Hari berlalu seperti biasanya. Sama halnya dengan Hanna. Sampai saat ini, ia masih mengagumi sosok Bintang Naradipta Rahardja. Sungguh, setiap hari rasa Sukanya kepada Bintang semakin tinggi, walau masih dalam lingkaran wajar. Bagaimanapun ia masih memiliki logika yang waras untuk tidak melewati garis yang ia buat kepada Bintang. Garis yang membentang jauh. Seperti langit dan bumi yang terpisah oleh jarak dan hanya bisa saling bertatapan tanpa pernah adanya kesatuan.
Sudah waktunya jam olahraga. Jam olahraga kelasanya sama seperti kelas Bintang. Memang sama, tapi mereka jarang bertatapan karena Bintang yang sibuk dengan urusan osis, membuat ia sering melewati jam olahraga.
Namun, kali ini Hanna melihat Bintang ditengah lapangan memegang bola basket. Bersandar pada tiang ring basket sambil tertawa bersama temannya. Senang, itulah yang Hanna rasakan saat ini. Mungkin ekspresi yang Hanna tunjukan saat ini biasa saja. Tapi lihatlah matanya yang terus menatap Bintang dengan penuh arti.
Hanna. Dirinya tak pandai berkata-kata. Takpandai pula merangkai kata.Menyukai sesuatupun hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Dirinya tak ingin memaksakan sesuatu yang sudah sangat jelas tak akan pernah bisa ia miliki. Ajaran ayah yang keras, membuatnya menyadari jika tak semua yang ia inginkan akan selalu tercapai.
Dirinya terkejut oleh Sila yang menepuk punggungnya dengan keras. Membuat dirinya tersadar dari lamunannya. Tanpa sadar, ia sudah berteriak keras karena saking terkejut dan perih panas dipunggungnya akibat tepukan Ila yang lumayan keras. Entah apa itu bisa disebut tepukan? Atau tamparan?
Dirinya kini diperhatikan oleh orang sekitarnya.“eh anjir, sorry na sorry. Gua reflek asli dah. Soalnya lo gua panggil malah bengong.” Sila menatap Hanna dengan rasa bersalah, namun diiringi oleh tawa kecil. Emang temen minta ditonjok balik. Untung Hanna sayang. Lihatlah Sila tak menghiraukan tatapan orang sekitar. Sungguh, Hanna sangat malu ditatap penuh penasaran oleh teman sekitarnya karena tiba-tiba berteriak.
“Oke anak anak, sekarang berukumpul ditengah lapangan. Berbaris sesuai kelasnya masing masing. Pisah antara putra dan putri. Hari ini kalian akan tanding basket. Namun, bapa akan mencampur tim antara kelas MIPA 1 dan 3.” Pak Diki selaku guru olahraga mulai membagikan beberapa tim.
Hanna berada di tim 2, berbeda dengan SIla yang berada di tim 3. Pak diki sungguh mencapur kelas.
“Hari ini bapak gabisa nemenin kalian olahraga. Bapak ada rapat guru. Jadi, Bapak mau Bintang yang akan mengawasi kalian. Sekaligus menjadi wasitnya. Bapak nitip ya Bintang?” Setelah Bintang mengiyakan, Pak diki bergegas keruang rapat.
“Pantas saja Bintang dilapangan hari ini. Ternyata buat mengawasi kita karena guru mau rapat toh.” Ujar Hanna dalam hati.
“Oke semuanya. Sesuai apa yang dibilang pak diki. Tim 1 dan tim 2 akan tanding terlebih dahulu.” Bintang memulai tandingannya.
Bola basket berada di tim lawan. Sungguh, sebenarnya hanna tak bisa bermain basket. Dirinya hanya mengikuti saja apa yang diperintahkan. Hanna mencoba merebut bola dari tim lawan, namun beberapa kali gagal. Dita, yang satu tim dengan Hanna berhasil merebut bola tersebut. Mencoba membawa bola mendekati ring. Namun, usahanya gagal karena tim lawan berhasil Kembali merebut bola darinya.
Hanna tak ingin diam saja. Tak ingin menjadi beban tim. Ia lagi lagi mencoba merebut bola. Yap! Kali ini bola berada ditangannya. Mencoba menghindar dari tim lawan. Berusaha mencetak satu poin. Saat dirinya hendak melompat, kakinya terasa seperti kembali kebawah. Dirinya terjatuh sebab tali sepatunya yang terlepas terinjak oleh teman satu timnya.
Nyeri, itulah yang Hanna rasakan. Sepertinya kakinya terkilir. Teman temannya mulai mengerumuni, menanyai apakah ia baik-baik saja. Hanna tak menghiraukan sekitar sebab kakinya yang terasa sangat nyeri.Tiba-tiba, seseorang menarik kakinya. Meluruskan pelan-pelan. Memijat dengan hati-hati seolah sudah sangat ahli. Bintang. Lelaki itu yang saat ini sedang memjat kakinya dengan perlahan. Dirinya tak menyangka jika Bintang bisa melakukannya. Hanna sempat terpana. Namun, dirinya tersadar saat Bintang berusara.
“Masih sakit ga?”
“Eh? u-udah lumayan ko.” Hanna mencoba berdiri. Namun ia meringis sebab masih terasa sedikit nyeri.
Hanna terkejut sebab Bintang tiba tiba merangkulnya. “Sini biar gua bantu.” Seperti mimpi yang menjadi kenyataan seorang yang kamu sukai dalam diam melakukan interaksi yang sebelumnya sama sekali belum pernah.
“Gib! Gua ke uks dulu. Titip dilapangan ya.” Tanpa mendengar jawaban Gibran. Teman sekelas Bintang. Ia langsung menuju uks untuk mengantarkan Hanna.
***
Mereka telah tiba diruang UKS. Bintang menuntun Hanna untuk berbaring diatas ranjang yang tersedia. "Sekarang istirahat dulu aja. Soal kelas olahraga biar gua yang izinin ke pa diki."
Hanna yang mendengar perkataan Bintang pun menganggukkan kepalanya. Ia masih mencerna kerjadian barusan, dirinya tak menyangka jika yang akan menolongnya adalah Bintang. Mulutnya seakan terkunci, tak tahu bagaimana harus merespon setelah apa yang ia alami selama ini. Bintang terdiam sesaat sebelum ia berjalan keluar UKS. Melanjutkan tanggung jawabnya dilapangan.
Bahagia itu sederhana. hal hal kecil yang mungkin seseorang tak sadari bisa menjadi hal paling bahagia untuk sebagian manusia. Melihat seseorang yang kamu kagumi dalam jarak sedekat ini, benar-benar jauh dari dugaan Hanna.
KAMU SEDANG MEMBACA
bak SERENDIPITI
Ficção AdolescenteBintang memang tak terlihat saat hujan turun, namun aku bisa merasakannya. Ia ada, Meski tak terlihat sesaat. Tapi, aku percaya akan keberadaannya. Mungkin kata 'Serendipiti' tempat untuk menggambarkanmu. Menemukan sesuatu yang menyenangkan, bahkan...