03 - Sama-sama Menolak

766 28 0
                                    

Nara sama sekali tidak mengetahui satu kebenaran bahwa, pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Devan pagi tadi merupakan pertemuan untuk kali kedua.

Pertemuan yang seakan sudah diatur oleh semesta dengan sedemikian rupa, hingga muncul suatu keadaan ketika Nara terpaksa harus menarik pergelangan tangan Devan dan memperkenalkan pria tampan itu sebagai kekasihnya pada Rio.

Tidak berhenti sampai di situ, pertemuan tersebut pun membawa Nara pun Devan berakhir dengan percakapan yang cukup serius.

"Gak sekarang. Jadi, selama gue belum mutusin hubungan palsu ini, itu artinya," Devan memberi jeda pada perkataannya, membuat Nara menunggu dengan rasa bingung yang terlanjur mengungkung relung. "lo, masih pacar gue!"

Perkataan Devan bagi Nara benar-benar gila, menggelikan. Nara yang mengira baru pagi itu dirinya bertemu dengan Devan dan Devan sudah berkata seperti itu padanya pun, tentu merasa sangat jengkel.

Nara terkekeh sinis sekilas, meremehkan. Ia memutar bola matanya jengah seraya menghentakan tangannya yang masih berada dalam genggaman Devan dengan sekuat tenaga, membuat Devan melepaskannya seketika.

Nara mendorong dada bidang Devan dengan jemarinya yang lentik, membuat Devan memberi sedikit jarak antara tubuh dan wajah mereka yang memang dikatakan terlalu dekat, sampai bisa merasakan embusan napas hangat satu sama lain.

"Denger ya, Kak Dekan-" "Devan." Devan mengoreksi dengan nada suara terdengar tenang, tapi juga manis dan lembut dalam satu waktu, disertai raut wajah lugu-nya yang terhiasai senyum konyol, seperti orang bodoh.

"Ya, siapa pun itu nama Kaka. Aku. Gak. Perduli!" tukas Nara, penuh penekanan, tidak begitu ambil pusing tentang kesalahan perihal penyebutan nama sang lawan bicara.

Devan menggindikan bahu seraya mengerlingkan mata, acuh. "Ok, lanjut." Ia meremehkan.

Nara mulai merasa geram, teramat. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya, meremat ujung coat yang ia kenakan sekuat tenaga, meluapkan rasa geramnya tersebut di sana.

Menarik napas dalam-dalam, Nara mengembuskannya secara perlahan, mencoba mensugestikan dirinya agar sedikit tenang, tidak terlalu terbawa emosi menghadapi Devan yang baginya begitu menyebalkan.

"Denger, aku sangat berterima kasih karena Kakak tadi udah ngasih bantuan Kakak bua aku. Aku sama sekali gak kenal sama Kakak, dan soal aku yang ngakuin Kakak sebagai pacar aku, itu karena aku lagi gak punya pilihan," tutur Nara, menjelaskan dengan nada suara sedikit tenang tapi cepat, ayalnya seseorang yang tengah bernyanyi bagian rap, berharap pria di hadapannya dapat mengerti dan segera membiarkannya pergi.

Devan menganggukan kepalanya seraya menekuk bibir tipisnya ke dalam, seolah ia memang benar-benar mengerti maksud dari perkataan Nara.

"Emm, jadi lo gak punya pilihan lain selain bo'ongin Rio kalo lo punya pacar, karena gak ada yang mau buat bener-bener jadi pacar lo?"

Penuturan berisi sebuah pertanyaan yang Devan lontarkan dengan enteng tapi nyeleweng itu cukup untuk membuat darah di atas kepala Nara mendidih karena amarah.

"Terserah. Apa pun itu, yang pasti aku harap kita gak bakal ketemu lagi," ucap Nara, penuh penekanan seraya memutar badan dan mulai mengambil langkah untuk pergi.

"Tapi kita satu kampus. Gimana kalo ntar kita gak sengaja papasan? Lagian kan, gue belum mutusin hubungan PALSU kita ini."

Nara tertegun. Ia menghentikan langkahnya saat itu juga. Telapak tangannya masih mengepal di kedua sisi tubuhnya. Ia menahan napas sebentar dengan mata yang terpejam rapat, mencoba meredam emosi yang terlanjur mengungkung.

"Kalau aku papasan sama Kakak, aku bakal ngacuhin Kakak." Nara berkata seraya kembali memutar badan, menghadap ke arah Devan, menatapnya dengat tatapan lekat, dingin juga mengintimidasi.

"Dan soal hubungan PALSU yang belum Kakak putusin, aku udah nganggep hubungan kita selesai, pas Rio tadi pergi. Jadi, apa pun yang bakal Kakak lakuin sama hubungan PASLU itu. Aku. Gak. Akan. Perduli," lanjutnya, menegaskan dengan penuh penekanan, mutlak, memaksa Devan memahami maksud inti dari perkataannya.

Devan terkekeh senang sekilas. Ia menundukan kepalanya sebentar sebelum kembali menatap Nara dengan raut wajahnya yng berubah serius, dingin dan beraura gelap, mengintimidasi.

Nara diam. Ia tidak gentar akan tatapan tajam yang Devan berikan. Ia memaku di sana, beradu tatap dengan Devan yang diiringi peraduan emosi.

Sudut bibir sebelah kiri Devan menukik, hingga memetakan sebuah seringaian ngeri penuh arti, menemani tatapannya yang menyalang tajam, memberi kesan angkuh juga arogan. "Terus, gimana kalau seandainya gue pengen hubungan PASLU ini, jadi hubungan yang beneran?"

Nara terkekeh renyah, menganggap perkataan Devan yang terdengar seperti sebuah tantangan itu hanyalah sebagai gurauan saja.

"Itu kan maunya Kakak, bukan maunya aku. Artinya, itu masalah Kakak lah. Gak ada urusannya lagi sama aku, kan?" tutur Nara, meremehkan.

Devan mengulas senyum manis kali ini, sukses membuat Nara melongo. "Lo pikir gitu?"

Menelan ludah kasar dengan susah payah, Nara mengangguk sembari mengerjapkan pelupuk matanya dengan pergerakan cepat untuk beberapa saat. Tampak begitu lucu. "Ya, iyalah."

Devan mengangguk paham sembari kembali membiarkan bingkai birainya merenggang, mengulas senyum manis yang menambah nilai plus pada wajahnya yang begitu tampan juga rupawan.

Nara melongo menatap Devan. Merasa begitu yakin, bahwa pria menyebalkan di hadapannya itu bipolar, memiliki kalainan, berkepribadian ganda.

"Itu artinya, lo sama sekali gak perduli, kalau gue secara resmi ngedeklarasiin, kalu lo itu adalah milik gue?"

Mata Nara membulat, menatap Devan, kaget. "Mana bisa kayak itu. Kakak mau ngelakuim peresmian secara sepihak, gitu?"

"Kan tadi lo bilang, lo gak perduli."

Nara berdehem. "Kalau secara resmi, ya bakal jadi beda urusannya."

Devan terkekeh gemas melihat Nara gelagapan di hadapannya. "Kalau gitu, gue bakal pake cara lain, yang berkemungkinan besar, bakal bikin lo setuju."

Mengernyitkan kening, hingga kerutan yang tampak cukup dalam memeta, membersamai matanya yang memicing, Nara menatap Devan, nanar. "Maksud Kakak, apa?"

Devan tersenyum senang, sumbringah. "Gue bakal bikin lo cinta sama gue."

Keheningan menyapa selama sekitar lebih kurang tiga detik, selepas Devan merampungkan perkataannya.

Sampai sejurus kemudian, keheningan itu akhirnya buyar, terpecahkan oleh gelak tawa Nara. Sebab gadis cantik itu tertawa terbahak-bahak, sangat puas, hingga ia merasakan sakit di kulit perutnya.

Nara sampai sedikit membungkuk, memegangi perutnya yang rata sambil tertawa hingga terpingkal-pingkal. Sukses membuat seorang Devan menatapnya, keheranan.

"Ah, Kakak lucu banget sih. Aku sampe nangis." Nara menghapus air mata palsunya dengan sangat dramatis saat ia sudah puas menertawakan perkataan Devan.

Membuang napas kasar seraya merapikan pakaian, Nara menunduk sekilas sebelum kembali menatap Devan dengan serius kali ini. "Gak usah terlalu percaya diri, Kak. Kakak gak bakal pernah bisa bikin aku jatuh cinta, karena aku lebih tertarik pada sesama jenis, daripada sama lawan jenis. Kakak perlu tau itu. Kecuali, Kakak mau buang batang punya Kakak, gimana?"

Perkataan Nara sukses membuat Devan melongo, tidak percaya. Mulutnya sedikit menganga, sedangkan mata besarnya, membulat sempurna.

"Jadi lupain aja, hubungan PALSU kita ini. Aku sama Kakak, udah selesai," Nara menjeda perkataan dengan nada seriusnya itu, lalu bibir tipisnya merenggang, mengulas senyum manis. "kalau gitu, aku permisi, Kakak Senior," imbuhnya dengan nada ramah-tamah seraya menbungkukan tubuh sekilas, lalu berlalu begitu saja.

Nara pergi meninggalkan Devan di sana. Diam membeku, menatap sosoknya yang perlahan menghilang dari pandangan.

Dan tingkah Nara itu, berhasil membuat Devan berkata, "dia, bipolar."

Obsesi & CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang