2. Edinburgh 🌼

109 36 1
                                    

Bunyi lonceng di seberang membuatnya menghela nafas lelah, kembali duduk dengan tegap setelah beberapa saat menunduk mengetikkan ribuan kata pada laptop.

Menoleh ke arah pintu, seorang pelanggan baru saja keluar. Seharusnya ia tidak mempedulikan hal itu, tapi ia terus menatap punggung orang yang tak dikenalnya semakin menjauh menerobos lebatnya hujan di pagi hari.

Ia kembali menghela nafas, kembali fokus pada diri sendiri yang masih tetap di tempat. Duduk di pojok ruangan sebuah cafe klasik dengan secangkir coklat panas penghangat diri di saat hujan mengguyur kota Edinburgh di pagi hari.

Sebuah kegiatan yang telah terlampau biasa ia lakukan di saat libur sekolah, sendiri menikmati kesendirian, sebuah laptop terpampang di depannya menampilkan pekerjaan apa yang ia lakukan selama ini.

Lagi-lagi helaan nafas terdengar, ia memandang jauh ke luar, hujan membasahi setiap sudut kota. Orang bilang, Edinburgh akan menjadi lebih indah disaat hujan, sebuah kota dengan arsitektur klasik dan tua, bangunannya yang menjulang tinggi mengingatkannya pada negeri fantasi.

Ponselnya berdering mengalihkan perhatiannya dari Edinburgh yang basah, memilih melihat siapa yang menghubungi.

"Dè a th’ ann?"
(Ada apa?)

[Càite a bheil thu a-nis?]
(Dimana kamu sekarang?)

"Carson a dh'fhaighnicheas tu?"
(Kenapa bertanya?)

Hembusan nafas terdengar dari seberang. [Why don't you speak Bahasa?]

Pemuda itu membalas dengan helaan nafas juga. "Kenapa kamu selalu menyuruhku menggunakan Bahasa?"

Hening sesaat, pemuda itu mengalihkan pandangannya pada hujan yang semakin lebat di luar sana seakan tak berniat untuk berhenti.

[Rach dhachaigh, fàgaidh am plèana agad aig deich uairean.]
(Pulanglah, pesawatmu akan berangkat pukul sepuluh nanti)

"Apa kalian benar-benar akan memulangkanku?"

[Chan eil sinn gad chuir dhachaigh, tha thu fhathast nar mac. Cha do chuir sinn air ais thu gu Indonesia ach airson sgrùdadh. Hurry home before your dad gets angry.]
(Kami tidak memulangkanmu, kamu tetap putra kami. Kami hanya mengirimmu kembali ke Indonesia untuk belajar. Cepatlah pulang sebelum ayahmu marah.)

Panggilan diputuskan sepihak, pemuda itu menghela napas. Entah sudah helaan keberapa, tapi ia benar-benar sangat lelah sekarang, batinnya lelah.

Ia tersenyum getir, sedikit terkekeh melihat menjulangnya bangunan Edinburgh.

"Bahkan Edinburgh adalah kota pendidikan, tapi kenapa mereka mengirim gue ke Indonesia?"

Pemuda itu merebahkan kepalanya di atas meja, keputusan sepihak yang dibuat orang tuanya membuatnya sangat frustasi. Mengirimnya kembali hanya untuk belajar? Bukankah itu omong kosong? Mereka hanya tidak membutuhkan dirinya lagi.

Inilah yang ditakutkan beberapa anak yang diadopsi dari tempat antah berantah. Ia lahir di Indonesia, entahlah, ia tidak tahu di mana tepatnya. Yang jelas, ia berusia lima tahun ketika sepasang suami istri bermata biru datang ke panti memintanya untuk tinggal bersama mereka.

Lagi-lagi ia menghela nafas, kembali menegakkan tubuhnya. Ia menoleh ke samping dimana sesosok bocah kecil yang selalu menemaninya selama ini berdiri menatapnya kebingungan.

LAST BAGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang