4. Peringatan

65 19 0
                                    

Sejak kebenaran tentang Chanyeol Hyung terungkap, kami belum mengobrol lagi sampai detik ini. Hampir dua minggu berlalu dan aku selalu menjadi pihak yang berusaha tanpa membuahkan hasil. Aku selalu melempar banyak pertanyaan dan memohon agar Chanyeol setidaknya mau merespons, tetapi ia hanya diam. Chanyeol Hyung hanya berbicara seperlunya yang tidak ada sangkut paut dengan topik tentang dirinya.

"Aku akan pulang larut. Jangan lupa kunci pintu."

Aku mendongak ke punggung tegap Chanyeol Hyung yang menjauh dari pandangan. "Pergilah," kataku.

Kakakku berhenti melangkah seolah mempersilahkanku untuk melanjutkan ucapan.

"Pergilah ke Sky Park dan jangan sebut soal aku. Kau harus pulang ke keluargamu."

Sepertinya, ucapanku menggores dinding hati Chanyeol Hyung. Ia berbalik badan untuk menatapku dengan sorot asing yang tidak pernah kulihat. Dia selalu menatapku dengan manis dan penuh kasih sayang. Bahkan, meski ia mengalami banyak hari dan kehidupan yang buruk, ia selalu bersikap ramah padaku. Tatapan yang kali ini berbeda. Apakah dia marah? Apakah dia membenciku?

Saat kami berdua membaca komik atau menonton tayangan Marvel di apartemen lama kami di Manhattan, aku tidak pernah memikirkan soal kekuatan super yang ingin kumiliki. Aku hanya menikmati hiburan murahan itu, sebab hanya dengan cara itu aku sedikit melupakan betapa orang tua kami sangat tidak peduli pada anak-anaknya. Sekarang aku menginginkannya. Kekuatan super itu. Tidak. Aku sangat membutuhkannya.

Aku ingin membaca isi pikiran Chanyeol Hyung. Aku ingin mengetahui apa yang dia pikirkan tentang aku. Tentang kami.

"Dia tidak di sini."

"Huh?" Aku terkejut karena kakakku tiba-tiba bersuara.

"Park David atau siapalah itu. Dia tidak di New York."

"Lalu?" tanyaku, menyembunyikan rasa penasaran perihal kapan Chanyeol Hyung pergi ke Sky Park dan mencari tahu. Kupikir, dia hanya sibuk bekerja seperti hari-hari biasa. Rupanya tidak. Dia mendengarkan saran Bàba, yang artinya dia sudah mempertimbangkan untuk menemui ayah kandungnya.

"Dia sedang di Seoul dan sangat sibuk di sana. Dia tidak akan datang ke sini sampai beberapa waktu," jelas Chanyeol Hyung dengan wajah tertekuk.

Aku meneliti ekspresi kakakku. Dia sering marah pada kondisi keluarga kami. Ketika aku hanya diam akibat kelaparan sepanjang hari, Chanyeol Hyung merengek dan membentak orang tua kami agar segera membuatkan atau membeli makanan. Chanyeol Hyung selalu melakukan tugasnya sebagai seorang kakak dan salah satu orang yang normal di rumah kami.

Meski nyaris berdebat dan bertengkar dengan orang tua kami tentang banyak hal, Chanyeol Hyung tidak pernah menunjukkan ekspresi kekecewaannya. Ketika aku sudah sebesar ini sekarang, aku baru paham bahwa dia bukan tidak pernah kecewa. Dia hanya menyembunyikannya. Entah dengan alasan apa. Kondisi kami sekarang pasti sudah menggoyahkannya. Ia tidak lagi menutupi perasaannya dan aku bisa memakluminya.

"Kau bertanya ke meja informasi dan bertanya soal Park David?" tanyaku. Aku harus tahu bagaimana hasil pencarian dan usaha Chanyeol Hyung untuk menemui ayahnya. Hanya dengan cara itu aku bisa menebak apa keputusannya.

"Tidak," jawab Chanyeol Hyung. Singkat.

Aku tidak pernah pergi ke hotel, tetapi aku tahu apa fungsi meja informasi. Dulu, ibu sering mengajakku ke bank atau kantor dinas sosial untuk mencairkan dana bantuan. Di tempat-tempat itu selalu ada meja informasi yang ditempati satu atau dua petugas. Aku mendengar banyak sekali pertanyaan pengunjung. Para petugas menjawabnya dengan ramah dan jelas sehingga aku mulai mengerti bahwa meja informasi akan menjadi penunjuk arah.

The Little Boy Who Slept in My Bed (Chanhun Brothership)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang