3. Wow!

330 27 1
                                    

Naya benar-benar merasa risih, karena Jovan terus memperhatikannya dengan intens. Pria itu bahkan belum mengatakan apapun selain kalimat sapaan tadi. Sesekali Naya juga melirik penampilannya, takut jika dirinya mungkin salah mengenakan pakaian, atau ada noda pada kemejanya.

Namun, semua itu hanya perasaannya saja. Kemeja hitam dari bahan satin yang ia kenakan baik-baik saja. Rok span hitam selututnya juga tidak ada masalah. Lantas, apa yang membuat Jovan terus memandanginya tanpa mengatakan apapun?

"Lo kenapa, sih? Ngeliatin gue gitu banget dari tadi!" Ucap Naya, karena merasa tidak nyaman.

"Cieelaahhh cil, pake lo-gue nih, sekarang? Udah ngerasa seumuran sama gue?" Ejek Jovan. "Gue empat tahun lebih tua dari lo!"

"Walaupun lo lebih tua, tapi kelakuan lo lebih bocah tau nggak!" Sindir Naya.

Jovan hanya mengedikkan bahunya, "gue bos di sini! Jadi ya, suka-suka gue, lah! Gue yang bayar gaji karyawan, dan gue juga yang bakalan bayar elo!"

Naya berdecih.

"Jadi, suka ataupun enggak. Panggil gue Yang Mulia Pangeran Jovan Anendra Wiratama!"

"Panggilan nggak normal." Cibir Naya.

Jovan sedikit memajukan tubuhnya. Kedua telapak tangannya yang bertaut di atas meja menjadi penopang dagunya.

"Terus yang normal gimana menurut lo? Sayang? Baby? Ayang? My love? Belahan jiwaku? Separuh nafasku?" Goda Jovan. Tidak lupa, sebelah mata pria itu juga mengedip.

Naya bungkam, walaupun dalam hati merasa jengkel. Ingin melawan, tapi Naya ingat, Jovan adalah pria yang akan terus melawan sampai lawannya menyerah.

"Ini jadi wawancara nggak, sih?" Tanya Naya, tanpa melihat kearah Jovan. Gadis itu justru memperhatikan pemandangan langit yang ada di luar jendela.

Jovan menyandarkan punggungnya pada kursi. "Ini juga wawancara kali. Dan asal lo tau, sebelum melakukan wawancara, menilai penampilan itu penting!"

Mata Naya melirik sekilas, sebelum kembali berhadapan dengan Jovan. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak kapan seorang nakes dinilai dari penampilannya?"

"Sejak lo keterima jadi dokter umum di klinik perusahaan gue!" Tandas Jovan.

Jovan mengusap dagunya, sembari tersenyum tipis. "Dan gue akui, penampilan lo sekarang benar-benar memanjakan mata. Yaaahh, dibandingkan saat lo masih SMA, tubuh lo sekarang lebih menonjol."

"Menonjol dibagian yang tepat..." Lanjut Jovan dengan sebelah mata yang mengedip genit kepada Naya.

Naya mendengus, "dulu hobi body shaming, sekarang jadi orang yang otaknya kotor! Dasar nggak punya adab!"

"Kalo gue anggurin cewek cantik, yang badannya kayak elo begini, rugi dong! Sia-sia Tuhan menciptakan mata buat gue, kalo nggak dibuat melihat hal-hal indah!" Jovan sedikit menekankan kata indah pada kalimatnya.

"Kayaknya lo lupa sama rasanya tinjuan gue, deh!"

Jovan memeluk tubuhnya sendiri dan bergidik, "uh, takut. Jadi kangen pengen ditinju sama cewek cantik."

Sebisa mungkin Naya menahan diri untuk tidak memukul mulut Jovan yang menurutnya sangat kurang ajar. Sungguh, tangan Naya sudah sangat gatal ingin meninju Jovan. Tapi Naya ingat, jika dirinya membutuhkan pekerjaan ini secepatnya.

"Bisa nggak sih, jangan main-main? Kapan gue mulai kerja? Dan dimana ruangan gue? Gaji gue berapa? Ngoceh mulu mulut lo! Elo kan, bos! Jadi, harusnya lo punya kerjaan! Bukannya malah sok-sokan jadi HRD, terus wawancara calon karyawan, tapi ujung-ujungnya malah ngomong nggak jelas!"

"Sabar cantik. Nggak sabaran banget, sih? Dan justru karena gue bos, gue bisa seenaknya di sini. Sampai sini harusnya lo paham. Emang kenapa sih, kok kayaknya buru-buru banget? Masa iya nggak betah lama-lama sama cowok ganteng kayak gue?"

Naya menarik nafas panjang, berusaha menetralkan rasa amarah yang mendadak muncul, karena Jovan sepertinya ingin terus-terusan mengulur waktu.

Jovan sendiri bisa melihat jika Naya tampak menahan kesal. Tapi, pria itu tidak peduli dan memang ingin berlama-lama dengan Naya. Tubuh Naya yang ada di depannya saat ini seolah membuat Jovan merasa candu untuk terus menatap gadis itu.

Sepuluh tahun tidak bertemu, siapa yang menyangka jika gadis yang selalu ia ejek karena dadanya rata, kini justru punya lekuk tubuh yang luar biasa menyenangkan mata? Entah apa yang dilakukan Naya pada tubuhnya, hingga gadis itu membuat Jovan tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Melihat tubuh gadis seksi seperti Naya memang bukan pertama kalinya bagi Jovan. Pria itu justru sudah sering melihat body yang mirip gitar spanyol, jika dirinya sedang berada di sirkuit. Hanya saja, Jovan merasa ada yang berbeda dengan Naya. Entah apa yang membuatnya begitu. Yang jelas, Jovan merasa tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Naya.

"Kalo lo cuma mau diem doang, gue pergi!"

Dengan segera Jovan langsung menggenggam tangan Naya yang sudah beranjak dari kursi. "Iya, iya! Dasar nggak sabaran!"

Naya pun menarik tangannya, dan kembali duduk.

"Bentar, gue telpon HRD dulu." Ucap Jovan yang mulai mengeluarkan ponselnya.

Mata Naya melotot. Tak percaya dengan pendengarannya.

"Apa? Jangan protes! Sekali lagi gue bilang, gue bos di sini! Jadi, suka-suka gue!"







***






Jovan mengusap wajahnya dengan air yang mengalir dari wastafel. Berusaha menghilangkan semua pikiran kotor yang mendadak muncul, karena otaknya terus memikirkan Naya.

"Wow! Gila banget si Naya! Nggak nyangka gue! Bisa-bisanya dia punya body bagus begitu. Mana idaman gue banget lagi! Panas banget otak gue gara-gara Naya!"

Pria itu berbalik dan bersandar pada tembok. Matanya terpejam dengan kedua telapak tangan mengepal di samping tubuhnya. "Tenang, Jo. Lo nggak boleh mikirin hal-hal kotor! Inget! Bapaknya Naya galak, dan mukanya kayak doberman! Bisa-bisa lo abis di tangan bokapnya yang mirip ketua mafia itu."

Beberapa menit Jovan bertahan dalam posisi itu, matanya tiba-tiba terbuka, lalu melirik bagian selatan celananya. "Anj! Bisa-bisanya lo bangun cuma gara-gara mikirin Naya!"

Tangan Jovan mengusap kasar rambutnya.

"Naya anj!" Umpat Jovan. "Harusnya gue tidur nyenyak malam ini! Tapi, gara-gara elo, gue harus begadang."

Jovan pun bergegas menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti ketika dering ponselnya berbunyi.

"Siapa, sih? Ganggu banget! Nggak tau apa kalo gue lagi tegangan tinggi!"

Jovan hanya diam, begitu ponselnya sudah ada di tangan. Nama kontak 'Kanjeng Ratu' tertera di sana. Merasa bimbang, apakah harus menerima panggilan tersebut atau harus ia abaikan dan melakukan kegiatannya. Tapi, jika Jovan tidak menjawabnya, dia yakin 100% sang ibu pasti akan mengomel tanpa henti.

Akhirnya, opsi kedua pun menjadi pilihan Jovan. Dia tidak mau telinganya panas, jika tidak segera menjawab telepon sang ibu.

Dan seperti biasa, Jovan langsung menjauhkan ponselnya terlebih dahulu, begitu jempolnya menggeser tombol warna hijau.

"Mari mendengarkan siraman rohani harian dari kanjeng ratu." Gumam Jovan.





***

Shake It (NOMIN GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang