2. Yang Mulia

358 29 0
                                    

Jovan sesekali tersenyum kecil, begitu memasuki lingkungan kantornya guna membalas sapaan para karyawan. Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya, sebelum masuk ke ruangannya sendiri. Waktu yang membosankan akan kembali dimulai pagi ini.

Jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya ia tidak ingin menjadi penerus perusahaan milik ayahnya. Semua ia lakukan karena terpaksa, saat sang kakak memutuskan untuk pergi ke Kanada. Jovan bahkan sudah berjanji dalam hati, jika Marcel sudah kembali, dia akan menyerahkan perusahaan ini kepada kakaknya itu tanpa pikir panjang. Oh, ayolah. Dia ingin bebas dan menjadi pembalap adalah jalannya.

Tapi, rencana hanyalah rencana. Faktanya, sang kakak justru membangun perusahaan miliknya sendiri di Kanada. Dimana itu artinya, kecil kemungkinan bagi Marcel untuk kembali ke Indonesia dan menjalankan perusahaan milik ayah mereka.

Namun, Jovan merasa masih punya harapan. Satria. Si bungsu itu jelas harus mau menjalankan kegiatan membosankan di tempatnya sekarang.

Begitu lulus dari universitas, Jovan berencana akan langsung menyeret Satria untuk menjadi asisten pribadinya dan merasakan penderitaan yang sama. Tidak peduli dengan cita-cita sang adik yang ingin menjadi atlet basket. Jika dirinya tidak bisa menjadi pembalap, maka Satria juga tidak bisa menjadi atlet.

Mereka harus sama-sama menjadi budak korporat, dan menjadikan cita-cita mereka sebatas hobi, seperti yang selalu diucapkan sang ibu.

"Masuk!" Titah Jovan, saat mendengar pintu ruangannya diketuk.

"Hari ini akan diadakan tes wawancara kepada kandidat dokter umum yang akan mengisi klinik baru perusahaan. Jadi, apakah bapak ber-"

Jovan sedikit membanting bulpoin di tangannya, membuat pria yang menjabat sebagai sekretarisnya itu tersentak. "Emang gue bapak lo? Udah lima tahun lo kerja sama gue, masa tetap aja lupa!"

"Maaf bap-eh Yang Mulia Pangeran Jovan ..."

Bibir Jovan tersenyum lebar, begitu panggilan tersebut diganti. Hal seperti ini adalah hal yang ia suka sebagai budak korporat dengan status pewaris. Berlaku seenaknya!

Jika kalian pikir, Jovan semena-mena terhadap karyawan, jelas tidak! Pria itu hanya mengubah nama sapaan, masuk kantor 1 jam lebih lambat dari ketentuan yang sudah Marcel tetapkan sebelumnya, memakai pakaian kasual, dan bersikap genit kepada karyawan perempuan yang menarik di matanya. Entah apa yang akan sang ibu lakukan, jika wanita itu tau bagaimana kelakuan putranya.

Lagipula nama sapaan bapak itu sudah terlalu kuno. Sehingga Jovan mengumumkan kepada seluruh karyawan yang ada di kantor agar memanggilnya Yang Mulia Pangeran Jovan. Tepat sehari saat dirinya sudah mulai memimpin perusahaan. Benar-benar sebuah terobosan yang sepertinya tidak ada pada perusahaan lain.

"Jadi, apakah Yang Mulia berkenan untuk mengawasi berlangsungnya tes wawancara tersebut?"

Jovan sedikit memajukan tubuhnya, "dokternya cewek apa cowok?"

"Ada tiga kandidat. Satu cewek, dan sisanya cowok."

"Yang cewek umur berapa?" Tanya Jovan.

Sekretarisnya itu membuka salah satu berkas, dan hendak memberikannya kepada Jovan, namun pria itu menolak.

"Lo liat aja, males gue baca begituan. Itu kan, privasi."

Si sekretaris pun menurut, "umurnya dua puluh tujuh tahun."

"Tinggi badan sama beratnya?" Tanya Jovan tampak tertarik.

"Seratus enam puluh lima dengan berat badan enam puluh."

Jovan menjentikkan jarinya dengan semangat. "Terima yang cewek aja! Mata gue sepet banget liat karyawan kebanyakan cowok. Kalopun ada yang cewek, udah jadi ibu-ibu. Ada yang masih jomblo, tapi body-nya enggak banget. Terlalu kurus semua, kayak orang kekurangan gizi, berasa liat triplek. Padahal perusahaan juga udah ngasih makan sehari tiga kali. Tiap bulan juga cek kesehatan. Gratis lagi! Sekali-kali rekrut karyawan tuh yang bule! Biar gue semangat kerja!"

"Siap, Yang Mulia."

"Jam berapa tes wawancaranya?"

"Tiga puluh menit lagi."

Kepala Jovan mengangguk, "gue bakal telat sepuluh menit kayaknya."

"Baik, Yang Mulia."

"Eh, Eric!" Panggil Jovan, sebelum sekretarisnya itu pergi.

"Ya?"

"Lain kali jangan terlalu kaku! Gue bukan abang Marcel yang perfeksionis itu! Jadi, santai aja! Pake lo-gue juga nggak papa! Gue udah sering bilang, kan? Masih aja kaku lo! Dasar kolot! Elo belum jadi bapak-bapak kali!" Olok Jovan.

Eric yang mendengar hal itu hanya tersenyum kikuk. "Saya permisi."

Jovan berdecak, "bener-bener ajaran papa sama abang berasa lagi di jaman pra-sejarah. Bapak-ibu, apaan dah!"







***






Tepat di depan sebuah ruangan yang akan menentukan apakah dirinya bisa mendapatkan penghasilan atau tidak. Naya menyatukan kedua tangannya di depan dada. Matanya terpejam sejenak, sebelum menghela nafas panjang. "Tuhan, tolong Naya ya? Mudah-mudahan Naya bisa diterima di perusahaan ini. Seenggaknya Naya harus punya pemasukan tambahan. Amin."

"Dokter Nayara Queenza Wirahardja?"

Kepala Naya mendongak, begitu namanya dipanggil. "Iya."

"Silahkan masuk."

Naya mengangguk sekilas, sebelum mengikuti si pemanggil.

"Silahkan duduk."

"Terima kasih." Balas Naya ramah, walaupun dalam hati ia merasa gugup. Terlebih lagi, wanita di depannya itu tampak serius membaca surat lamaran yang ia yakini adalah miliknya.

"Setelah melihat profil lengkap yang tertulis di sini..."

Naya menahan nafasnya dengan was-was, karena wanita di depannya itu menggantung kalimatnya.

"Kami memutuskan untuk menerima anda."

Senyum di bibir Naya mengembang. Rasa gelisah yang sejak tadi hinggap di hati mendadak lenyap, berganti dengan rasa bahagia.

Namun, hal itu tidak bertahan lama. Sebab, Naya tiba-tiba merasa bingung. Dirinya bahkan diterima tanpa tes apapun.

"Maaf, apakah saya benar-benar sudah diterima? Bagaimana dengan tes wawancaranya? Seingat saya, saya dipanggil hari ini untuk melakukan tes wawancara." Tanya Naya hati-hati.

Wanita di depannya itu mengangguk, "pimpinan perusahaan ini akan kemari sebentar lagi. Mohon ditunggu dalam waktu lima menit, karena beliau yang akan melakukannya sendiri."

"Pimpinan yang melakukan tes wawancara? Bukankah itu tugas HRD?" Naya jelas terkejut mendengar ungkapan wanita di depannya itu. Bukankah seorang pemimpin perusahaan tidak seharusnya melakukan wawancara pada calon karyawan?

Naya bisa melihat wanita di depannya itu tersenyum tipis. "Pimpinan perusahaan kami yang satu ini memang sedikit unik. Jadi, mohon dimaklumi. Beliau mungkin orang baik dan tidak semena-mena terhadap karyawan, hanya saja terlalu santai dan terkadang menciptakan aturannya sendiri."

Kening Naya berkerut samar, begitu  fakta tentang calon bosnya baru saja dibeberkan. Gadis itu hendak kembali bertanya, namun wanita di depannya itu sudah beranjak terlebih dahulu.

"Sepertinya beliau sudah datang, saya permisi."

Naya berdiri dan sedikit membungkuk agar lebih sopan.

"Silahkan, Yang Mulia."

Kepala Naya yang tadinya tertunduk pun menengadah, karena sapaan yang diberikan si wanita. Gadis itupun terkejut melihat siapa sosok yang dipanggil Yang Mulia oleh wanita tersebut.

"Loh, kok elo di sini, cil?"

Naya mengalihkan pandangannya dan mendengus kesal, begitu mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir Jovan.

Bertahun-tahun lamanya Naya sudah lama tidak berjumpa dengan pria itu. Tapi, kenapa pria itu muncul kembali? Dan lebih parahnya, Jovan adalah atasannya.
Menyebalkan!




***

Shake It (NOMIN GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang