Prolog

147 71 40
                                    

Hujan turun begitu deras,  suara rintik yang jatuh ke jalanan membuat suasana sore itu sangat nyaman dan tenang. Hujan selalu menjadi hal menarik bagi setiap orang,  rintikan air yang jatuh itu seolah menyapa hati setiap orang yang berjalan di bawahnya.

Bagi beberapa orang, hujan seperti sebuah kaset yang membawa memori lama kepada penikmatnya. Membawa kenangan muncul kembali seolah enggan untuk pergi.

Namun, bagi salah seorang remaja laki-laki yang menginjak umur lima belas tahun itu hujan merupakan cuaca yang sangat ia benci. Ia benci kala air membasahi tubuhnya,  ia benci kala memori lama teringat kembali di kepalanya.

"Bawa payung, An. Takutnya nanti tiba-tiba hujan," ucap perempuan paruh baya yang selalu laki-laki itu panggil Bunda.

Laki-laki itu menatap langit yang tampak cerah lalu kembali masuk menghampiri sang Bunda yang tengah memasak di dapur.

"Kayaknya hari ini enggak bakalan hujan, Bund. Itu langit cerah banget, mana mungkin hujan turun."

Bunda berbalik menatap sang anak yang tengah menyuap nasi ke mulutnya. "Cuaca enggak ada yang tahu Ankala, sekarang bisa aja panas tapi kita enggak tahu nanti sore gimana, mungkin aja bisa hujan."

Laki-laki bernama Ankala itu berhenti menyuap. "Enggak bakalan hujan Bunda. Lagian tas Ankala penuh, payung enggak muat lagi, " balasnya menampilkn cengiran di bibirnya.

Bunda mendengus. Memang dasarnya anak keras kepala mau di paksa juga susah. Dari pada berakhir berdebat dengan sang anak, Bunda memilih mengalah saja.

"Ankala pamit Bund, hari ini ada jadwal latihan jadi Ankala pulang agak telat. "

"Yakin enggak mau bawa payung? Nanti kalau kehujanan gimana?"

Ankala meraih tasnya lalu berjalan ke arah pintu. "Enggak bakal hujan Bunda cantik, Ankala kan pawang hujan." Bunda mendengus,  dia hanya mampu melihat anak semata wayangnya itu berjalan pergi meninggalkan rumah.

Mungkin karma tengah menghampiri dirinya, atau lebih tepatnya ia terkena batu sendiri atas ucapannya tadi. Baru saja Ankala memasuki bus yang biasa mengantarkannya ke sekolah, hujan langsung turun begitu deras. Padahal cuaca sangat cerah beberapa menit yang lalu.

Ankala berdecih sebentar, mengeluarkan rasa kekesalannya sambil menatap kaca bus yang basah. Harusnya dia mendengarkan perintah sang Bunda untuk membawa payung bukan malah percaya diri bahwa hujan tak akan turun. Benar kata Bunda, Cuaca tidak ada yang tahu. Mengingat pemberhentian bus dan gerbang sekolahnya jauh, Ankala sudah pasrah jika dia akan terkena hujan dan berakibat seragamnya akan basah. Dia harus menerima hasil dari keras kepalanya tadi pagi,kan.

Ankala berjalan gontai keluar dari bus, sepatunya sudah siap akan terkena basah dan tentu terkena omelan Bunda saat pulang. Ia juga sudah pasrah jika air hujan akan membuat seragamnya basah kuyup. Ia menarik nafas dalam sebelum akhirnya melangkah penuh penyesalan. Kakinya sudah melangkah keluar tetapi tanda-tanda seragamnya terkena basah belum dia rasakan.

Ankala mengerutkan dahinya seolah bingung, yakin dengan sesuatu yang aneh dia dengan gerakan cepat memutar kepalanya ke belakang. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah tangan kecil yang terangkat memegangi payung, tangan itu tampak kesusahan sehingga beberapa kali terlihat tangan itu bergetar.

Ankala memfokuskan pandangannya, dia menatap seseorang di depannya. Gadis yang memiliki tinggi lebih pendek darinya, gadis itu berjinjit memegang payung dan tersenyum menatap Ankala yang memasang wajah datarnya. Karna tinggi badan yang jauh dari Ankala, gadis itu kesusahan memayunginya. Ankala menarik sudut bibirnya sedikit, kesan pertama yang dia lihat dari gadis itu adalah lucu. Gadis itu tampak lucu.

"Bisa pegang payungnya enggak, kaki gue capek jinjit."

Suara itu membuat sudut bibir Ankala kembali tertarik. Dia berdehem sebelum akhirnya mengambil payung itu dari tangan gadis di depannya. Gadis itu tampak tersenyum riang melihat respon Ankala.

"Kenalin, Aruna. Aruna Lengkara." Ankala tak langsung membalas. Dia menatap uluran tangan itu dengan wajah tak berekspresi.

"Kenapa?" tanya gadis bernama Aruna itu menatap Ankala yang diam.

"Nama lo cantik" Setelah mengatakan itu Ankala diam, menunggu respon gadis di depannya sambil membantin. "Orangnya juga cantik"

"Lo ngomong apa? Suara lo ketimbun sama suara hujan," ucap gadis itu berusaha mendekat pada Ankala. Ia ingin mendengar ucapan Ankala yang tak ia dengar tadi.

Ankala mengubah kembali wajahnya menjadi datar."Nama lo jelek" ucap Ankala lalu berjalan pergi meninggalkan Aruna yang kehujanan.

Aruna tertawa dalam hati, "Ganteng-ganteng judes," batinnya lalu mengejar Ankala untuk berlindung di bawah payung berdua. Mereka berjalan berdua, bercerita dan bercanda di bawah payung sebagai penghalang hujan untuk mereka.

Aruna dan Ankala, pertemuan pertama yang menjadikan mereka tumbuh bersama. Pertemuan yang membawa cerita mereka menjadi lebih berwarna.

****

Hollaaaa.....
Selamat hari senin semuaaa...
Mari kita mulai hari senin kita dengan cerita baru aku...

See you next part guys....

Jangan lupa vote+coment ...

BackburnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang