BAB 6 : Permainan Emosi

55 14 8
                                    

"Apa pekerjaan mu Jungkook?!" Kini nadaku sudah menjadi setengah panik dan setengah menuntut. Aku sudah panik, sudah hilang kepercayaan ku semua padanya. Aku benar-benar gugup. Suaraku sudah gemetar, mengapa ia bertingkah begitu aneh?

"Shh... Yeah..." Ia meringis bingung dan ragu sebelum akhirnya menjawab. "Hanya sedikit luka atau kekerasan, hingga pembunuhan biasa yang klasik, atau mungkin yang rumit. Intinya tidak begitu jauh-jauh dari menggulingkan pemerintah. Kau tau, dari tokoh biasa hingga tokoh penting, tergantung."

Sialan! Dia bercanda bukan? Tidak! Tidak! Iapasri berbohong. Tidak ia berbohong, astaga lutut! Sial! Kau jangan bergetar dulu! Diam dan tetap kuat. Tegap, jangan lemah! Berdiri sendiri menggunakan kakimu!

"Ahaha?" Sial, lucu? Tidak. Tertawa pengalihan yang malah seperti tawa dengan tanda tanya, sangat tidak sinkron. Untuk menutupi segala kegugupan. "Kau terlalu tampan untuk itu?" Sial, mengapa aku selalu terdegar seperti ragu dan begitu limbung.

"Tidak. Aku serius." Ia berujar dengan nada serius dan sepertinya ia memang serius kali ini.

"Kau agen rahasia?" Aku kini sedikit tenang, yeah. Jungkook memang dari kemarin adalah tamu yang memang begitu penuh kejutan. Aku harap ini tidak berahir buruk, ini tidak Mungin benar sehingga ini mungkin saja sebagai candaan, sehingga aku kembali tersenyum dan bertanya dengan nada menggoda seperti yang ia biasa lakukan.

"Ahaha... Tidak." Tuh kan, ia bercanda. Ia bahkan begitu sempat tertawa. Bahkan tersenyum dengan senyuman memikat itu.

"Pembunuh bayaran?" Aku kembali bertanya menggoda yang dibalas kikikannya yang bertambah keras, mungkin merasa lucu dengan pertanyaan bodohku.

"Aku tidak pintar menembak." Ia berucap disela-sela tawanya.

"Owh... Mafia..." Aku berbisik sok menakutkan. Kini ia sudah tidak bisa menahan tawanya yang meledak. Pertanyaanku terlalu kacau, aku menjadi agak ragu pada diriku. Benarkah?

"Hahahaha... Tidak. Pertanyaan apa itu?"

"FIB? CIA?"

"Well kalau pun aku bekerja Disana aku tidak bisa bilang bukan? Tetapi... Tidak." Ia beralih menjadi nada seriusnya. Apakah ia selalu bertukar ekspresi dengan begitu cepat? Entahlah, mungkin perasaanku saja? Mungkin harus mendorongnya sedikit lebih banyak lagi?

"Kau bisa saja langsung memberitahuku apa pek-"

"Aku sudah memberitahu mu." Sial, ia memotong dengan cepat dan tajam. Nadanya sungguh membuat ekspresi ku yang tadinya senuim kini berubah menjadi canggung bercampur takut. Aku sudah merasa sedikit tidak enak. Aki sempat melenguh terkejut, tidak menyangka akan mendapat respon yang seperti ini. Aku terdiam sedikit dan mulai berbicara lagi setelah berhasil mendapatkan kendali atas diriku.

"W-well, apapun pekerjaanmu, yeah... Itu urusan mu sendiri. Apa itu bantuanmu tadi? Biar kucatat." Aku kembali ke mode profesional.

"Tidak, tidak. Kau tidak perlu mencatatanya. Aku sudah ada catatannya." Ia menunjukanku kertas kecil yang ia punya.

"Owh bagus." Aku hanya menjawab seadanya saja.

"Pemindahan kamar, kamar 405 A menuju kamar 528 A. Kau telpon pihak room-servive mu dan bilang disana ada masalah keran untuk memindahkan kamar mereka menuju 528 A." Sial aku tau kamar itu. Jangan bilang?

"Aku tidak tau apa yang kau bicarakan." Aku segera menyahut cepat, secara tiba-tiba aku mengeluarkan sisi tegasku sebagai seorang resepsionis.

"Kau tau betul apa yang aku bicarakan Ken." Ia mendebat tidak terima.

"Tidak." Aku juga menjawab tegas.

"Haruskah aku sebutkan dengan eksplisit? Sepertinya iya, karena ini jam makan siang dan tak akan ada yang kemari." SIAL! AKU LUPA HAL ITU! SIALAN!

"Park Jin-Young, pelanggan VVIP-mu menempati kamar 405 A, aku ingin kau memindahkannya menuju kamar 528 A. Kudengar ia Gubernur Provinsi Gangwon?" Sial, jangan teruskan lagi...

"Tidak! Tidak! Tidak!" Aku menolak, wajaku bergetar. Mataku memanas, dapat kurasakan sedikit basah karena air mataku sepertinya mau keluar karena dilanda ketakutan yang amat sangat. Oke, tenang. Tenang, tarik napas, buang...

"Kenapa mau perlu aku melakukan itu? Untuk apa? Berikan aku salah satu alasan yang masuk akal." Aku mengucapkan dengan nada getir yang, sudah menyedihkan. Nyaris memelas. Ia seperti terlihat frustasi sebelum akhirnya menjawab.

"Dengarkan aku, kau bekerja sama denganku. Kau akan mendapat bagian yang keren. Yang hanya perlu kau lakukan hanyalah melakukan panggilan telepon sederhana saja untuk membantuku. Itu tidak sesuah itu bukan? Kau sering melakukan hal itu."

Itu beda tolol! Telpon ini akan membuat nyawa seseornag melayang! Kau ingin membunuhnya kan? Sialan kau pikir aku bodoh?

"Kau ingin membunuhnya?" Aku bertanya dengan tegas. Ia sedikit memiringkan kepalanya seperti bingung mencari jawaban, aku sudah muak dengannya. Aku tidak bisa dibujuk!

"Tidak. Tidak. Tentu saja tidak."

"Jangan bohong padaku!" Aku sudah berteriak frustrasi.

"Aku tidak pernah berbohong padamu!" Ia membalas dengan lebih keras. Aku menggelengkan kepalaku tak percaya.

"Aku masih tidak bisa mempercayai mu." Aku berucap kekeh, tentu saja. Ia sudah tidak bisa dipercaya.

"Aku tidak membunuhnya. Bagianku itu begitu sedikit.  Hanya memastikan mu menelpon, aku tidak akan menembak Thomas Meier, aku hanya memastikan mu melakukan panggilan telepon." Sial, ia benar. Maksudnya ia pendebat yang handal.

"Itu sama saja!" Protesku sudah tidak bisa dibendung. Marah, kesal, apes, bercampur frustasi. Aku sudah lelah.

"Ayo Liz. Kau harus bekerja sama padaku. Ini juga akan memudahkan pekerjaanku. Bukankah aku sudah membantumu selama ini dengan pekerjaan payahmu itu?" Sialan! Dasar pria perhitungan! Jadi ini alasannya?

Ya Tuhan! Aku merasa bodoh! Seperti menjadi manusia tertolol di dunia. Ada usnag dibalik batu rupanya!

"Tidak, tidak, tidak. Apapun yang kau bilang. Aku rasa aku minta maaf, aku tidak bisa membantumu dalam situasi ini. Aku tidak harus bukan?"

"Har-"

"TIDAK! TIDAK MAU! POKOKNYA TIDAK MAU!" Sudah lepas kendali aku. Sudah tigak sanggup menahannya lagi. Bagus, tegas. Tetaplah tegas dan kuat dalam situasi seperti ini. Aku benar-benar berucap seperti aku akan meledak dan lelah dengan dunia ini? Kenapa ini ahrus terjadi padaku ya Tuhan!  Aku melihat kearahnya.

Ia dengan sok menggemaskan memiringkan kepalanya sembari mengerucutkan bibirnya gemas, nampak seperti anak kecil yang ingin membujukku.

"Oke." Katanya santai. Ia memang terlalu terlihat santai. Ia merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sesuatu dengan agak melemparkannya ke meja resepsionis.

"Mungkin kau harus melihat ini dulu." Aku melihatnya. Sebuah dompet. Dompet berwarna cokelat khas, dengan tulisan CM! SIAL! SIAL! SIAL! AKU TAU DOMPET ITU!


Hai, up lagi dengan chapter terbaru.... Semoga suka ya... EMG agak pendek hari ini. Cuma serebu kata aja hehe...

Yaa gimana nihh... Udah tambah intens aja NII ceritanya..

Semoga suka yaa. Jangan lupa tinggalkan jejak dan komen untuk menunjukan rasa apresiasi kalian. Byee...

See you...

BERDARAH DINGIN / LIZKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang