SINAR matahari yang kemerahan menerpa sebuah bangunan tua di belakang sekolah. Nuansa menyeramkan kian terasa karena beberapa pohon yang mengililinginya. Seorang anak terlihat melompat dari pagar yang tertutup. Mengusap-usap tangannya yang kotor, lalu membantu satu temannya yang lain untuk turun dari atas pagar. Keduanya merupakan anak yang terkenal karena sering membolos di sekolah. Siapa lagi kalau bukan Faheel dan Zafran.
"Suasananya cocok buat istirahat." Faheel bergumam, setelah melihat sinar jingga yang masuk melalui celah-celah dedaunan.
"Semalam lo nggak tidur lagi, Bang?" tanya Zafran ketika mendengar gumaman Faheel.
Faheel terkekeh pelan. "Rumah gue terlalu berisik," jawabnya.
Kini giliran Zafran yang membalas ucapan Faheel dengan kekehan yang sama. Dia memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi keunguan. "Kalau rumah gue terlalu sepi, sampai rasanya gue berdosa kalau ngomong sepatah kata."
Setelah berbincang singkat, keduanya memasuki gedung bekas pabrik gula tersebut. Faheel membuka plastik terpal yang menutupi sebuah peralatan band di sana. Entah sejak kapan alat-alat musik itu ada di sana. Gedung bekas ini sudah bertahun-tahun ditinggalkan dan tak pernah ada yang mengunjungi. Jadi, satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah alat musik ini milik sekolah yang sudah tak terpakai karena suatu alasan. Kemudian mereka menyimpannya di tempat ini.
"Kalau kita mau bikin grup musik sendiri, kita harus nyari anggota dulu," seloroh Zafran.
"Senggaknya dengan bikin grup musik, kita jadi ada kerjaan dan temen nongkrong. Mungkin kita cuma butuh lima orang yang senasib sama kita." Faheel menutup kembali plastik terpal itu setelah memastikan isi di dalamnya baik-baik saja.
"Senasib yang mana maksudnya? Emang ada anak dengan kelakuan kayak kita?"
"Hmm... mungkin senasib dalam hal yang negatif? Contohnya problematik?" Faheel kemudian tertawa ketika menyadari pernyataan anehnya.
Zafran tersenyum. "Lo bener," gumamnya.
"Katanya kalau kita mau lihat kepribadian dan sifat seseorang, kita bisa lihat dari temen-temennya." Zafran kemudian menepuk-nepuk meja yang berdebu. "Emang bener, ya? Energi yang ada di dunia ini pasti akan menarik energi yang serupa."
Faheel ikut duduk di sampingnya. "Gue udah punya pandangan mau ngajak siapa," sahutnya.
"Siapa?"
"Lo pasti kenal anak ini." Faheel merebahkan badannya, sebelum akhirnya memejamkan mata.
-oOo-
Keesokan harinya, acara perayaan ulang tahun sekolah yang ke-13 dimulai. Acara ulang tahun itu dimulai dengan perlombaan olah raga antar kelas seperti tarik tambang, sepak bola, basket, bola voli, dan sebagainya.
"Bukannya ini nggak adil?" Salah satu anak perempuan bergumam, membuat teman-teman di sampingnya ikut menoleh.
"Lo nggak lihat? Rai kan pintar dalam hal pelajaran. Bahkan semester kemarin aja dia langsung dapet juara umum, padahal masih kelas sepuluh. Kalau dia juga pintar dalam hal olah raga, bukannya Tuhan juga nggak adil?" lanjut anak itu kembali.
Faheel yang berada di kursi paling belakang mendengus. Padahal dia hanya ingin tidur sebentar di kelas demi menghindari perlombaan, tapi anak-anak perempuan ini berisik sekali. Dia pun bangkit dari rebahnya. Segerombolan anak perempuan yang tengah bergosip itu spontan berteriak. Faheel hanya mengerjapkan matanya, karena ternyata cahaya matahari siang langsung menyoroti wajahnya.
"VAMPIRRR!!!" teriak salah seorang di sana. Teman di sampingnya langsung membekap mulutnya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Faheel tanpa memedulikan keterkejutan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trust Me
Teen FictionPercayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa...