CHAPTER 3

526 46 42
                                    

Anya's POV

Gue asyik memperhatikan bunda bolak balik mengemasi barang-barang ke dalam koper. Ini hari ketiga gue bangun dari koma panjang itu. Gue juga hanya bisa melongo mendengar fakta bahwa gue tidak sadar selama sebulan dan impian gue ke Edinburgh telah habis sudah.

Actually, gue masih bisa kesana tapi Richard Olsen itu kemaren mencak-mencak layaknya bocah tantrum sehingga gue ga bisa apa-apa saat dia menjanjikan sesuatu yang lebih menggiurkan daripada Edinburgh.

"Kamu ga harus ambil kedokteran ataupun manajemen bisnis kayak Mas mu, kamu boleh punya apartemen sendiri, daddy ga akan kepoin kamu 24 jam lagi, kamu bisa punya kehidupan pribadi sekarang, gimana?"

Gue tentu saja bersorak gembira. Ke Edinburgh memang salah satu tujuan gue. Tapi konteksnya sama dengan apa yang dijanjikan oleh Richard. Kebebasan dan ketenangan untuk gue sendirian. Tanpa siapapun, gue ingin ruang sendiri.

Sesederhana itu tapi selama gue masih dirumah, impian konyol itu akan jadi mustahil.

"Kalo daddy ngelanggar itu atau siapapun dirumah ngelanggar itu, aku mau tiket ke Edinburgh segera!"

Gue memasang wajah serius dan menatap dua saudara kembar didepan gue tajam. Kalo bunda gue ga perlu khawatir, dia keren sejak awal. Mas Alfred mengangguk setuju diikuti oleh Mas Alen. Dia mengangguk setelah menyembunyikan kekehan nya dan disikut oleh Mas Alfred.

-----

Apa kalian masih ingat janji saudara kembar menyebalkan itu kemaren? Oh harusnya gue emang ga boleh percaya hal-hal seperti itu. Alen si berisik itu tak menganggap sebuah janji itu penting.

"Haiiii adikk keciiil"

Hm. Itu suara dia. Dia datang dengan sekantong besar mainan dan senyum sumringah di wajahnya. Dia sama menyebalkannya seperti bocah 5 tahun yang hanya punya satu teman tapi bedanya kini dia masih mengenakan jas dokternya.

"Mas, kamu emang dibolehin keluyuran saat jam sibuk begini?", tanya Bunda menatap anak sulungnya dengan tatapan heran.

"Bundaaa", Alen meletakkan plastik berisi mainan yang ia bawa ke atas meja dan menghampiri Bunda yang kembali mengemasi barang-barang gue ke dalam tas besar.

"Aku pewaris rumah sakit  ini, untuk apa aku bekerja sekeras  dokter magang biasa?", ujar Alen mengerling ke arah ibunya setelah mendaratkan ciuman ringan di pipi Bunda.

"Songong lu bangsat!!"

Itu suara gue. Kalian juga kesel kan? Alen sialan itu memang..erghhh!

Ah, gue belum cerita ya? Si Alen nyebelin itu dokter. Gue juga heran gimana bisa dia jadi dokter, padahal dia harusnya jadi pasiennya. Gila tuh orang. Semoga pasien Mas Alen sehat selalu dan ga ketularan gila.

"Kamu terpesona sama Mas?", Alen terkekeh dan duduk di sofa besar di depan ranjang gue.

Dia memasang wajah slengekan nya sembari membuka jas nya dan membuat dirinya sendiri nyaman. Gue memasang wajah jijik dan meletakkan es krim gue yang baru habis setengah itu ke piring diatas meja. Nafsu makan gue raib.

"Pede banget lu!"

Mas Alen terbahak dan tidak terganggu dengan tatapan jijik yang gue berikan. Dia melanjutkan membuka bungkusan plastik yang tadi ia bawa. Wajahnya tampak bahagia dan bersinar, abis ngecas dimana dia?

"Mas tau kok kamu gengsian, tapi kata suster kamu kangen banget sama Mas", ucapnya percaya diri.

Gue mengalihkan pandangan saat Mas Alen tersenyum lebar. Takut gumoh. "Dih"

"Ayo sini duduk", ajaknya menepuk sofa disampingnya dengan wajah excited.

"Ngga mau!"

"Sinii deeek!", kini Alden berdiri berkacak pinggang memasang wajah memerintahnya.

NICOTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang