1. Hujan 🍂

192 33 3
                                    

Derai derasnya air kehidupan yang jatuh ke bumi membasahi setiap apapun yang dihinggapinya, dedaunan yang basah naik turun dan bergerak akibat tekanan yang dibawa sang air.

Hutan yang kelam menyimpan sejuta rahasia diguyur hujan sore itu, langkah kaki sangat cepat terdengar dari kejauhan dan semakin dekat.

Terlihat seorang pemuda berlari menembus lebatnya hujan di jalanan setapak hutan tempat biasa hewan buruan berkeliaran, nafasnya memburu, tubuhnya yang dilapisi jubah dengan bahan metal kebasahan akibat tetesan air yang berbondong-bondong menyerangnya dari atas.

Sayup-sayup di telinganya masih terdengar suara kerasnya aduan pedang dari belakang, dari arah kerajaan besar yang hanya terlihat bagian atasnya saja dari hutan.

Pemuda itu berhenti di salah satu pohon, meneguk liurnya karena kehausan, ia berlari sangat jauh dari kerajaan ke tempat yang bahkan ia tidak tahu dimana sekarang. Ia menatap sekitar, terlalu gelap di sini, terlalu asing, dan terlalu banyak pasang mata yang melihatnya sekarang.

Mengepalkan tangan menahan rasa yang membuncah di dalam hati, ia terduduk di akar pohon tempatnya bersandar. Ia berlari sangat lama, tapi peristiwa yang baru saja menimpanya seakan baru saja terjadi.

"AYAH!"

"LARI, SUAN!"

"KAKAK!"

"BERLARILAH KE DALAM HUTAN SIALAN!"

Lagi-lagi ia kepalkan tangannya, menggenggam tanah yang basah akibat hujan. Ia menatap jubah coklatnya yang berbau amis ... darah. Saudaranya, tidak, keluarganya, terluka parah di sana. Peperangan pecah di kerajaannya dan ia sama sekali tidak tahu apa-apa.

Kakaknya, adik-adiknya, orang tuanya, terluka parah di sana. Dan seperti pengecut, ia malah berlari ke hutan menyelamatkan diri sendiri.

Ketika ia baru saja ingin mengangkat pedangnya, kakaknya yang telah berlumuran darah mendorongnya menjauh, darahnya mengenai jubah coklatnya meninggalkan bukti bagaimana gentingnya situasi saat itu.

Ingin menangis, tapi ia tidak bisa. Sama sekali tidak bisa mengeluarkan air mata, larangan tak kasat mata membelenggunya dalam aturan yang ketat, bahwa sang Putra Mahkota, dilarang mengeluarkan air mata.

Lama terdiam telinga tajamnya bergerak, mendengar sesuatu dari kejauhan yang mendekati posisinya. Perlahan ia melepaskan genggaman tanah basah di kepalannya, berdiri menatap sekeliling. Bersikap waspada seperti yang selalu diajarkan kepadanya, tangannya bersiap menarik pedang dari samping tubuh.

Langkah itu terdengar semakin jelas, meningkatkan kewaspadaan dalam diri, mengitari seluruh bagian hutan yang menggelap di sore hari. Langkah kaki yang diiringi dengan bunyi air, ia mengernyit ketika langkah itu tak terdengar lagi.

Menarik pedangnya, menodongkannya ke depan meskipun tak terlihat lawan di sana.

Ia lagi-lagi mengernyit ketika penciumannya merasakan bau asap dari kayu sihir, baunya sangat familiar, khas para dukun di kerajaan.

Sedikit seringaian muncul di bibirnya, matanya memutih menajamkan penglihatan khas para Kama. Maniknya berkeliling, menatap pelindung yang terpasang di sekitarnya, perisai yang hanya bisa dibuat oleh satu dukun, dan ia tahu siapa pemilik langkah kaki itu sekarang.

"Keluarlah, Iware."

Tak lama kepulan asap muncul di belakangnya, memperjelas sesosok tubuh renta dengan jubah hijau, rambut putih panjangnya diikat dengan sebuah ranting kayu yang ditusukkan pada ikatannya.

"Ternyata anda di sini, Yang Mulia."

Pemuda itu berbalik, menatap tajam dukun istana itu. Seumur hidup ia selalu menghindari tubuh renta itu, karena ia tahu kedatangan Iware adalah sebuah nasib sial bagi dirinya.

Iware menunduk hormat.

Dukun tua itu terkekeh. "Hmm, bukankah ramalan tua itu berkata benar? Ini menarik bukan, Yang Mulia?"

Pemuda itu mendesis. "Apa yang kau bicarakan?"

"Ramalan itu, bahwa takdir seorang anak akan mengorbankan banyak nyawa dalam tujuh kehidupannya." Wanita itu lagi-lagi terkekeh.

"Tapi aku tidak yakin apakah anda akan menjalani ketujuhnya."

Wanita itu mendekat. "Yang Mulia, jauh sebelum anda lahir, takdir itu telah ditentukan kepada anda. Anda tidak bisa mengelak. Sekarang bagaimana? Apa bau darah saudara anda terasa sangat manis?"

Pemuda itu mengarahkan pedangnya pada sang Dukun. "Tutup mulutmu sialan!"

Iware tertawa. "Anda tidak bisa menghentikan pembaca karma, kelak anda akan berterimakasih kepada saya."

Iware menatap tubuh basah pemuda di depannya lalu mengalihkan pandangan ke arah kerajaan dan tersenyum.

"Bukankah sudah saatnya anda pergi Yang Mulia? Mereka semua sudah habis."

"A-apa maksudmu? Kemana aku akan pergi?"

Iware hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu, ia bergerak maju menggenggam pedang yang disodorkan di depannya, tangannya mengeluarkan darah memperlihatkan seberapa tajamnya pedang suci milik keturunan terakhir Kama.

Tangan berlumuran darah itu ia letakkan pada kening si pemuda yang melototkan matanya dengan nafas tercekat.

"Baiklah, saatnya anda pergi Yang Mulia, semoga perjalanan anda lancar dan tolong, balaskan dendam Kama."

Tubuh itu perlahan bergetar, ia jatuh terduduk karena nafasnya yang sesak dan kepalanya yang terasa seperti dihujani ribuan anak panah.

"Putra Mahkota Kama, keturunan terakhir, Salendra Kamanuka. Teguh dan kuatlah, kamu tidak sendiri, takdir itu ada bersamamu. Sampai bertemu di waktu yang jauh."

Pemuda itu memperhatikan setiap apa yang diucapkan wanita tua di depannya, ia memegangi dadanya yang terasa sakit, nafasnya memendek dengan manik yang mulai menutup, ia dapat melihat kabut putih perlahan menyelimuti tubuhnya.

LAST BAGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang