BAB 1 - Tikus Kantor

33 4 1
                                    

Malam ini, seperti biasa, di apartemenku aku kembali duduk di depan layar komputerku. Di hadapanku, kode-kode tak terhitung jumlahnya tersusun, membentuk gambaran yang rumit dan kompleks.

Aku memutar otakku, mengutak-atik kode-kode tersebut seolah-olah sedang bermain dengan teka-teki mesin yang rumit. Wajahku yang mencerminkan usia 30 tahun tercermin di layar, mataku mulai terasa berat karena kelelahan. Rambut hitamku yang kusut menjadi saksi bisu dari upaya keras yang telah kuberikan selama ini.

Namaku Fikar, seorang programmer yang belum menikah dan sudah terbiasa menjadi tikus kantor yang setia, mencoba mencari solusi untuk setiap masalah yang muncul di depanku.

Seperti dikejar deadline, dimarahi atasan, dan berbagai masalah lainnya. Rasanya seolah-olah aku sudah terbiasa dengan rutinitas ini, dengan segala hiruk-pikuknya yang tak kunjung reda.

Jam dinding menunjukkan jam 1 pagi, tetapi aku masih sibuk bermain dengan kode-kode ini layaknya bermain di taman bermain. Ditemani sekaleng kopi kesukaanku yang kubeli di supermarket terdekat, aku terus berjuang melawan kelelahan dan menyelesaikan pekerjaanku.

Sesekali, aku mengambil napas dalam-dalam untuk mengembalikan fokusku yang mulai luntur akibat lelah.

Tapi saat aku hendak meneguk kopiku, tiba-tiba aku merasakan pusing yang hebat. Ini bukan kali pertama, tetapi kali ini rasanya lebih parah. "Mungkin sebaiknya aku menyelesaikan ini lebih cepat," pikirku.

Belum pernah aku ke dokter selama ini, karena kupikir itu hanya pusing biasa akibat terlalu lama di depan layar komputer. Mungkin besok aku harus memeriksanya ke dokter, jangan-jangan ini penyakit yang cukup serius.

Saat itu, sebelum kesadaranku sepenuhnya menghilang, denyut jantungku bergetar dengan rasa yang tidak biasa, seolah berusaha memberitahuku bahwa tubuhku sedang mengalami sesuatu yang sangat aneh. Hati ini berdetak tidak teratur, dan rasa berdebar semakin kencang, menyebar hingga ke seluruh tubuhku.

Segera setelah itu, pandanganku mulai meluntur, seperti kabut tebal yang menyelimuti segala sesuatu di sekelilingku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan fokus, namun semakin lama, semakin sulit untuk menahan diriku. Akhirnya, tanpa daya, aku merasakan diriku jatuh terkulai, tubuhku tak berdaya terjatuh ke lantai, seiring dengan hilangnya kesadaran yang menghampiriku.

Ketika aku bangun, rasanya tubuhku terasa kaku dan berat. Aku menggeliat pelan, merasakan kasur yang empuk di bawahku, memberikan sedikit kelegaan pada tubuh yang terasa letih. Saat mataku terbuka, terkejut aku melihat langit-langit putih yang tidak biasa bagiku. Ini bukan langit-langit apartemenku. Aku menoleh ke sekeliling, menemukan diriku berada di dalam kamar yang tampak mewah dengan perabotan bernuansa hitam dan dinding yang bersih.

Aku duduk dengan cepat, mencoba memahami situasi. Ruangan ini tidak memiliki barang-barang pribadiku, komputerku, atau bahkan aroma khas apartemenku. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tetapi pikiranku masih terasa kabur dan membingungkan. Aku melihat keluar jendela, namun lingkungan di luar tidaklah familiar.

Ini sama sekali bukan apartemenku. Ini bukan tempat yang kukenal. Dalam kepanikan, aku mencoba mengingat bagaimana aku bisa berakhir di sini. Oh ya, sekarang aku ingat. Semalam aku mengerjakan proyek yang belum selesai, dan aku terbaring di lantai karena pusingku yang kambuh.

Saat aku hendak keluar kamar untuk mencari tahu di mana aku berada, mataku tak sengaja melirik ke cermin di dinding. Dan di situlah aku menyadari, dengan kaget, bahwa orang yang terpantul di cermin itu adalah diriku sendiri, tetapi itu adalah diriku disaat sekolah menengah, mengingatkan aku pada masa SMAku yang sudah lama berlalu.

Aku berdiri terpaku, tak percaya pada apa yang kulihat. Bagaimana bisa aku berada di SMA lagi? Pertanyaan itu menggelayut di benakku, sementara kebingungan dan kepanikan semakin memenuhi hatiku.

Saat aku berusaha meredakan kebingungan yang melanda, mataku tertuju pada sebuah meja kecil di sisi tempat tidur. Di atasnya tergeletak sebuah ponsel yang terasa asing bagiku. Dengan tangan gemetar, aku mengambilnya dan menyalakannya. Layar ponsel menyala, dan sebuah denyutan aneh terasa di dadaku saat aku melihat layar kunci. Ternyata, ponsel itu milikku—benarkah? Meskipun jenis ponselnya berbeda dari yang aku gunakan saat sekolah menengah dulu, ada namaku tertera di layar kunci tersebut.

Tatapan kosongku tertuju pada tahun yang tertera di ponsel. Hatiku hampir berhenti saat melihat tanggalnya: 14 Juni 2010, itu berarti 14 tahun yang lalu. Aku mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Namun, saat kenyataan itu menyeruak, kebingungan berubah menjadi kekagetan yang tak terkira.

14 tahun yang lalu? Itu berarti... aku masih SMA saat ini. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba memproses informasi yang baru saja kudapatkan. Pikiranku melayang ke masa lalu, mengingat-ingat kenangan masa remaja yang sudah terlupakan.

Aku menatap ponsel ini dengan tatapan setengah tidak percaya, ini benar-benar ponselku saat sekolah menengah. "Ba-bagaimana bisa?".

Original story by Dio Schrift

Dimensi Kembar: Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang