02

61 28 5
                                    

Pagi ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku sudah rapih dengan seragam putih biruku, tapi alih-alih turun kebawah untuk sarapan, aku justru masih berdiri di hadapan cermin, menatap pantulan tubuhku. Kantung mataku menghitam, Malam tadi tidurku tidak nyenyak— akhir-akhir ini tidurku selalu seperti itu. Bahkan, belakangan ini aku tak bisa tidur di jam yang seharusnya aku tertidur.  Mungkin ini karena pikiranku yang tidak bisa berhenti memikirkan perihal sekolah yang akan aku tuju.

Setelah berdiam cukup lama, aku memutuskan untuk turun dan melakukan sarapan. Aku lihat ibu sudah selesai dengan alat dapurnya, dan menata menu sarapan pagi ini di meja makan. Kami segera mendudukan diri di tempat masing-masing. Seperti biasa, sarapan pagi di rumah kami tidak pernah sepi. Selalu ada topik-topik ringan untuk dijadikan bahan pembicaraan.

Setelah melakukan sarapan dengan ditemani beberapa topik yang tidak terlalu penting, aku meraih tas ranselku dan segera berpamitan. Aku membuka pintu mobil disamping kursi kemudi— yang dikendarai oleh kakakku. Kami dua bersaudara. Kakaku adalah seorang dokter koas di salah satu Rumah Sakit di Jakarta. Setiap pagi kami selalu berangkat bersama, karena sekolahku satu arah dengan rumah sakit tempat kakakku bekerja.

Jarak antara rumahku dengan sekolah sebenarnya tidak jauh, namun macetnya jalanan kota Jakarta membuat perjalanan kami terasa cukup lama. Sepanjang perjalanan aku hanya diam menatap ke arah jendela. Sebenarnya, aku bukan type anak yang pendiam. Biasanya sepanjang perjalanan aku selalu berceloteh panjang kali lebar— menanyakan hal yang bahkan tidak terlalu penting. Tapi untuk kali ini aku memilih untuk diam dan berlarut dengan isi kepalaku yang berantakan. Sampai pada akhirnya, kakaku membuka obrolan.

"Jadi gimana, kamu udah mikirin ke sekolah mana lagi kamu mau daftar?"

Topik yang kakaku pilih untuk menemani perjalanan kami lagi dan lagi perihal sekolah yang akan aku tuju. Akhirnya aku menghela nafas, sepertinya untuk sekarang dan kedepannya memang akan seperti itu. Ayah, ibu, dan Abang, mereka akan terus menanyakan ke sekolah mana lagi aku ingin mendaftar, sampai aku menemukan tujuan dan lolos di sekolah tersebut.

"Gak tau, belum aku pikirin lagi" jawabku.

"Masih mau ambil jurusan kuliner?"

"Maunya ya gitu. Kuliner atau gak teknik pengolahan pangan. Tapi gak tau deh, buktinya sekarang aku gak lulus tes keduanya". Aku menjawab pertanyaan nya dengan nada frustasi.

Kakakku terkekeh, tangannya terulur untuk mengusap kepalaku.

"Yaudah, jangan frustasi gitu dong. Masa gitu aja mau nyerah. Kamu masih punya waktu buat daftar di sekolah lain. Jangan terlalu ambil pusing, nanti stres"

"Bang Jeff, ini udah sekolah kedua yang aku coba. Hasilnya tetep aja kayak gini. Padahal aku udah belajar, nilai raportku juga aku rasa udah cukup tinggi"

"Dek, Abang kan udah bilang. Sekolah itu gak cuma cari anak yang nilai raport nya tinggi. Mereka bahkan sering mendahulukan anak organisasi. Kenapa? Karena anak organisasi itu pasti punya pengalaman yang lebih. Dulu kamu gak denger siih, Abang bilang gabung OSIS juga"

"Ya dulu Abang cuma nyuruh aku gabung OSIS, gak ngejelasin tuh manfaatnya apa? Jadi ya aku pokus ngejar nilai aja"

"yaudah, Abang bilang jangan terlalu ambil pusing. Buat sekarang ya jalanin aja, pasti ada jalan keluarnya kok"

"Jangan terlalu keras sama diri sendiri, jangan terlalu memforsir diri buat terus-terusan belajar. Kamu juga butuh istirahat. Kalaupun kamu gak ditakdirkan buat masuk jurusan yang kamu mau ya gapapa. Itu tandanya Allah punya alur lain untuk kesuksesan kamu"

Kalimat yang diucapkan bang Jeffrey berhasil membuatku bungkam. Kepalaku kembali berisik, dan aku semakin larut dalam pemikiranku.

"Bener, gimana kalau Allah punya alur lain buat jalan suksesku" Batinku. Lantas aku kembali menatap ke arah jendela mobil. Aku menghabiskan sisa perjalanan dengan kepala yang penuh pertanyaan.

***

Aku berjalan mengitari koridor sekolah. Jam yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukan pukul 07.14. Area sekolah terlihat sepi, anak kelas 7 dan 8 sudah memasuki kelas— sedangkan proses pembelajaran kelas 9 memang sudah kurang efektif, sebagian besar siswa yang datang ke sekolah hanyalah mereka yang belum memiliki tujuan sekolah ke jenjang berikutnya, sehingga guru atau wali kelas dapat memberi saran atau rekomendasi sekolah yang dapat menyalurkan cita-cita mereka. Ujian sekolah sudah selesai sejak seminggu yang lalu, dan sekarang siswa tinggal menunggu surat kelulusan keluar dari pihak sekolah.

"Fir!"

Fira menoleh ke arah suara, ia menemukan sahabatnya— Windi dan Nazwa, sedang berlari kearahnya.

"Haii"

"Fir, gue berhasil masuk Farmasi di sekolah yang gue mau!." ucap Nazwa ketika ia berjalan di samping Fira. 

"Oh ya? Selamat ya!! Semoga betah di sekolah barunya." jawabku.

"Belajar yang bener lu, sekolah elite tuh, jangan di sia-siain." ucap Windi menimpali.

"Aiish"

"Lo gimana, Fir? Kemarin gue ketemu sama ibu di supermarket, katanya lo gak lulus tes?" Windi bertanya setelah Nazwa
usai memberikan kabar bahagianya.

"Iya hahah" Fira menjawab pertanyaan itu dengan senyum yang sulit di artikan.

"Gapapa, Fir. Masih ada waktu kok, semangat!" Windi menepuk bahu Fira untuk memberi semangat pada perempuan itu. Sedangkan Fira, dia hanya membalasnya dengan senyuman.

***

Sekarang shafira sudah duduk di bangku kelasnya, bersama teman-temannya yang lain. Mereka mulai berbincang dengan para guru yang memberikan saran terkait sekolah yang akan mereka tuju.

"Ini udah dua sekolah ya, Fir?"

"Iya, Pak. Ini udah sekolah kedua yang Fira coba, tapi hasilnya masih sama— tidak diterima"

"Fir, bukannya bapak mau mematahkan impian kamu. Tapi untuk sekarang waktunya udah mepet. Pendaftaran sebentar lagi ditutup. Jadi menurut bapak, kamu hanya memiliki dua pilihan. Melanjutkan sekolah di SMA Swasta di Jakarta, atau pergi ke kota lain untuk mendaftar di sekolah negeri dengan jurusan yang kamu mau. Bapak yakin, di kota lain persaingannya gak bakal se-sengit ini. Kamu akan dapat peluang yang lebih besar dengan nilai yang kamu punya. Nilai raport kamu sebenarnya tinggi, hanya saja kebanyakan sekolah negeri di Jakarta ini mementingkan pengalaman organisasi"

Shafira geming, persaingan di ibu kota memang sengit. Tapi Shafira tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan mengalami hal seperti ini. Tidak diterima di sekolah impian, dengan jurusan yang ia inginkan.

"Gitu ya, pak. Kalau begitu, nanti Shafira diskusikan dulu sama ibu ya, pak."

"Iya. Jangan lama-lama ya, Fir. Segera ambil keputusan."

Shafira mengangguk sambil tersenyum

"Kalau begitu, Fira izin pulang duluan ya, pak. Terimakasih."

Guru itu mengangguk, ia sempat menepuk bahu Fira sebelum anak didiknya itu benar-benar meninggalkan ruangan.

———

Turning Seventeen || KarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang