3. Lingga Parama 🌼

140 37 2
                                    

Sebuah sekolah menengah atas yang terletak sedikit menjauh dari pusat kota, Lingga Parama. Dengan arsitektur modern, sekolah di-cat putih itu sangat mewah dan megah. Jika dilihat dari luar, mungkin akan terlihat seperti istana.

Rerumputannya yang hijau menyejukkan mata, air mancur dengan beberapa patung selaras dengan warna gedung sekolah membuat siapa saja akan betah berada di sana.

Tak heran, dengan biaya masuk yang fantastis dan jangan lupakan biaya per-semesternya, tentu yang akan masuk ke sana hanyalah anak-anak berlian yang diselimuti serbuk emas.

Para individu di sana menuntut ilmu dengan fasilitas yang sangat lengkap, selalu bahagia tanpa beban, melakukan apa yang mereka inginkan selagi tidak melanggar aturan. Maksud saya, setiap sekolah tentu memiliki peraturannya tersendiri bukan? Lantas bagaimana dengan peraturan yang diterapkan oleh sekolah nomor satu di Indonesia itu?

Bunyi pintu yang dibuka tergesa-gesa mengalihkan atensi semua orang yang ada di ruangan itu. Mengernyit bingung menatap pemuda dengan ban lengan berwarna abu-abu di depan sana.

Pemuda itu masuk, ia pastikan untuk memindai satu persatu dari seluruh anggotanya di sana.

"Kalian udah dengar beritanya?" Lalu berjalan mendekat kepada mereka semua.

Total di dalam sana, sekitar sebelas orang termasuk dirinya.

"Akan ada siswa baru di Parama, dan dia akan menempati kamar X-XD." Pemuda itu kembali melanjutkan.

Semua yang di sana masih diam, menatap satu sama lain setelah bergelut dengan pikiran masing-masing.

Seorang pemuda lain berdiri, tubuh kurusnya sangat kentara dengan tinggi badannya.

"Maksud Lo, kamar yang selalu dibiarkan kosong itu?"

"Kamar itu kosong dari awal Parama dibangun 'kan?" Seorang gadis berdiri, rambut pendek memakai poni dengan jepitan berwarna ungu.

Semuanya saling tatap kembali, lalu menatap ke luar jendela di mana sebuah gedung terbengkalai tepat berada di depan sekolah mereka.

Yang lain berdiri. "Lalu? Kenapa?" Tampak tak minat dengan pembahasan kali ini.

"Bukankah seharusnya Lo harus menyambutnya sekarang, Liam?" Yang duduk di pojok, pemuda itu menatap si ketua OSIS.

Satu orang lagi ikut berdiri, kali ini seorang siswi dengan rambut panjang bergelombang, ia terkekeh. "Kalau pembina tau kita ngomongin ini bukannya kerja, gue yakin kita bakal dimarahin lagi."

Setelahnya mereka saling tatap kembali, sebelum hampir menghela napas secara serempak dan kembali pada apa yang mereka kerjakan di awal, tepat sebelum pemuda di depan sana—Ketua OSIS—masuk dengan informasi membosankannya.

Tapi, "Tunggu." Tampaknya ada seseorang yang berminat dengan obrolan kali ini.

"Murid baru?" Lalu ia terkekeh.

"Ini pertama kali Parama menerima murid baru setelah tahun ajaran baru dimulai, gue yakin dia bukan murid biasa. Di mana orang tuanya menabung pohon emas?"

Setelah kalimat pemuda itu, mereka semua kembali saling tatap. Benar, mereka melupakan yang satu itu. Bukankah Lingga Parama tidak akan pernah menerima murid baru? Jumlah kursi mereka telah penuh, semuanya tertulis jelas di peraturan Parama.

Lantas, bagaimana bisa yang satu ini bisa lolos?

"Dia pindahan dari Edinburgh." Ketua OSIS itu menjawab.

"Edinburgh?" Mereka mencoba memastikan kembali apa yang baru saja mereka dengar.

"Edinburgh, Skotlandia."

LAST BAGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang