18 - Dusta dijadikan Nyata

279 9 0
                                    

Devan menghentikan langkahnya saat ia hendak menaiki anak tangga menuju ke lantai dua – di mana kamar miliknya berada. Ia memutar tubuh dan kembali melihat Nara yang masih duduk bersama Rio di sofa, terlihat tidak nyaman.

Devan membuang napas kasar seraya berjalan malas menghampiri Nara. "Lo mau ikut sama gue, ke kamar?"

Nara menengadahkan pandangan, hingga matanya beradu pandang dengan Devan yang menatapnya lekat seraya mengulurkan tangan. "H-ha?"

Devan memberi gestur tubuh agar Nara segera meraih tangannya yang sudah terulur di hadapan.

Nara menoleh sekilas ke arah Rio yang masih menatapnya seraya mengeratkan rahang, menahan kemarahan. "Ah, y-ya. Boleh, Kak."

Gadis cantik itu kemudian meraih uluran tangan Devan dengan segera. Ia membangkitkan diri dari duduknya dan pergi ke lantai dua, meninggalkan Rio sendirian di sana, menunggu Diandra.

Untuk saat ini. Terjebak bersama seorang Devandra Abraham dirasanya lebih baik daripada terbelenggu di ruangan yang sama bersama Rio.

Nara memang sudah bertekad untuk membalaskan dendam pada Rio sejak pertemuan pertama mereka, namun, karena saat ini ia belum memiliki persiapan yang cukup matang, ia membiarkan rasa takutnya lagi-lagi menang.

Nara melepaskan tangannya dari genggaman Devan begitu Devan membuka pintu kamarnya.

Devan mendengkus seraya menyisir rambut dengan jemari jenjangnya ke belakang, frustrasi. "Lo tuh kenapa pake bo'ong segala sih, ha?"

Nara tertegun. Ia menghentikan langkahnya tepat setelah melewati ambang pintu. Persendiannya menegang. Matanya membulat sempurna, menatap Devan yang sudah mendudukan diri di tepian tempat tidurnya.

"Kenapa lo malah diem berdiri di situ kayak patung? Sini cepet," imbuh Devan seraya menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.

Nara menelan ludahnya dengan susah payah. Ia merasa gugup. Teramat. Tangannya yang gemetar meremat gemas ujung piyama yang membalut tubuhnya. "Harusnya aku udah boleh pulang kan sekarang, Kak?"

Nara berusaha mengganti topik pembicaraan. Namun, Devan meresponnya dengan anggukan samar.

"Ya. Boleh. Silakan. Lo bisa langsung pulang sekarang, kalau emang lo pengen Rio tau, rumah lo ada di sebelah rumah gue." Devan mengakhiri perkataannya dengan sebuah seringaian ngeri, penuh kepuasan.

Bola mata Nara berotasi. Ia membuang napas kasar seraya melemaskan persendian di bahunya yang sempat menegang. Rasa takutnya perlahan hilang setelah menghadapi Devan yang sangat menyebalkan. Rasa takut itu seketika tergantikan dengan sebuah kejengkelan.

Mendengkus pelan, Nara lantas berdehem. "Kalau boleh tau, gimana caranya Kakak tadi pagi bisa masuk ke halaman belakang rumah aku? Aku mungkin bisa pulang pake cara yang sama."

Bibir Devan merenggang, mengulas senyum licik sesaat, meremehkan. "Gue tadi lompatin pager pembatas. Silakan kalau lo mau nyona. Tapi jangan harap gue mau ngebantuin lo. Ogah gue ngasih bantuan ke lo, apa lagi pas inget apa yang udah lo lakuin ke gue di depan si Bajingan Rio."

Nara menatap Davian dengan tatapan tidak percaya juga dongkol. 'Bener-bener. Dasar cowok gila, nyebelin!'

"Emangnya apa, yang udah aku lakuin di sama Kakak di depan Rio?" tanya Nara penuh penekanan sembari menatap manik mata Devan, dalam-dalam.

Devan mendengkus sinis. "Lo udah bikin gue dianggep pacar yang terlalu overprotektif, Nara."

Nara menyunggingkan senyum miring dengan salah satu alis yang menukik, bersamaan dengan mata yang memicing, menggambarkan kecongkakan. "Tapi bukannya itu emang bener, Kak? Kakak kan emang terlalu overprotectif, kan?"

Obsesi & CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang