BAB 3 - Seorang Gadis?

15 2 0
                                    

Gadis berambut hitam panjang dengan mata hitam pekat itu sama sekali tidak pernah aku lihat sebelumnya selama masa SMA-ku. Mengapa sekarang dia duduk di kursiku?

"Permisi, bukankah ini kursiku?" tanyaku.

Gadis itu menoleh dan melepaskan pandangannya dari ponselnya. Dia tidak menjawab, hanya menunjukkan ekspresi kosong. Aku mencoba melontarkan beberapa pertanyaan lagi, tetapi Zayn datang.

"Hei, apa yang kamu lakukan? Maaf ya, Tri. Orang ini kadang bodoh, kadang pintar," ucapnya.

"Apa maksudmu?" Aku mencoba menimpali.

"Fik, kursimu kan ada di belakangnya. Apa kau mengigau? Sekali lagi, maaf ya, Tri." Ucapnya sambil menunjuk salah satu bangku.

Hei, bukankah itu kursi Edo? Zayn menunjuk kursi yang pernah diduduki Edo, teman terbaikku, yang ada di belakang kursiku.

"Itu kan kursi Edo," jawabku.

"Edo? Siapa Edo? Ayolah, kau masih mengigau?" jawabnya dengan kebingungan.

Aku terkejut setengah mati. Edo, teman terbaiknya, tampaknya tidak ada di masa ini?

Aku yang masih terkejut tanpa sepatah kata pun segera mengambil kursi di belakang gadis itu sambil berpikir, mengapa hal ini bisa terjadi?

Setelah aku menaruh tasku disitu, aku pergi ke teman-temanku yang ada di belakang dan bertanya kepada mereka tentang gadis itu.

"Ayolah kawan, jangan bercanda, namanya Fitri. Apakah kamu lupa?" ucap Kley.

Jadi, nama gadis itu adalah Fitri. Seingatku, aku pernah melihat kontaknya sebentar di ponselku saat mencari kontak ayahku.

Tak lama kemudian, guru pelajaran pertama datang. Hari ini, pelajaran pertama adalah matematika yang diajarkan oleh Pak Rojib. Ia adalah guru favoritku karena selalu membuat suasana pelajaran ceria dengan sesekali bercanda.

Pak Rojib masuk ke kelas dengan senyumnya yang khas, membawa buku pelajaran matematika di tangannya. "Selamat pagi, semuanya!" serunya dengan semangat. "Mari kita mulai pelajaran hari ini!"

Saat Pak Rojib mulai menjelaskan materi baru, aku merasa pikiranku masih melayang ke gadis bernama Fitri yang duduk di kursiku tadi. Siapa dia sebenarnya? Mengapa aku merasa seakan-akan ada sesuatu yang aneh dengan situasi ini? Seolah-olah aku berada di dunia yang berbeda.

Pelajaran matematika berlangsung, tetapi perhatianku terpecah-pecah. Di satu sisi, aku mencoba mengikuti penjelasan Pak Rojib walaupun aku sudah pernah mempelajarinya, tapi di sisi lain, pikiranku berkelana memikirkan hal-hal aneh yang terjadi pagi ini.

Saat pelajaran usai, aku bergegas menghampiri Zayn dan Kley. "Kalian benar-benar tidak ingat siapa Edo?" tanyaku kepada mereka.

Zayn menggelengkan kepalanya, dan Kley tampak kebingungan. "Maaf, Fik, tapi aku benar-benar tidak tahu siapa Edo. Apa kamu yakin tidak salah ingatan?"

Aku menghela napas, merasa semakin bingung. "Tidak mungkin aku salah ingatan tentang teman baikku sendiri," gumamku.

Zayn menepuk pundakku dengan penuh pengertian. "Mungkin kamu butuh waktu untuk merenung, Fik. Coba cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan terlalu dipikirkan, oke?"

Aku mengangguk, berterima kasih atas dukungan Zayn. Tapi pikiranku terus dihantui oleh pertanyaan tentang Fitri dan hilangnya Edo dari ingatan semua orang kecuali aku.

Selepas itu, aku menuju kantin untuk makan siang. Aku memutuskan untuk membeli makanan terlebih dahulu sebelum mencari tempat duduk. Aku memesan makan siang yang biasa aku nikmati, lalu mencari tempat duduk.

Saat aku melihat-lihat di kantin, aku melihat Winda sedang duduk di sana. Aku mendekatinya dengan membawa makananku. "Hei, Winda," sapaku sambil berdiri di depannya. "Apakah kamu tahu di mana Fitri? Aku ingin bertanya sesuatu padanya."

Winda mengangkat bahunya. "Aku belum melihat Fitri di kantin hari ini. Mungkin dia sedang makan di tempat lain, Fikar."

Aku memutuskan untuk mencari Fitri di sekitar sekolah. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong, mencoba membayangkan di mana Fitri mungkin berada. Saat aku mencapai area dekat perpustakaan, aku melihat sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Aku mendekati ruangan itu dengan hati-hati.

Ketika aku mengintip ke dalam ruangan, aku melihat Fitri duduk sendirian di sebuah meja panjang. Di depannya terdapat kotak makan siang yang telah terbuka, dan Fitri tampak sedang makan sendiri dengan tenang.

Melihat Fitri duduk sendirian membuatku merasa ini adalah kesempatan untuk berbicara dengannya dan mungkin mendapatkan beberapa informasi tentang situasi aneh yang terjadi. Aku masuk ke ruangan dan mendekati Fitri dengan hati-hati. "Hei, Fitri," sapaku dengan suara pelan.

Fitri mengangkat kepalanya dan menatapku dengan ekspresi datar. "Kenapa kamu makan sendirian di sini?" tanyaku, mencoba memulai percakapan dengan Fitri.

"Aku lebih suka makan sendirian," jawabnya singkat.

"Apakah aku boleh bergabung?" Aku bertanya dengan harapan bisa makan bersama dan memulai percakapan.

Fitri menatapku dengan pandangan datar sebelum berkata, "Maaf, aku lebih suka makan sendirian." Dia tampak jelas menunjukkan bahwa dia ingin tetap sendiri.

Aku mengangguk, memahami keinginan Fitri untuk menjaga jarak. "Baiklah, terima kasih," kataku sebelum meninggalkan ruangan.

Aku merasa sedikit kecewa karena tidak bisa makan bersama Fitri dan mungkin mendapatkan beberapa informasi dari percakapan dengannya. Namun, aku menghormati pilihannya untuk makan sendirian dan memutuskan untuk kembali ke kantin untuk bergabung dengan teman-temanku.

Original story by Dio Schrift

Dimensi Kembar: Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang