BAB 7 : Aku Yang Disalahkan

50 13 10
                                    

Aku tau dompet itu! Dompet klasik yang selalu dibawa Jennie, benar-benar khas dengan inisialnya yang bertuliskan JK.

"JK, Jennie Kim, tetapi harus kukatakan bahwa itu juga menjadi inisialku, Jungkook."

Aku membeku, benar-benar membeku, tidk tau tentnag apa yang harus kulakukan? Apakah itu hanya tiruan? Tidak mungkin, tetapi kalau itu dompetnya? Bagaimana bisa kau mengambilnya?

"Dari mana kau mendapatkannya?" Aku segera menanyakannya dengan cepat, tidak perlu basa-basi sembari menhan suaraku yang sudah mulai bergetar, sesekali meneguk lidahku kasar dengan rasa tidak enak yang tiba-tiba hinggap di leherku.

"Owh tidak. Aku tidak mengambilnya, rekanku yang mendapatkannya, sudah mengikutinya dan mengawasi gerak-geriknya selama beberapa hari dan kini memiliki kesempatan untuk mendapatkan salah satu aset penting tersebut." Aku menoleh kearahnya tidak percaya,

"Kau bisa membuka dan melihat-lihat kalau kau mau," ia benar-benar menawarkan seperti menawarkan ku sebuah permen. Aku mengambil dompet itu, membuka dan benar saja. Di dalamnya begitu banyak data-data dan semuanya benar-benar tidak tersentuh. Ini memang milik Jennie!

"Semuanya masih ada. E-Mail, SIM, Kartu tanda penduduk, dan kartu kredit atau BANK." Aku melenguh tak percaya. Mulutku menganga disertai dengan tatapan kaget tak percaya. Ini lebih horor dari pada mendapati kekasihmu yang ternyata selingkuh. Aku bahkan dapat merasakan mataku yang memanas kembali. Sial! Sial sekali!

"Kau menangis, heung?" Ia mengucapkan dengan nada yang sok menggemaskan dikala aku yang masih mematung dengan semua ini, seolah-olah sedang membujukku untuk membelikan sebuah permen.

"Ya Tuhan!" Aku berbisik sembari menangis dan menutup mulutku menggunakan kedua tanganku tak percaya. Benar, semuanya benar. Di dalam dompet masih ada KTP, SIM dan beberapa karyu kredit yang tak tersentuh. Aku sudah tak kuas adna akhirnya menjatuhkan air mataku disaat kenyataan menghantam kepalaku keras.

Jennie! Jennie! Jennie kau dimana?!

"Astaga kau menangis? Jangan menangis..." Aku berhasil berhenti menangis dikala ia bangun dan memegang tanganku. Sedikit kaget, dan aku nampaknya juga sudah tidak begitu waras setelah ini sehingga entah mengapa aku malah merasa nyaman dengan elusan tangannya, layaknya seorang kekasih yang begitu baik yang sedang menguatkan perasaan kekasihnya.

"Sayang, sayang kemari..." Ia kini menggenggam kedua tanganku sembari menatapku dengan pandnagannya yang penuh empati itu. Aku benar-benar kalut. Otakku sudah masuk banyak sekali kemungkinan, baik kemungkinan gila, baik, maupun aneh. Sudah seperti kaset rusak, bukan diulang-ulang lagi, sudah keatas kebawah dengan tidak begitu beraturan.

"Sayang, sayang hei. Lihat aku." Ia berucap lembut dan tegas. Memengang kedua sisi wajahku, memaksa aku menatap mata birunya yang menenangkan dan penuh teduh. Aku menjadi linglung, terlena dan lalai akan tingkahnya yang menjadi romantis ini.

"Hei, dengar aku. Dengarkan aku. Yeah? Dengarkan aku?" Aku mengangguk pelan dalam genggaman tangannya pada kedua pipiku. "Kau akan selamat. Kau akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Oke?" Aku mengangguk kembali dan ia tersenyum menenangkan.

"Yeah, baik. Baik sekali. Gadis baik." Ia mengelus pucuk kepalaku dan ia sepertinya terdengar seperti mencari-cari sesuatu. "Oke kalau begitu, kau akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja, selama kau mengikuti apa yang kuinstruksikan." Aku terdiam, berusaha menenangkan diri. Tetapi setelah beberapa detik saja diam, kini aku kembali tersadar.

Sialan! Pria ini! Hebat sekali, aku hampir saja terlena. Sepertinya ia memakai trik hipnotis atau psikologi semacamnya agar aku terlena. Ya Tuhan! Untung aku sadar. Diam Ken! DIAM! oke, melirik sedikit kearahnya yang sibuk mengutak-atik telepon tanpa kabel khusus resepsionis. Ia menoleh kearahku dan tersenyum lembut, seperti seorang kekasih. Sialan orang ini.

BERDARAH DINGIN / LIZKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang