6. Matahari yang Kehilangan Cahayanya

14 1 0
                                    

JAM telah menunjukkan pukul satu dini hari. Ishan kembali terbangun setelah mendengar suara-suara gemerisik di sekitarnya. Ia menoleh ke arah teman-temannya. Semuanya masih lelap. Namun, jumlah orang yang ada di sana berkurang satu. Beberapa detik, ia pun mulai tersadar kalau masing-masing dari mereka sudah berbalut seragamnya sendiri untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin malam.

Ishan menggeser tangan Zafran yang memeluk tubuhnya pelan. Aster, Faheel, dan Zafran masih tersisa di tempat itu. Ishan ingin membangunkan mereka semua, tapi ketika ia teringat kembali tentang percakapannya dengan Aster juga obat tidur yang tanpa sengaja ia lihat saat Faheel mencoba tertidur kemarin. Ishan mengurungkan kembali niatnya.

Mungkin, lebih baik jika dia tidak membangunkan mereka. Lagi pula tempat ini juga tidak seburuk sebelumnya setelah dibersihkan. Dia hanya perlu menutup jendela juga dinding yang berlubang dengan kayu di sekitar sana.

Ishan mencangklong tasnya di pundak. Kini perhatiannya terpaku pada lilin di atas meja yang kian lama kian meredup. Mungkin sebentar lagi lilin itu akan mati.

Dia membuka tas Faheel untuk mengganti lilin yang tinggal sedikit.

"Maaf, Bang... gue utak-atik dikit. Nggak ngambil apa-apa, kok. Suweeerr..." Ishan berbisik lirih, takut kalau suaranya mengganggu tidur panjang teman-temannya.

Setelah beberapa menit mencari lilin dan korek, dia pun menemukannya. Kemudian menyalakan korek itu pada sumbu lilin sebelum akhirnya meninggalkan mereka.Ibunya pasti sudah menunggu dirinya sejak semalam.

Ishan hendak menutupi lubang dinding itu dengan kayu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Bukan karena ia tak mau, tapi karena ada seorang yang lebih dulu melakukannya.

Ishan tersenyum. Awalnya ia berpikir Rai adalah orang yang apatis dan tak memedulikan sekitar, tapi ketika mereka mulai dekat seperti ini. Rasanya semua dugaan buruk tentang Rai salah.

Ishan pun pergi dari sana dengan menaiki sepedanya.

-oOo-

Sesampainya Ishan di rumah, ia mendapati adiknya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak menangis. Melihat itu, tanpa sadar ia menjatuhkan sepedanya lantas berlari menghampiri adiknya. Ishan kembali menengok ke dalam. Rumahnya sepi.

"Bela kenapa di sini? Mas Asyad ke mana?" Adiknya semakin menangis ketika melihat Ishan datang dan bertanya kepadanya.

"Waktu adek bangun, Ibu sama Mas Asyad udah nggak ada," isaknya.

Belum sempat Ishan masuk ke dalam rumahnya. Ponsel dalam tasnya lebih dulu berdering. Ishan mengeluarkannya dari tas dengan terburu-buru, lantas mengangkatnya tak peduli jika itu adalah nomor asing.

Di seberang telepon ia bisa mendengar suara adiknya yang bergetar sembari mengatakan bahwa Ibunya kembali memasuki rumah sakit setelah beberapa kali batuk darah dan akhirnya tak sadarkan diri. Mendengar itu, Ishan merutuki dirinya yang pulang terlambat.

Dengan cepat ia menitipkan adik kecilnya kepada tetangga rumah.

Adiknya masih terlalu kecil untuk mengetahui semua kenyataan pahit ini. Ia hanya ingin adiknya di kelilingi oleh hal-hal indah agar ia tak merasakan apa yang dirasakannya sekarang. Jadi mau tak mau Ishan harus menitipkannya, meskipun dengan imbalan cibiran tetangga tentang Bapaknya yang merupakan tahanan dengan kasus pembunuhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trust MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang