KRINGGGGGG!
Bel berbunyi. Dengan segera para siswa di kelas 11-4 mengemasi barang bawaannya, termasuk kedua sahabat yang sedang berjibaku menyelesaikan soal di buku mereka. Barang bawaan siswi SMA sekarang, surprisingly, sangat banyak. Buku, bekal, belum lagi baju ganti apabila ada pelajaran olahraga. Kadang satu tas tidak akan muat, dan konon akan semakin bertambah jika menginjak kelas dua belas.
"Eh, kemana?" tanya Shurina.
Rania menoleh tidak mengerti. "Pulang nggak?"
"Kan aku mau cerita," kata Shurina mengingatkan.
"Astaga, iya. Ayo coba ceritain sekarang, tanpa titik dan koma." Rania menopangkan tangan di meja, sembari melirik suasana sekeliling kelas. Sudah sepi, teman-teman mereka pasti sedang mendinginkan kepala di warung es kelapa depan sekolah.
Shurina menghela nafas, menyiapkan hati. "Jadi, awalnya, aku bersih-bersih kamar Nenekku. Lalu ketika aku membereskan berkas-berkas di lemari, aku menemukan ini." Shurina menyerahkan hasil cetakan foto surat adopsi.
Mata Rania membelalak. "Adopsi? Shu, kamu.." Gadis itu membaca surat adopsi dengan seksama. "Kamu kapan tahunya?"
"Ehm, dua minggu lalu."
"KENAPA nggak bilang dari kemarin-kemarin sih!" teriak Rania gemas bercampur sedih. Ada air mata mengambang di kedua matanya, pandangannya seolah sedang meneliti Shurina. "Kok nggak langsung cerita ke aku.. ini hal yang besar, tahu. Aku nggak kebayang kamu diam aja, dua minggu ini?" lanjutnya dengan nada tidak percaya.
Mau tidak mau, Shurina juga ikut membersitkan hidungnya yang mendadak merah. "Aku nggak tahu, Ran, harus gimana.. Aku bingung.."
Lalu air mata kedua sahabat itu pecah bersamaan. Tidak bisa dikatakan siapa merangkul siapa, atau mana yang paling kencang tangisannya, karena mereka berdua seolah menjadi satu dalam pelukan erat. Tangan Rania memeluk Shurina dengan kencang, seolah ingin menopang sebagian beban yang ditanggung Shurina sendirian dua minggu kemarin. Tangan Shurina terentang untuk meraih bantuan, yang tidak bisa dia utarakan selama ini.
Setelah reda, dengan sisa-sisa ingus yang masih berleleran, Shurina tersedu-sedu melanjutkan ceritanya. "Aku bingung, cuma ada dokumen bahwa aku berhasil diadopsi, itu saja. Sementara tidak ada keterangan dimana atau siapa yang sebelumnya menampungku. Kenapa dokumen adopsi itu bisa robek jadi dua, Raaan," adu Shurina dengan parau.
Rania mengusap-usap tangan sahabatnya dengan wajah sedih. Gadis itu juga tidak habis pikir, bisa-bisanya dokumen adopsi itu robek jadi dua, tepat setelah nama pihak kedua yang ingin mengadopsi. Rania mulai berpikir kalau ini disengaja, agar Shurina tidak tahu siapa yang dulu menjadi tempatnya tinggal.
"Mau tanya ke Kakek Nenek, aku tidak berani. Kakek dan Nenek selalu bercerita kalau orangtua kandungku sudah meninggal, sehingga mereka yang mengasuhku. Tidak pernah terpikir kalau aku sebetulnya hasil adopsi." Shurina menghembuskan nafas. "Setelah kupikir, aku belum pernah melihat foto orangtuaku sama sekali. Jadi aku mulai mencari, dimana kira-kira panti asuhan yang menampungku. Adopsi biasanya dari panti asuhan, ya, kan?"
"Hmm, nggak juga. Bisa juga dari perseorangan, Shu." jawab Rania. Wajah sahabatnya langsung murung. "Eh, nggak, itu bisa jadi awal yang bagus untuk mencari tahu!" ralatnya cepat.
"Nah, aku juga berpikir begitu," sahut Shurina lega. "Jadi aku ingin keliling ke beberapa tempat ini, dan kalau bisa aku ingin ditemani.. kamu mau nggak?"
"Tentu saja!" Rania menggenggam tangan Shurina erat. "Kita berangkat sekarang?"
"Yuk!"
Kedua gadis itu, dengan tangan tergenggam dan berkas-berkas yang bertumpuk di dalam tas, siap menelusuri jalanan untuk mencari kebenaran. Bagaimanapun hasilnya, kebenaran tetaplah kebenaran yang dicari semua orang.
***
Matahari mulai memanjang di ufuk barat. Deru sepeda motor memasuki pelataran yang teduh, panti asuhan ketujuh dan terakhir yang didatangi oleh kedua sahabat itu.
"Permisi, Bu, dengan panti asuhan Matahari?" tanya Shurina sopan. Rambutnya sudah mulai lepek dan lengket ke kulit kepala karena terlalu lama berada di bawah helm.
Ibu yang disapa mengangguk. "Ada yang bisa dibantu, Nak?"
"Saya mau bertanya soal data anak-anak di panti asuhan sekitar 18 tahun lalu, kira-kira masih bisa tidak yaa Bu?" Rania menjawab. Tampilan gadis itu juga tidak kalah kucelnya, seragamnya menguarkan bau matahari setelah hampir sesorean berkeliling kota.
"Ada perlu apa, ya? Dari lembaga apa?" tanya Ibu tersebut memastikan. "Karena kami tidak boleh memberikan data untuk sembarang orang. Sifatnya rahasia, dan mempengaruhi keamanan anak-anak juga."
Shurina lantas mengeluarkan hasil cetakan foto surat adopsi. "Ini, Bu. Ini nama Nenek saya. Jadi saya sebetulnya diadopsi, tapi saya tidak tahu darimana. Barangkali, Ibu punya data dengan nama saya, atau dengan nama Nenek saya." Shurina mengulang kalimat yang sama untuk ketujuh kalinya.
"Saya periksa dulu ya, di dalam. Boleh saya bawa?" Ibu itu lantas meraih kacamatanya, lalu beranjak ke dalam ruangan. "Kalian duduk dulu saja, anggap rumah sendiri."
Kedua sahabat itu duduk di teras panti yang terasa teduh dinaungi pepohonan. Terdengar sayup-sayup anak-anak yang mengaji di dalam, dan suara guru yang berusaha menyaingi riuh rendahnya anak-anak.
"Terus, nih, Shu, kalau sudah ketemu, kamu mau gimana?" tanya Rania sambil menyelonjorkan kaki.
Shurina termenung. Iya juga ya. "Jujur, aku belum memikirkannya,"
"Terus?"
"Mungkin aku akan.. berbicara dengan Kakek Nenek? Dan bertanya alasan mengapa mereka tidak mau memberitahuku kalau aku itu cucu adopsi." Shurina menaikkan bahu. "Entahlah, belum aku pikirkan."
"Justru harus kamu pikirkan deh, menurutku." kata Rania. "Selama ini kan, Nenek Kakekmu sangat sayang kepadamu. Masa iya, kamu mau tiba-tiba bilang dan seolah-olah kayak menodong, gitu. Mereka bakal kaget." Lantunan mengaji anak-anak semakin kencang dan bersemangat.
Shurina mengangguk pelan. Entah apa yang dikatakan Kakek Neneknya. Jika selama ini mereka menutup-nutupi, mereka telah membalasnya dengan limpahan kasih sayang yang banyak. Menyekolahkan Shurina, memberinya akses kepada hobi merajutnya, menyediakan makanan yang enak, rumah yang nyaman..
"Nak, ketemu.." Ibu tersebut membawa beberapa berkas yang sudah dicetak dan dikumpulkan dengan rapi. "Disini tertulis, Kusnaeningtyas mengadopsi secara resmi bayi nomor 0514 dengan panggilan Shu."
Mata Shurina berkaca-kaca. Ternyata, disini dulu rumahnya. Tangan Rania merengkuh bahu Shurina dengan erat.
"Berkasnya boleh saya bawa pulang, Bu?" tanya Shurina dengan terbata-bata.
"Boleh Nak, ini salinan dari berkas yang ada di komputer." Ibu itu menyodorkan tisu. "Kok bisa ya, berkas sepenting ini justru dirobek." Ibu itu, Bu Murni (sesuai dengan tag namanya) menggelengkan kepala.
Shurina menggenggam berkas itu dengan gemetar. Ternyata namanya memang Shu, sejak awal. Orangtuanyakah yang memberi nama? "Bu, hmm, kalau Ibu mengenal saya tidak ya?" tanya Shurina penuh harap. Siapa tahu dia bisa bertemu orang yang pernah mengasuhnya saat bayi, lalu pernah mengenal orangtuanya.
Ibu itu menggeleng pelan. "Tidak, sayang. Aku baru bekerja disini 10 tahun lalu. Pengasuh yang dahulu sudah berkurang banyak. Kebanyakan sudah meninggal, atau pensiun untuk menikmati hari tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
My 7th Life
General FictionManusia hidup dalam siklus. Kehidupan kematian, kesedihan kebahagiaan, kemalangan kemujuran. Dengan itu, manusia hidup berkali-kali. Dengan jiwa yang sama, mereka lahir dan mati berkali-kali. Namaku Shuri. Ini hidupku yang ketujuh. Setiap kali aku i...