berharap semoga bundanya akan datang untuk membukakan pintu untuknya. Namun nihil, bundanya tidak datang, dan tidak ada yang datang.

Ruangan itu begitu gelap, hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari lubang atas pintu yang tertutup, bahkan ia tidak menyadari dengan ukuran tubuhnya yang mulai berubah.

"Bunda di mana..., Ghani takut...." lirihnya, tubuh Ghani meringkuk di samping pintu, sembari menutup kedua telinganya dengan mata yang terpejam.

Air matanya lolos begitu saja, apa yang bisa anak kecil lakukan selain menangis? Tidak, tidak ada. jiwanya masih berumur 8 tahun, ia tidak bisa bertindak sebagaimana raga yang telah ia tempati sekarang.

Begitu lama air mata itu keluar, entah sudah berapa lama ia menunggu seseorang di tengah kegelapan, Ghani tidak suka gelap, ia takut pada gelap, dan ia tidak akan pernah bisa menyukai gelap.

'Krekk'

Pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita yang berjalan menghampiri, Ratih. Dan sayangnya itu bukan bundanya, bunda tersayangnya.

"Tuan muda, maafkan bibi yang tidak bisa membantu anda..." lirihnya sembari memeluk tubuh Ghani yang meringkuk.

Ghani memberontak dalam pelukan wanita itu, ia merasa asing dengan semua ini, tidak seharusnya ia berada di sini.

"Tidak, Ghani mau bunda, tidak mau di sini!" Ucapnya sembari berusaha melepaskan dekapan wanita itu.

Setelah berhasil, ia berlari menjauh, ia harus keluar dari sini dan mencari bundanya, Ghani terus saja berlari, sampai tanpa ia sadari telah berada di ujung lorong bangunan mewah tersebut.

Ia bingung, sebenarnya di mana dirinya berada sekarang? Kenapa ia tidak menemukan bunda dan juga ayahnya.

Langkahnya terhenti saat melihat pria paruh baya yang melangkah keluar dari mansion. Entah karena apa ia mulai ketakutan saat melihat siluet pria tersebut.

EDGAR MAHATAMA, sosok pria yang berperan sebagai ayah Ghani di kehidupan ini, parasnya yang begitu tegas membuat siapa saja merasa  waspada saat berada di dekatnya. Namun, ia juga  terkenal dengan sifat baik hatinya di kalangan masyarakat luas.

Namun tidak bagi putra bungsunya, LAYZAL ALVAN, sosok remaja yang kini jiwanya telah tergantikan dengan jiwa Ghani, bahkan di rangkaian namanya tidak disertakan marga sang ayah, Lay tidak tahu alasannya, sungguh.

Bagi Lay, ayahnya adalah sosok yang sangat ia kagumi, ia menyukai semua tentang ayahnya, namun di satu sisi, ia juga takut dengan sang ayah.

Tatapan kebencian yang sang ayah berikan padanya begitu terekam jelas di pikiran miliknya, dan ia harus menerima hal itu di setiap harinya saat berpapasan dengan sang ayah, jangankan tersenyum pada Lay, menyebut namanya saja sang ayah enggan, pria paruh baya itu akan selalu memanggilnya 'anak sial' itu kata yang selalu ia dengar sedari kecil hingga sekarang, dan Ghani tidak mengetahui hal itu.

.
.
.
.

Dan sekarang, Ghani tengah berjongkok di tengah luasnya taman Mansion, pemuda itu masih asik dengan dunianya sendiri, tanpa mengindahkan sosok remaja yang berdiri agak jauh darinya.

JOE NATHAN MAHATAMA, kakak kedua Lay yang usianya 2 tahun lebih tua darinya, Joe menatap heran saudaranya itu. Entahlah, apakah sosok di depannya ini masih pantas Joe panggil saudara setelah apa yang telah terjadi di masa lalu.

"Woi anak sial, ngapain lo?" Tanyanya sembari menendang pelan punggung Lay.

Ghani tersentak mendapatkan tendangan itu, kemudian mata itu menatap seseorang yang berdiri di sampingnya.

Joe terkejut saat netranya saling tatap dengan Lay, tatapan itu begitu polos, seakan jiwa pemuda itu masih murni, dan ia sangat benci hal itu, kemana perginya tatapan penuh ketakutan itu? Ia sangat tidak menyukainya.

"Kakak tahu bunda, bunda di mana?" Tanya Lay saat mendapati seseorang berada di sampingnya.

Joe berdecak, sandiwara apa lagi yang akan di mainkan anak sialan ini, jujur, ia sudah muak. Joe kemudian menarik tubuh Lay agar segera berdiri dan berhadapan dengannya.

"Katakan sekali lagi!" Titahnya dengan amarah yang berusaha ia tahan.

"Bunda di mana?" Ulang Lay, belum sempat bibir itu menutup, sebuah bogeman mendarat di pipi tirusnya.

"Kau tanya bunda di mana? Ingat ini, kau itu tidak pernah mempunyai seorang ibu, dan tidak akan pernah memilikinya." Ucapnya sembari menunjuk dahi Lay dengan wajah yang memerah, padahal ia sudah berusaha menahan amarahnya, namun saat kembali mengingat satu fakta itu, membuat amarahnya kembali membuncah, kemudian ia pergi dari sana, meninggalkan Lay yang bergetar karena takut.

Ghani takut, seumur hidupnya ia belum pernah merasakan rasanya di pukul, bahkan sampai sekeras ini, ia menangis, lagi. Padahal baru beberapa jam ia di sini, dan entah sudah tetesan keberapa air mata itu kembali membasahi pipinya.

"Bunda.... Ghani mau bunda, bunda di mana? Kenapa tinggalin Ghani...." tangisnya, ia sangat merindukan sosok bundanya, dan keluarganya tidak pernah memukulinya, di pukul rasanya sakit, dan Ghani tidak suka.

Bi Ratih menghampiri sosok tuan mudanya, betapa malang anak majikannya ini, sedari awal ia memang sudah mengetahuinya, kendati demikian, tidak ada sesuatu berarti yang bisa ia lakukan.

Saat Lay pertama kali tiba, tuannya tidak menerima Lay sama sekali, nama Lay juga bi Ratih yang memberikan, 'LAYZAL ALVAN' tanpa embel-embel nama sang tuan, dan sejak hari pertama kedatangan Lay, semua urusan Lay juga telah di serahkan sepenuhnya padanya.

"Tuan muda, berhentilah menangis eung? Kemarilah! Bibi akan mengobati luka tuan muda." Ucap bi Ratih lembut.

Ghani mematuhi ucapan wanita itu, walau asing, namun entah mengapa tubuhnya mengikuti ucapan wanita paruh baya itu.

Kamar bi Ratih, dan di sinilah Ghani berada, ia tengah terlelap setelah di obati, sebelumnya, setelah mendapatkan obat pada lukanya, dengan tatapan polos Ghani bertanya keberandaan sang bunda.

Bi Ratih yang semula membereskan kotak obat mendadak terdiam, sudah lama sekali ia tidak mendengarkan pertanyaan satu itu dari mulut tuan mudanya. Ia ingat, terakhir kali tuan mudanya bertanya saat Lay berusia 5 tahun, Lay kecil menanyakan keberadaan orang yang melahirkannya, sayangnya pertanyaan itu terdengar oleh Edgar, entah hal apa yang telah tuannya perbuat sehingga Lay tidak pernah lagi bertanya akan sosok itu.

Dan sekarang, tuan mudanya kembali memberikan pertanyaan yang sama padanya, dan ia kembali tidak bisa memberikan jawabannya.

"Maafkan saya tuan muda." Ucapnya pelan sembari mengusap pucuk kepala tuan mudanya.





Gimana ini woiiii, gk bisa buat nama......
Mo nangis rasanya, ya udh pake nama yang ada aja, walau pun namanya agak aneh, mohon di maklumi yaaaaa(´ 3`)




Vote and coment juseyo......

what has changed?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang