CHAPTER 5

533 33 80
                                    

Semilir angin sore yang memasuki apartemen kecil yang tampak minimalis itu menyapu wajah si pemilik ruangan sehingga gadis yang kini duduk di kursi santai sembari memejamkan mata itu menerbitkan senyum tipis di wajah tirusnya.

Anya menghirup udara sore itu dengan penuh perasaan. Kali ini, udaranya berbeda. Pasokan oksigennya terasa berlimpah. Kebebasan. Anya punya hal mewah itu sekarang.

"Lo yakin Ann? Gamau pindah ke apartemen yang lebih besar? Gue ga yakin ngebiarin lo disini, ini sempit banget"

Keluhan pertama itu membuat senyum Anya terhenti. Ia membuka matanya lalu meletakkan buku yang sedari tadi bertengger di telapak tangannya. Belum sempat ia baca. Anya menoleh ke sumber suara.

"Ini apartemen gue, Mas Alen. Jangan repot, lo udah janji sama Daddy", ucap Anya memberi batasan yang tegas.

Alen menghela nafas pasrah. Ia meletakkan barang-barang yang ia bawa lalu ikut duduk di sofa samping Anya. Ia diam sejenak mengikuti arah pandangan Anya. Dari lantai 15 ini, pemandangan dibawah sana cukup luas tertangkap mata.

"Kenapa kamu segitunya mau keluar dari rumah?"

"Feels like I start my own story", jawab Anya singkat. Ia mengalihkan pandangan ke dua koper yang tadi datang bersama Alden.

"Itu apa Mas?"

"Semua kebutuhan lo"

"Kebutuhan?"

"Iya, itu koper dari rumah. Bunda yang nyuruh bawain kesini", jelas Alden.

"Kebanyakan ih, gue cuma minta beberapa pasang baju kenapa jadi dua koper begitu?", suara protes Anya dengan wajah tak terimanya.

Alden tertawa. "Mau sejauh apapun lo berlari dan kabur, lo ga akan pernah bisa meninggalkan hidup lo, hidup Anya", ucap Alen seolah ia hanya bergumam.

Anya mengerutkan kening tanda tak paham. "Maksud lo?"

Alden menautkan telapak tangannya dengan sang adik. Tatapan keduanya bertemu lalu Alden tersenyum.

"Gue belum mendengar soal alasan lo keluar dari rumah. Tapi kalo diringkas, seperti nya lo mau sebuah kebebasan. Tapi buat apa? Apakah selama ini ada diantara kita yang mengekang lo? Apakah ada mimpi dan keinginan lo yang tidak terwujud bersama kita?"

Anya melepaskan genggaman tangannya di tangan Alden. Ia mengalihkan pandangan. Percuma juga ia cerita pada Alden. Manusia itu tidak akan mengerti.

"Gue ga pernah cerita sama siapapun dan baru saja lo berlagak sok tau, Mas", pungkas Anya lugas.

Alden menatap adiknya seksama. Ia berusaha untuk mencerna dan menganalisa apa yang kini tampak diwajah adiknya. Tapi ia tak berhasil.

"Mas hanya tidak paham alasan kamu harus keluar rumah hanya untuk kebebasan, An. Seolah kamu bicara bahwa dirumah kamu dikekang, padahal mas ga pernah menemukan satupun keadaan dimana kamu bersedih hati", ucap Alen mengubah cara bicaranya.

Biasanya selalu berhasil atau setidaknya Anya tidak akan bersikeras pada pendapatnya jika nada bicara Alden melembut. Anak nakal itu memang lebih mudah didekati dengan cara begitu.

Anya menghela nafas sesaat. Untuk beberapa detik ia hanya diam, membiarkan Alden menunggu satu kata keluar dari mulutnya.

"Karena tidak pernah ada satu kejadian dirumah yang membuat aku bersedih hati, makanya aku mencari tau", gumam Anya melemparkan pandangan jauh.

Alden menautkan alis tak paham. "Kamu sedang bicara apa?"

"Tidak ada yang baik-baik saja Mas. Bahkan air tenang sekalipun mampu menghanyutkan lebih dari yang pernah kita bayangin", lanjut Anya masih asyik dengan pemandangan diluar sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NICOTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang