2. Kasur

179 24 1
                                    

Aku pernah membaca di koran lusuh yang kupungut di tong sampah, yang mulanya akan kupakai untuk alas tidur di kamar istanaku. Hell. Aku tidak bisa meludah di satu-satunya tempat yang menerimaku dengan terbuka, jadi dengan sangat terpaksa aku menyebut kolong jembatan menjijikkan itu sebagai istana.

Di berita itu, The Bronx tidak masuk ke dalam daftar lima kota kriminal paling berbahaya di Amerika. Lima kota yang disebutkan adalah Detroit di Michigan, St. Louis di Missouri, Oakland di California, Memphis di Tennessee, dan Birmingham di Alabama. Manhattan dan The Bronx, dua kota yang membesarkanku, tidak tersebutkan di dalam artikel itu. Padahal, suara sirine bergema sepanjang waktu nyaris di setiap sudut jalan. Penangkapan yang dilakukan oleh NYPD juga bisa terjadi kapan saja tanpa kenal waktu.

Orang-orang dewasa mungkin menganggap The Bronx sama sekali tidak bahaya, apalagi bagi mereka yang hidupnya sudah bergelimang harta, atau minimal mereka memiliki penghasilan yang cukup tanpa harus terlunta-lunta sepertiku. Sayangnya, aku hanya seorang remaja tujuh belas tahun yang belum siap dilepas di alam liar.

Saat aku masih tinggal di apartemen kecil bersama keluargaku di Lower Manhattan, aku sudah sering melihat orang mabuk dan setengah teler di bawah pengaruh obat-obatan. Jumlah itu meningkat sejak aku resmi menggelandang ke mana pun di sekitar The Bronx. Orang-orang menatapku dengan mata menyipit dan omongannya melantur. Tak jarang mereka bertindak kasar seolah keberadaanku sangat mengganggu.

Aku jadi bertanya-tanya. Di mana tempatku seharusnya berada? Apakah benar-benar di sini?

"Hei!"

Tubuhku berjingkat kala seseorang menepuk bahuku dari belakang. "Hendery!" Aku mendelik dan berniat membalas pukulannya, tetapi ia lebih gesit menghindar.

"Kau tidak sedang melamunkan pelajaran, kan?"

"Tidak." Aku menggeleng.

"Lalu, kenapa matamu sangat kosong sampai bermenit-menit?"

"Tidak tahu," jawabku, lalu beranjak dari undakan menuruni anak tangga di depan bangunan sekolah.

Oh. Lupa kuceritakan. Selain kolong jembatan, bangunan sekolahan juga menjadi salah satu tempat yang menerima keberadaanku dengan setengah lapang. Kusebut setengah, sebab tidak benar-benar menerimaku sebaik istanaku. Murid-murid di sini bukanlah golongan elit. Orang tua mereka mayoritas hanya pekerja kantoran biasa. Namun, setidaknya mereka bukanlah anak seorang kriminal. Mereka kerap merundungku dengan serangan fisik maupun ejekan.

"Kau tidur di mana nanti?" tanya Hendery dari samping kiriku.

"Mungkin di gudang toko."

"Toko yang mana?"

Aku tersenyum getir. Hendery pasti sudah kesusahan menghitung atau menghafal toko mana saja yang kubobol untuk menumpang tidur, terutama saat musim dingin. "Aku bekerja di toserba dekat pintu keluar stasiun bawah tanah," kataku.

"Bukankah kemarin kau di toko buku?"

"Aku dipecat."

"Kenapa?" Hendery dengan stok tanda tanya di kepalanya yang kerap membuatku pusing.

"Biasa. Mereka menganggapku pencuri dan berpotensi menimbulkan bahaya. Jadi, mereka mengusirku tanpa upah yang belum kuambil selama satu minggu."

"Kau tidak melaporkannya?" pekik Hendery. Kedua alisnya naik saat menatapku. "Mereka menganggapmu pencuri, tapi merekalah yang mencuri uang hasil kerjamu, Shixun!" omelnya.

Suara Hendery membuatku tertawa. Dia adalah salah satu teman yang kumiliki di dunia ini. Kami sudah berteman sejak SD dan alasan yang mendekatkan kami adalah kesamaan asal-usul keluarga. Ayahku dan ayah Hendery sama-sama berdarah China, sehingga dia merasa kami bisa cocok menjadi teman.

The Little Boy Who Slept in My Bed (Chanhun Brothership)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang