CHAPTER 2

705 110 10
                                    

Lay menangis dalam tidurnya, suhu tubuhnya memanas, dan keringat dingin terlihat menghiasi seluruh wajahnya.

Anak itu sedang mimpi buruk, ia memimpikan keluarganya meninggalkan ia seorang diri, sangat menyeramkan. Apalagi saat pukulan itu mendarat di tubuhnya, rasanya sakit, ia ingin bundanya.

"Sakit....." lirihnya dengan mata yang terpejam.

Bi Ratih dibuat kelimpungan, pasalnya sudah dua hari ini Lay tidak membuka mata, suhu tubuhnya yang terus memanas, serta meracau dalam tidurnya. Ingin membawa Lay ke rumah sakit, namun ia tidak mempunyai keberanian,bukan tanpa alasan, bi Ratih hanya tidak ingin ia di pecat, karena hanya bekerja di sini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.

Yang bisa ia lakukan hanya mengompres dahi Lay dengan air hangat, berharap suhu tubuh Lay dapat berkurang.

"Bunda...." panggil Lay, anak itu sedikit membuka matanya.

Pandangannya mengabur, Lay melihat sosok perempuan yang persis seperti bundanya, ia menahan tangan Ratih yang ingin mengambil handuk di dahinya, ia lantas berucap, "bunda... jangan tinggalin Ghani, Ghani takut di sini...." ucapnya lirih.

Bi Ratih mengernyit mendengar ucapan Lay, namun tak urung ia juga menanggapi ingauan Lay, "saya tidak akan ke mana-mana tuan muda....." tenangnya sembari mengusap pelan dahi Lay.

Dirasa air hangat yang ada di baskon mulai mendingin, Bi Ratih keluar untuk menggantinya dengan air yang baru, namun saat ia berada di dapur, ia di kejutkan dengan keberadaan Joe yang seperti mencari sesuatu, karena rasa penasaran, bi Ratih pun bertanya.

"Permisi tuan muda, anda sedang mencari sesuatu?" Tanyanya ragu.

"Oh, kau tahu ke mana perginya anak sialan itu?" Tanya Joe, bukan karena ia rindu pada kehadiran Lay, hanya saja ia tidak menemukan keberadaan anak yang selalu ia ganggu.

"anu tuan... tuan muda Lay sedang sakit!" Ucap bi ratih gugup.

"Di mana?" Tanya Joe.

"Ada di kamar saya tuan muda." Jawabnya.

Joe bergegas pergi dari sana dan terlihat menuju kamar bi Ratih. Bi Ratih berdoa, semoga saja Lay tidak mendapatkan sesuatu yang buruk.

Joe membuka kamar bi Ratih dengan tidak sabar, ia geram melihat Lay dengan santainya tertidur di atas ranjang, ia menghampiri lay, lalu tangannya terulur menarik kasar tubuh Lay yang tertidur.

Ghani tersentak, kepalanya terasa pusing saat tiba-tiba ia ditarik paksa oleh seseorang, ia berusaha menahan rasa sakit di kepalanya.

Ia terkejut saat melihat Joe, Ghani masih mengingatnya, orang yang menariknya adalah orang yang telah memukulnya, seketika tubuhnya bergetar pelan, ia berusaha menarik tangannya yang di cekal agar terlepas.

"Mau kemana lo hah?" Tanya Joe dengan intonasi suara yang meninggi, Lay semakin di buat ketakutan karena bentakkan itu.

"Lepas, Ghani mau sama bunda... BUNDA.... BUNDA...." teriak Ghani dengan bibirnya yang pucat, bahkan seluruh rona di tubuhnya terlihat menghilang.

Cekalan Joe semakin kuat, bahkan menimbulkan memar merah di tubuh ringkih Lay, ia sudah tidak tahan dengan tingkah Lay, apa lagi saat Lay berteriak memanggil orang itu.

Karenanya keluarganya hancur, dan Joe sangat tidak menyukai Lay, dari dulu hingga sekarang, keinginan Joe hanya satu, yaitu Lay menghilang dan tidak pernah kembali.

Tubuh Lay semakin bergetar hebat karena rasa takut, di tambah ingatannya mendapat kekerasan kembali terlihat, anak itu mulai memukul kepalanya dengan keras.

"Tidak... tidak... sakit... argh..." racau Ghani, cekalan tangan Joe mengendur, dan Ghani mulai berlari menjauh dari jangkauan Joe.

Ghani tidak ingin berada di sini, berapa kali harus Ghani ucapkan, ia tidak ingin di sini, ia ingin kembali dan bertemu keluarganya, di sini sakit, dan tidak ada bundanya, Ghani rindu bundanya.

Ia berlari di pojok kamar, tubuhnya meringkuk sembari meracau, Ghani ingin pulang, kenapa bundanya tidak kunjung datang?

Joe masih tercengang atas sikap Lay yang terlihat berbeda dari sebelumnya, sejak kapan anak sialan ini berubah menjadi aneh, ia bertanya-tanya, ataukah ayahnya telah melakukan sesuatu sehingga sikap Lay menjadi seperti orang gila?

Dan dua hari yang lalu, untuk pertama kalinya Lay berani memanggilnya kakak dengan pertanyaan yang sangat bodoh. Ia berdecak melihat kondisi Lay sekarang, ya setidaknya sikap Lay sekarang ia anggap sebagai hukuman dari tuhan.

"Kau urus dia, dan ingat, jangan sampai ayah mengetahui sikapnya yang aneh itu!" Titahnya pada bi Ratih dan pergi dari sana.

Bi Ratih menghampiri Lay, walau pun Lay memberontak, ia berusaha menenangkan Lay, dan untuk sekarang, ia akan mengikuti jalan pikiran Lay.

.
.
.
.

Kini Ghani sudah mulai tenang, dan tadi, wanita tua itu berucap bahwa bundanya akan datang jika ia bersikap baik, jadi untuk sekarang Ghani akan menjadi anak yang baik agar bundanya cepat datang.

Meskipun suhu tubuhnya masih terbilang panas, Ghani tidak banyak tingkah dan hanya berdiam diri di atas kasur lantai miliknya.

Perutnya terasa lapar, namun ia takut jikalau ia turun dan bertemu pemuda itu, yang sampai sekarang dirinya tidak tahu siapa namanya, hanya satu yang bisa Ghani rasa, yaitu setiap bertemu pemuda itu, hatinya terasa sakit, dan takut.

Suara ketukan terdengar dari luar, bi Ratih tiba sembari membawa sebuah nasi dengan lauk seadanya, mau bagaimana pun, semua kebutuhan Lay telah di laporkan secara langsung kepada Edgar, mungkin itu juga yang membuat tubuh Lay lebih kecil untuk remaja seumurannya, dan juga berat badannya yang ringan.

Lay hanya di perbolehkan tinggal di kediaman Edgar, tidak dengan semua fasilitas yang telah Edgar siapkan untuk semua anaknya, dan mereka tahu itu.

"Tuan, ini makanan untuk anda. maaf, bibi hanya memberikan lauk seadanya." Ucap bi Ratih.

Ghani tersenyum senang, setidaknya ia bisa makan tanpa harus bertemu mereka.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa... Ghani suka... terima kasih." ucapnya berulang, mau bagaimana lagi, menu sederhana yang di maksud bi Ratih adalah sepotong gorengan tahu dan tempe, dan itu adalah menu kesukaan Ghani, bahkan anak itu akan merengek jika tidak ada keduanya di meja makan.

Ghani memakan makanannya dengan lahap, walau sesekali nasi yang ia sendok akan terjatuh ke lantai, namun anak itu merasa senang, karena rasa laparnya telah terobati.

Bi Ratih tersenyum tipis melihat tingkah pemuda yang ia rawat, memang sedari kecil Lay tidak pernah rewel dan pembangkang, hanya beberapa hari ini saja sikap Lay berubah, yang terbilang seperti anak di bawah sepuluh tahun, ia tidak mempermasalahkannya, bahkan bisa di bilang ia merasa senang, karena hari ini ia kembali bisa melihat senyum tuan mudanya kembali, setelah lama menghilang.

"Teruslah seperti ini tuan muda." Ucapnya pelan, ia rela jika harus merawat tuan mudanya yang mentalnya kembali seperti anak-anak, setidaknya tidak akan merasakan sakit akibat terluka oleh perbuatan keluarganya.





Geje bgt.... tau lah...

Vote and coment juseyo.....

what has changed?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang