01

463 42 1
                                    

Hubungan Jeno dan Renjun memang timpang dan rumpangseperti bermain jungkat-jungkit. Saat satu di atas, yang lain harus di bawah.

Dahulu Renjun yang di atas angin; mencampak, membuang, dan memporak-porandakan hati Jeno. Namun sekarang, Renjun membutuhkan Jeno lebih dari apapun. Sampai turun ke bawah tanah dan bersimpuh tersungkur akan Renjun rela lakukan demi bertahan hidup

👾👾👾

Chenle, aku tidak bisa dengar kamu. Sedikitnya jawab supaya aku tahu kamu masih hidup." Ujar Renjun, diantara berat nafas dan erang, sekuat tenaga menarik gerobak yang berisi Chenle didalamnya.

Kapak yang Renjun ikat  ke pinggangnya bergelontangan di lantai, terseok-seok di tanah dengan setiap berat langkah Renjun, tapi untungnya suara terbatuk Chenle terdengar jelas di telinga,  "Hadir, ge—uhuk,"

Renjun menoleh sedikit ke arah Chenle, sahabatnya kini amat pucat, pasi mustahil meskipun saat sehat saja Chenle sudah seputih vampir di film-film blockbuster. Iris kanan Chenle telah berubah merah sepenuhnya, bola matanya menonjol tak lagi bisa dikedipkan. Virus telah menginfeksi sisi kanan sikut ke atas Chenle, menghias raganya dengan konstelasi tonjolan-tonjolan pembuluh darah. Geram liar berulang kali bersarang pada pangkal tenggorokan Chenle, namun si empunya bertahan. Chenle membungkam dirinya sendiri dengan menggigit perban kain di antara giginya, mengencangkan tekanan untuk menghentikan luka di lengan bawah kanannya.

Renjun menghela nafas, peluh yang menuruni dahinya sama deras dengan milik Chenle yang menahan sakit dan kuasa setan, "Bagus, terus sadar Le. Kupukul kalau kamu sampai gigit aku."

Mungkin seharusnya ia dengar nasihat Junhui untuk ikut pergi ke gym bersama dia, tubuh Renjun yang sekarang tidak lebih baik dari boneka kertas.  Menarik gerobak dalam gelap terowongan bawah tanah juga amat tidak membantu; pengap, sesak, dan lembab. Renjun yang lapar dan haus seolah bergerak senti demi senti bagai siput, menyeret Chenle di antara koloni mati macet Senin pagi yang tidak pernah selesai, berusaha tidak menyenggol bangkai mobil dan bangkai lainnya dalam terowongan yang telah ditinggalkan. Munhye-dong terasa begitu jauh, meskipun kata orang-orang, jaraknya cuma satu jam ditempuh dengan kaki.

Akhirnya sinar matahari sore menerobos pada bukaan di sisi lain. Renjun menghela nafas lega, namun dengan cepat pundaknya kembali lemas. Ketika ia bergelinding masuk menuruni terowongan, hal sebaliknya menanti di ujung jalan keluar.

"Sialan! Huang Renjun, orang tua mu tidak mendidik seorang pengecut!" desis Renjun dalam bisik, mempersiapkan hati dan ototnya untuk mendaki tanjakan terjal.

Persetan dengan dogma religius, Renjun tidak percaya akan akhirat, tapi hari ini ia menyaksikan neraka berjalan di muka bumi dengan mata kepalanya sendiri.

👾👾👾

Sansu-dong 4 jam yang lalu…

"Anjing, sialan. Siapa yang gigit kamu Chenle, aku gigit dia balik." marah Renjun.

Merah darah mekar di lengan bawah Chenle, membuat permukaan kulit yang tadinya putih susu mulus menjadi seperti buah busuk yang digigit kelawar malam-malam. Kulit Chenle terkoyak, darahnya menetes-netes mengenai celana dan sepatu. Pada dagingnya tercetak jelas bentuk yang menyerupai gigitan—bopeng-bopeng bergelombang membekas, dari denture serupa manusia tapi jadi-jadian.

gasolina [noren | reupload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang