IV

210 26 12
                                    

Sore itu, setelah menyelesaikan urusan mendadak, Jungwon kembali berjalan menuju panti. Ditemani semilir angin pelan yang menyejukkan juga langit yang tampak indah dengan semburat orange yang menghiasi.

Ia memang sedang belajar dengan keras karena mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti sebuah olimpiade. Bukan kali pertama ia mengikuti perlombaan semacam ini. Sudah sering. Ingat, Jungwon adalah siswa yang mendapat beasiswa. Jadi masalah kepintaran, sepertinya tidak perlu diragukan lagi.

Saat tengah menikmati rasa damai sore itu, tiba-tiba jalannya dihadang, langkahnya dihentikan oleh tiga pemuda yang sebenarnya asing bagi Jungwon.

"Oh? Ini anak belagu itu?"

Salah satu komentar dari tiga anak itu membuat Jungwon mengerutkan alisnya bingung. Apa yang dimaksud dirinya? Jungwon rasa, ia sama sekali tidak membuat kesalahan atau ulah yang merugikan bagi orang lain.

"Maaf, kenapa ya? Kalian siapa?"

"Halah! Gak usah sok lugu! Tampang polos, tapi aslinya lacur kan lo?!"

Pertanyaan atau lebih tepatnya tuduhan itu membuat Jungwon lagi-lagi bingung. "Gue tanya baik-baik, kenapa lo sewot?"

"Bacot! Miskin kan lo? Makannya dapet beasiswa. Kebutuhan sehari-hari dapet uang dari ngelonte pasti."

Jungwon hanya diam. Walau sejujurnya ia sangat kesal dengan tuduhan tak berdasar itu. Dan ingin sekali menendang para orang yang menghadang jalannya ini. Tapi tidak. Ia selalu ingat pesan gurunya, kalau ilmu bela diri, tidak boleh digunakan untuk sembarangan, ataupun hanya untuk unjuk kekuatan, apalagi di sombongkan.

"Kalau nggak ada urusan penting, jangan ganggu gue." Tapi jika mereka pikir Jungwon akan takut, maka salah besar.

Nyatanya Jungwon masih berdiri tanpa gentar, tanpa menunjukan gerak-gerik atau wajah yang ketakutan. Mimik wajahnya tenang, pun dengan bahasa tubuhnya.

"Ada. Urusan penting kita, mau minta lo buat minggat aja dari sekolah. Orang miskin kaya lo nggak pantes buat sekolah di sekolah ternama. Lo nggak malu, disana jadi miskin sendirian?" Todongan kata tak mengenakkan itu dibalas dengan gelak tawa dari dua orang lainnya.

Jungwon memilih bungkam hingga tawa mereka mereda. "Kenapa harus malu? Gue mungkin kurang beruntung dalam masalah uang, tapi gue rasa, gue lebih beruntung dalam masalah otak. Lagian sekolah ternama, butuh orang yang kepintarannya murni, bukan cuma anak yang mau sok sokan keren, mau kelihatan sok pinter, yang aslinya mereka masuk sekolah itu dengan cara nyogok."

Ketiganya terdiam. Lebih tepatnya menggeram tertahan. Sorot mata nyalang diberikan pada Jungwon yang sama sekali tidak goyah.

"Berani juga lo?"

"Sorry, gue punya urusan lain yang lebih penting, daripada ngebuang waktu gue dengan percuma buat ladenin kalian. Permisi."

"Bocah belagu! Lihat aja lo besok!"

Teriakan itu tak dihiraukan oleh Jungwon, yang memilih berjalan santai tanpa menoleh kebelakang ataupun membalas dengan perkataan. Walau sejujurnya ada sedikit rasa khawatir dengan ancaman kecil itu.





































Jungwon kembali ke panti saat hari sudah gelap, namun belum terlalu malam. Ia berjalan ke kamarnya, niat hati mau langsung merebahkan tubuh lelahnya, tapi malah dibuat bingung dengan seseorang yang tertidur diatas ranjang miliknya.

'Puk'

Tepukan pelan pada pundaknya membuatnya sedikit tersentak.
Jungwon menoleh, mendapati Nicholas yang berdiri dibelakangnya
dengan raut bertanya.

"Kenapa?"

"Yang tidur diatas kasur aku, siapa?"

Nicholas sedikit melirik kasur milik Jungwon yang memang ditempati seseorang.

"Itu, anaknya donatur yang tadi."

"Kok bisa disini?"

"Tadi dia mau ke kamar mandi, eh malah kepleset gara-gara kaget lihat kucing yang loncat ke depan dia. Terus kesleo."

Jungwon mengangguk. "Udah diobatin?"

"Tadi udah manggil tukang urut. Tapi katanya biar istirahat disini dulu. Kamar kita kamar yang paling deket, jadi numpang dulu. Tadi kasur kakak juga masih berantakan. Kamu kalau mau istirahat, di kasur kakak aja."

"Huft.... Yaudah deh. Kayanya aku mau kebelakang aja dulu."

Nicholas mengangguk. "Jangan lama-lama, angin malam nggak baik."

"Iya, kak."

Setelahnya, Jungwon berjalan keluar dari kamarnya dan memutuskan untuk duduk di halaman belakang panti.

Sering kali dirinya duduk dikursi yang memang diletakkan di halaman belakang itu, untuk menikmati semilir angin malam yang menyejukkan.

Punggunnya bersandar pada sandaran kursi panjang itu, matanya menelisik langit yang tampak terang karena bantuan dari rembulan dan bintang-bintang.

"Nak, kenapa masih diluar?"

Lagi dan lagi, entah sudah berapa kali Jungwon terkejut hari ini. Ia menoleh kebelakang, mendapati pria yang sepertinya pernah ia lihat. Dan ya, itu adalah donatur pantinya. Sontak Jungwon berdiri dan membungkuk sopan.

"Tidak usah seformal itu. Siapa namamu?"

"Jungwon, paman."

Pria tersebut mengangguk, lalu berjalan mendekati Jungwon.
"Kamu anak yang satu kamar dengan Nicholas, ya?"

"Iya."

"Maaf ya. Anak saya menumpang di kasur kamu."

"Ah, nggak papa kok. Lagian saya juga belum mau tidur."

"Jungwon, sudah berapa lama tinggal di panti?"

Jungwon sempat terdiam sesaat.
"Sejak... Masih bayi."

Pria itu nampak terkejut. Namun sebisa mungkin ia tak menunjukkannya. Dan hanya memberi anggukan sebagai respon.

"Berapa umur kamu?"

Jungwon kembali terdiam beberapa saat. Ia menerawang, mengingat-ingat sudah berapa tahun umurnya.
"Tujuh belas tahun."

Pria di depannya terkekeh gemas.
"Tujuh belas tahun? Saya punya anak yang satu tahun dibawah kamu. Tapi kelakuannya udah kaya orang dewasa, nggak ada lucu-lucunya." suaranya memelan diakhir.

Jungwon tertawa. "Karakter orang memang beda-beda, paman. Mungkin anaknya memang lebih suka begitu."

"Haha, iya bener banget. Yaudah, saya mau masuk dulu. Sudah larut, saya juga mau pulang. Terimakasih ya, Jungwon, atas tumpangan kasurnya buat anak saya. Maaf kalau kamu jadi nggak bisa langsung istirahat."

"Ah, nggak masalah, paman."

"Saya duluan ya? Langsung istirahat setelah ini."

Jungwon mengangguk sembari menampilkan senyum manisnya. Sedikit tertegun kala telapak tangan besar itu mengusap pelan surai miliknya. Perlahan, rasa hangat menjalar ke dirinya hanya karena sentuhan ringan itu. Ini, adalah sesuatu yang Jungwon inginkan dari dulu. Usapan seorang ayah.


SpaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang