Liburan ke Bali bersama keluarga akhirnya hampir selesai. Malam ini aku dan kedua mbak keluar sebentar untuk menghitung seluruh biaya perjalanan di sebuah café tak jauh dari vila. Kenapa tidak di vila saja? Karena takut ketahuan ibu dan bapak. Lagi pula nggak enak dengan kedua kakak iparku. Selama di sini akulah pihak yang selalu mengeluarkan uang untuk kebutuhan bersama. Bill dipegang oleh kakakku Amira. Seperti biasa seluruh pengeluaran kami bagi tiga. Hingga akhirnya ketemu jumlah yang menjadi bagian masing-masing. Sejak dulu kami memang anti ditraktir-traktir.
“Dek, aku sudah transfer, ya,” ucap Mbak Tasya.
Aku segera mengangguk. Disusul dengan Mbak Amira. Akhirnya uang direkeningku kembali juga. Aku tersenyum lebar sambil menikmati kentang goreng yang cukup enak.
“Kalian masih ke Jogja?” tanyaku.
“Iya, nanti bapak marah kalau nggak nginap di rumah. Kamu langsung k Jakarta?”
“Iya, kerjaanku udah numpuk.”
“Ya sudah, kamu kerja bagus-bagus nak. Jangan lupa rajin menabung.” Mbak Amira kembali bercanda. Membuatku langsung melotot.
“Tahun depan semoga bapak dan ibu mau diajak liburan ke Kanada.”
“Nggak yakin aku Mbak. Ibu sekarang malas jalan jauh. Kalau seputaran Indonesia mungkin masih mau.”
“Padahal aku ngarep, biar liburannya bisa lebih lama. Kalau di sini waktunya terbatas. Kadang kangen berlama-lama tinggal bersama ibu dan bapak.”
“Aku kerja, nggak bisa cuti lama-lama.”
Diantara kami bertiga memang tinggal aku satu-satunya yang bekerja. Sementara kedua mbakku resmi menjadi ibu rumah tangga. Bagi mereka hidupku sangatlah menyenangkan karena masih bisa menjalani kehidupan normal di mata banyak perempuan. Tinggal di kos, punya penghasilan besar, bisa beli semua yang diinginkan sendiri. Dan yang paling penting bisa pulang kampung meski jadwal libur pendek. Entahlah, apakah ini memang sebuah keberuntungan atau tidak. Aku lebih berpikir bahwa hidup itu adalah pilihan. Sejak kecil aku memang selalu fokus ingin bekerja setelah besar.
Akhirnya kami pulang. Bapak dan ibu sudah menunggu sambil tersenyum lebar di teras ditemani menantu dan cucu mereka..
“Kalian dari mana?”
“Biasa sister’s time Pak.”
“Nggak ada masalah, kan?”
“Enggak.” jawabku sambil menggandeng bapak memasuki bagian dalam vila.
“Mau nyari bule buat anak bungsu tadi.” teriak Mbak Amira.
“Hush, nanti adikmu cari orang Indonesia saja.” balas ibu.
Aku hanya tertawa. Kedua mbakku sudah mendapat orang luar. Kanada dan Belanda. Ibu memimpikan ingin punya menantu orang Indonesia yang paham akan tradisi Jawa, meski boleh tidak orang Jawa. Entah mau mencari di mana yang seperti itu. Pergaulanku sendiri semakin terbatas. Karena rekan kerjaku yang kebanyakan laki-laki itu rata-rata sudah taken alias suami orang. Dan aku tidak mau dicap sebagai pelakor.
***
Kembali ke Jakarta artinya kembali ke rutinitas. Bekerja sejak pagi hingga malam. Bermacet-macet ria di sore hari. Sepulang kantor kadang kusempatkan untuk pergi ke gym bersama Prita. Salah seorang teman sejak kuliah yang cukup dekat denganku. Dialah yang kerap mendorong agar aku keluar dari sangkar dan mencoba melupakan Dante. Meski malas tetap kuikuti sarannya. Di kos juga mau ngapain?
Seperti malam ini aku ikut Prita yang menghadiri acara pembukaan café sekaligus tempat bilyar milik kekasihnya. Sudah ramai orang di sana. Karena Prita mendampingi Doni, maka aku memilih untuk duduk di sebuah kursi kosong yang ada di tepi. Di sekitar banyak orang merokok membuatku mau tidak mau meninggalkan ruangan. Sebenarnya mau pulang, tetapi kasihan Prita nanti sendirian karena kami naik mobilku. Dan dia sudah mewanti-wanti mau nebeng pulangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN PERNAH LEPASKAN
RomanceKeith harus menerima kenyataan, bahwa istrinya Laura berselingkuh di depan mata menjelang perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5. Alasan yang paling menyakitkan baginya adalah Laura tidak bisa melupakan mantan kekasihnya yang kini berstat...