BAB 4 • Jl. Karapitan & Rintik Patahnya

27 8 0
                                    

Selamat membaca Bulan Prasbiru teman-teman!

"Maaf, ada meeting mendadak! Lama ya nunggunya? Sebagai permintaan maaf Ayah ajak kamu minum ke kafe depan sana yuk?!" ajak Ayah diangguki senang olehku lalu menaiki motornya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf, ada meeting mendadak! Lama ya nunggunya? Sebagai permintaan maaf Ayah ajak kamu minum ke kafe depan sana yuk?!" ajak Ayah diangguki senang olehku lalu menaiki motornya.

Hari itu Ibu dan Arfa sedang ke Mall berdua, jadi siang menuju sore itu Ayah bebas bersamaku, berdua menikmati semilir angin ditemani dua cangkir minuman coklat dingin untuk Ayah sedangkan aku caramel latte. Ayah mengambil sepuntung rokok lalu menghisapnya dalam-dalam. Ya memang, aku tidak pernah memprotes Ayah jika merokok di depanku meski aku tidak suka. Berbeda dengan Pupa yang memang memilih menyendiri ke balkon untuk merokok karena dia tahu Buna dan aku sangat-sangat tidak suka. Bukannya membedakan, tapi itu lah mereka.

Mataku diam melihati arah bergegasnya motor dan mobil yang terus saja berlalu lalang tanpa henti. Pikiranku masih saja menuju pada laki-laki itu. Kenapa dia bisa dengan sesantai itu mengajakku ikut ke pameran kawannya? Padahal baru kenal belum ada setengah hari. Tapi aku yakin, dia bukan laki-laki jahat atau iseng yang sedang berusaha mendekati perempuan.

Ayahku mematikan sumbu rokoknya lalu bertanya, "Gimana rasanya sekolah di sini? Suka kan?"

Aku mengganguk semangat. "Suka, Yah. Pada baik-baik juga orangnya."

Ayah tersenyum lalu menyeruput coklatnya. Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan pada Ayah namun begitu ragu. Aku takut gugup saat ditanya alasan dan malah jadi ketahuan niatku. Tapi aku tidak bisa berdiam diri karena itu semua harus diutarakan secepat mungkin supaya tidak berlarut.

"Hm, Yah," panggilku agak gugup. "Mulai besok Ayah nggak usah antar jemput aku lagi ya? Aku mau naik angkot aja atau nggak bus."

Ayah menatapku lekat seperti ada sesuatu yang ia tangkap dari kalimatku. "Angkot? Kamu belum ada sebulan di sini, Kak. Arah dari terminal ke rumah aja masih nyasar pakai segala mau naik angkot!"

Aku melirik kanan kiri karena suara Ayah agak besar. "Jangan berisik, Yah! Itu beda Yah. Orang tadi aku udah bacain jurusan angkot di mobilnya. Dan aku ngerti kok. Udah Yah, tenang aja. Aku bisa," kataku penuh yakin padahal tidak.

Ayahku menggeleng tanda tidak setuju. "Nggak usah. Orang Ayah bisa ngejemput kenapa harus naik angkot? Aneh."

Batinku merutuk kesal. Bagaimana bisa aku izin berangkat ke pameran kalau naik angkot di daerah Bandung saja tidak diizinkan? Sudah lah pupus harapanku bisa ke pameran bersama dia.

Aku menghela napas dengan raut wajah sedih. "Malu sama yang lain, Yah. Biar bisa rame-rame juga naik angkot. Kan seru, Yah. Aku beneran ngerti cara naiknya, arah jurusannya, cara bayarnya, semua ngerti. Dan pasti nggak akan nyasar. Percaya kan?" Aku masih berusaha agar diizinkan.

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang