Jeanne menghela nafas gusar, entah berapa kali dia sudah menghapus noda mascara di kelopak matanya. Hingga bedaknya tampak tidak merata. Membuat Jeanne menggeram.
Gadis berambut pirang sebahu itu menarik nafasnya, kembali memakaikan mascara ke bulu mata lentiknya dengan hati-hati. Bibir ranum terpoles liptint berwarna pink peach itu tersenyum puas. “Akhirnya!”
“Sekarang eyeliner, kemana eyeliner-ku? Astaga... Berantakan sekali...”
Gerakan tangan Jeanne terhenti yang akan mengaplikasikan eyeliner di sudut matanya. Wajahnya berubah mendatar. “Ah sial, aku lupa memakai sunscreen-nya!” Matanya mendatar tanpa adanya emosi apapun.
Gadis itu meletakkan eyeliner miliknya dengan kesal. Mengambil kapas dan menuangkan cairan pembersih. Menghapus semua riasan yang sudah susah payah perempuan 20 tahun itu kenakan.
“Jen, cepatlah! Aku bisa telat karena kau!”
Jeanne menggeram, “Shut up, Jeremy. Kau mengacaukan fokusku!” teriaknya sebal. Memakai sunscreen dengan cepat dan memakai bedak dengan serampangan. Tangan lentik dengan kuku terpoles cat berwarna pink soft itu meraih liptint-nya.
Segera menemui sang kakak yang tampak sudah jengah menungguinya.
“Lama sekali!” gerutu Jeremy sembari menyeret tangan adiknya menuju teras, dimana mobil sedan yang akan membawa mereka ke kampus sudah menunggu. Tidak akan membiarkan Jeanne untuk kembali masuk kedalam kamarnya lagi.
Jeanne mendelik dan mencibir kesal. Setelah masuk dan memasang seat-belt gadis itu kembali memoles perona ke bibir ranumnya. Berdandan sembari menatap pantulan dirinya di kamera ponsel.
“Jeremy, lihat. Wajahku tidak aneh kan?” tanyanya sembari menatap wajah sang kakak yang tampak fokus menyetir.
Jeremy hanya berdehem tanpa melirik. “Wajahmu tidak berubah,” jawabnya dengan datar. Tidak memuaskan sama sekali.
Jeanne berdecak lalu menatap sang kakak dengan sengit. Tangannya menarik kemeja Jeremy dengan kuat. “Lihat dulu! Bagaimana jika bedakku tidak rata?”
“Aku sedang menyetir, kau ingin kita menabrak seperti hari itu?!”
Mendengar nada ketus bak membentak dari pemuda berbalut kemeja mocha di sebelahnya membuat Jeanne membenarkan duduknya. Enggan menatap sang kakak kembali.
Jeremy melirik Jeanne dari sudut matanya, menghela nafas melihat perilaku kekanakan sang adik. Tak ayal, Jeremy sedikit muak melihat aksi merajuk Jeanne. “Aku akan pulang terlambat nanti—”
“Siapa.” tanya gadis itu dengan ketus.
Pemuda itu memejamkan matanya sejenak. Bersiap mengulangi perkataannya. “Aku akan pu—”
“Yang bertanya?” potong Jeanne dengan nada sinis. Tak lama gadis itu kembali bungkam. Mata birunya menatapi jalanan ramai. Dalam kepala kecilnya, Jeanne memikirkan susunan kalimat aduan tentang perilaku ketus Jeremiah Riviere.
Papanya— Janvier harus tahu dan memarahi Jeremy. Harus dan Jeanne tidak mau tahu. Jika perlu uang bulanan dan semua fasilitas Jeremy juga ditarik.
“Tak ada ciuman?” tanya Jeremy sembari menaikkan sebelah alisnya.
Jeanne merengut dan mengacungkan jari tengahnya lalu lari terbirit-birit. Sesekali gadis itu tambak menahan cardingan cream atau bahkan pita di rambutnya. Jangan lupakan ransel dengan keychain pompom yang memantul seiras dengan langkah kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enrinette
RomanceJeanne tak lebih hanyalah seorang gadis polos nan naif dengan segala pikiran sederhananya. Bermimpi mempunyai pasangan seorang mafia dan hidup bahagia jelas sangat tidak mungkin. Hingga seorang pria bernama Enrique D'Angelo, orang yang menabraknya h...