1. Jodoh

748 46 0
                                    

Jovan bergumam lirih, saat telinganya mendengar dering ponsel berbunyi. Tangan pria itu meraba-raba sebelah ranjangnya yang kosong. Bibirnya berdecak, ketika tidak segera menemukan ponselnya. Dengan terpaksa, Jovan pun membuka mata dan melihat ponselnya sudah tergeletak di lantai.

Dengan malas, pria itupun segera menjawab teleponnya. "Ada apa, ma?"

Jovan langsung menjauhkan ponselnya, ketika rentetan ucapan sang ibu yang cerewet menyapa indera pendengarannya.

"Mama, aku tuh semalam abis lembur. Bisa nggak sih, biarin aku tidur bentar doang? Baru jam delapan loh ini. Lagian, perusahaan juga punya papa. Aku kan, pewaris. Jadi-"

"Kamu emang pewaris, tapi bukan berarti bisa seenaknya kalo berangkat ke kantor! Malu sama Satria, Jovan! Adikmu itu aja juga disiplin, kok! Coba liat abang juga, dari dulu sampai sekarang dia tetap disiplin. Mau di Indonesia atau Kanada, abang tetap kayak gitu! Selalu berangkat awal dan pulang paling akhir. Mama cariin istri kamu lama-lama!"

Rasa kantuk Jovan mendadak lenyap, mendengar kalimat terakhir dari sang ibu.

"Abang mah emang budak korporat. Padahal duitnya juga segitu-gitu aja! Kalo Satria emang dia aja yang mau caper sama temen-temennya, karena titel ketua BEM. Jaman udah canggih begini, masih aja mau jodoh-jodohin anak. Lagian, mama ngomongnya nggak nyambung. Dari kerjaan sampai ke jodoh. Apaan coba?"

"Ya abisnya mama capek ngomelin kamu mulu!"

"Ya udah, tinggal nggak usah ngomel."

"Tuh, kan! Susah banget kalo dibilangin. Ngelawan terus sama orang tua. Abang begitu udah nikah selalu nurut apa kata istrinya. Makanya mama mau-"

"Enggak! Nggak usah jodoh-jodohin! Mama kan, bukan biro jodoh! Nggak usah dengerin apa kata orang. Aku masih muda, ma. Masih tiga puluh satu tahun. Lagian, abang itu nurut kalo di depan istrinya doang. Di belakang istrinya juga bakalan tetap ngedumel dia! Mama aja yang nggak tau."

Jovan berjalan keluar kamar menuju dapur untuk menyeduh kopi. Ponselnya ia letakkan begitu saja di atas meja, tanpa menekan tombol loud speaker. Sebab Jovan tau, jika suara sang ibu sendiri sudah sangat nyaring.

"Bukan mama yang nggak tau, tapi kamu yang sok tau!"

"Aku tau! Soalnya papa juga sering begitu! Mama ngomel di depan dia, papa ngedumel di depanku." Balas Jovan.

"Jovan, kamu itu-"

"Ma udah, ma! Aku mau mandi abis itu berangkat ke kantor. Jangan ngomel mulu, malu sama tetangga di sana. Udah malam kan, di Kanada? Mama nggak takut di demo, kalo ngomel malam-malam?"

Tanpa banyak berbicara lagi, Jovan pun langsung mengakhiri panggilan keduanya. Sungguh, kepalanya terasa pusing, karena omelan sang ibu yang menurutnya tidak begitu penting.

Jovan menyesap kopinya perlahan dan menikmati rasa pahit tersebut. Tangannya mengambil roti dan langsung ia makan tanpa mengoleskan selai.

Mata Jovan melihat sekeliling apartemennya. Sepi.
Semenjak sang kakak sudah menikah, orang tuanya memutuskan untuk mengikuti si sulung itu ke Kanada. Dan terhitung sudah lima tahun mereka tinggal di sana. Sedangkan Jovan tetap di Indonesia dengan sang adik, walaupun mereka tidak lagi satu atap.

Marah karena merasa ditinggalkan? Jelas tidak! Sebab Jovan dan Satria tau, jika orang tua dan kakaknya pergi ke Kanada untuk menemani Caca yang berobat. Ada masalah pada rahim istri kakaknya itu, sehingga menyebabkan gadis itu susah untuk hamil.

Jovan kembali melirik ponselnya yang berbunyi. Bibirnya berdecak, melihat nama sang adik tertera pada layar.

"Kenapa, Sat? Duit lagi? Minta duit mulu lo! Kerja, Sat! Dikira nyari duit gampang apa? Seenaknya aja lo minta-minta mulu!" Cecarnya. Bahkan Satria baru mengucapkan satu kata.

"Aku bahkan baru ngomong halo doang, kak. Udah nyerocos aja. Cerewet banget kayak mama."

"Soalnya gue udah hafal kelakuan lo! Lo pasti mau minta duit buat bayar ini-itu dan segala tetek bengek soal kuliah lo yang nggak kelar-kelar itu. Iya, kan?"

"Ya terus? Aku harus minta sama siapa lagi? Aku udah bilang sama mama kok semalam. Mama bilang, minta sama kakak. Lagian, kakak dulu pas kuliah juga selalu minta uang sama papa. Kadang juga kakak masih minta uang jajanku, kan? Ya udah, sekarang gantian."

"Ya udah, lo tunggu aja. Bentar lagi gue transfer! Cepetan lulus, terus bantuin gue kerja! Biar lo tau rasanya cari duit itu nggak gampang! Nggak bosan ngerjain skripsi mulu lo?"

"Tiga puluh juta ya, kak." Jawab Satria.

"Buset! Lo punya ani-ani apa gimana? Enteng bener itu mulut mintanya tiga puluh juta!" Semprot Jovan.

"Kakak sendiri pas masih kuliah juga selalu minta sepuluh juta sama papa. Makanya-"

"Diem lo! Nyaut aja mulut lo! Ntar lagi gue transfer! Awas lo kalo sampai itu duit dipake buat foya-foya! Abis lo sama gue!" Ancam Jovan.

"Santai aja, bro."

"Gue pites mulut lo lama-lama. Panggil gue Yang Mulia Pangeran Jovan Anendra Wiratama!"

"Dih, ogah!" Tolak Satria.

"Ya udah, gue nggak mau transfer."

"Ya udah, aku bilangin mama kalo kakak nggak mau ngasih duit. Biar panas telingamu dengerin omelan mama, kak." Balas Satria tak mau kalah.

"Lo nantangin gue? Oke! Jangan harap lo terima duitnya sekarang juga! Kalo cuma dengerin omelan mama mah, kecil buat gue."

Sebelah bibir Jovan tersenyum mengejek, begitu mendengar gerutuan Satria dari seberang telepon.

"Yang Mulia Pangeran Jovan Anendra Wiratama." Ucap Satria pelan.

"Yang bener kalo ngomong!" Koreksi Jovan. "Yang Mulia Pangeran Jovan Anendra Wiratama, tolong transfer uang kepada hamba yang rakyat jelata ini tiga puluh juta."

"Yang Mulia Pangeran ... Jovan Anendra Wiratama ... Tolong transfer uang kepada ... hamba ... yang ... rakyat jelata ini ..."

Jovan tertawa tanpa suara, karena dia tau Satria terpaksa melakukannya. Pria itu berdeham sebelum menjawab. "Baiklah wahai rakyatku yang miskin. Apakah ada hal lain lagi yang kamu butuhkan rakyatku?"

"Nggak ada!" Jawab Satria ketus, lalu langsung mengakhiri panggilan keduanya secara sepihak.

Jovan pun tertawa terbahak-bahak. "Seru banget ngerjain bocil, padahal umurnya udah dua puluh empat. Tapi, masih aja mau dikerjain." Ucap Jovan disela-sela tawanya. "Nama doang Satria, tapi otaknya minus."

Helaan nafas panjang keluar dari bibir Jovan setelah puas tertawa. Pria itu meregangkan otot-otot tubuhnya sejenak, sebelum beranjak dari kursi dan segera mandi untuk memulai aktivitas membosankan, namun menghasilkan banyak uang. Bekerja.





***




Di spill cuma sampai chapter 7 aja ya...

Shake It (NOMIN GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang