Beberapa hari terakhir sebuah senyuman selalu menghiasi wajah cantik Erina Lakeswara. Paras apatis dan dingin di depan bawahannya hilang tak bersisa, membuat semua orang yang bekerja bersama wanita itu bertanya-tanya.
Seperti hari ini nampaknya suasana hati Erina dipenuhi dengan rasa gembira. Dunia rasanya tengah menyapa wanita itu, entah matahari ataupun angin yang baru saja berembus menerpa rambut rapi milik Erina kala dia membuka jendela kamar.
"Selamat pagi sayang," sapanya pada sang suami yang belum lama bangun dari dunia mimpi. Mata Manggala belum sepenuhnya terbuka, bahkan sepertinya lelaki itu merasa terganggu akibat cahaya matahari yang leluasa masuk melalui salah satu jendela.
"Selamat pagi..." balas Manggala tentu bibirnya juga membalas senyuman manis sang istri. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya sembari meregangkan otot-otot sehabis tidur. Hangat sekali pagi ini Manggala rasa, mungkin sebab mendapat sambutan romantis yang jarang Erina lakukan.
"Kamu tidur nyenyak?"
Wanita itu menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan sang suami. Kemudian kini ganti Erina yang menanyakan bagaimana tidur Manggala semalam.
"Kamu?"
"Aku mimpi indah kayaknya," balas Manggala asal, agaknya karena perilaku aneh sang istri pagi ini membuat lelaki itu berpikir lain juga.
"Good then, kamu mandi gih. Aku siapin baju kamu nanti kita sarapan bareng sama anak-anak."
"Okay!"
Wujud Erina sudah tidak ada kala Manggala keluar dari kamar mandi. Namun, lelaki itu tak ambil pusing mungkin saja dia sekarang menemui anak-anak. Tatapan Manggala berubah menjadi lunak ketika manik matanya tidak sengaja mendapati setelan pakaian kerja yang telah disiapkan sang istri.
Manggala tak bisa menyembunyikan senyumannya, ini benar-benar terasa sangat aneh. Bukan begitu, hanya saja jarang-jarang Erina menunjukkan sisi dirinya yang ini. Sehingga bila dia melakukan hal itu, bukankah seharusnya keadaan sedang tidak baik-baik saja?
"Semoga hari ini ga ada apa-apa," pikir lelaki itu.
Tangan Manggala mulai membenahi satu per satu kancing bajunya hingga semua terpasang sempurna. Dia juga mengambil dasi yang sudah disiapkan Erina, sang istri. Kali ini tema pakaiannya adalah laut, warna biru disempurnakan oleh jam tangan branded berwarna senada.
"Kamu bisa pakainya? sini aku bantuin," tanya Erina diambang pintu kamar yang melihat sang suami ingin memakai dasi. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Manggala hingga akhirnya tubuh mereka sejajar berhadap-hadapan.
"Aku berangkat bareng kamu ya!" ujar Erina disela-sela fokusnya yang tengah terbagi menjadi dua.
"Tumben?"
"Kenapa? kamu ga mau berangkat sama aku ya?"
"Bukan, bukan begitu. Maksudnya tumben kamu ajak aku berangkat bareng, biasanyakan kamu selalu di anter sama Pak Galih."
"Ya... gapapa. Kita tetep dianter sama Pak Galih, tapi kita berangkat bareng."
"Kenapa? ga boleh emangnya aku berangkat sama kamu?" Suara Erina halus ketika mengatakan itu namun berbeda dengan tatapannya yang menimbulkan rasa takut dalam hati.
"Boleh sayang."
*****
Didalam mobil tembok tinggi kembali tercipta di antara pasangan suami istri yang duduk bersampingan. Meski tak ada perbincangan tetapi susana tetap terasa nyaman. Dunia yang mereka minati kadang kala berbeda, namun inilah alasan mereka bisa menjalani kehidupan bersama.