8. Bau

78 23 10
                                    

Aku tidak benar-benar pergi ke rumah penampungan. Aku belum siap. Orang-orang akan mengataiku bodoh. Ya, aku tahu. Aku bodoh. Seharusnya aku mendengarkan saran mereka, karena dengan begitu, aku tidak akan terlantar. Namun, apa bedanya? Berada di bangunan beton itu tidak akan menghapus statusku sebagai seorang anak yang terlantar dan tak lagi punya keluarga.

Tentu saja. Aku masih punya Baba, tetapi apakah fakta itu berpengaruh besar terhadapku? Sama sekali tidak. Baba terkurung di penjara dan tak akan pernah melindungiku dengan kedua tangannya. Lagipula, sewaktu ia belum dihukum atas kejahatannya, ia jarang ada untukku. Ia terlalu sibuk berbisnis, lalu tenggelam dalam lautan euforia narkoba. Apa yang bisa aku harapkan darinya? Masa depan? Ah, yang benar saja.

Aku tidak membenci Baba. Aku hanya ... entahlah. Aku merasa cukup sadar dan waras untuk tidak mengharapkan apa-apa dari Baba. Aku tidak bisa menggantungkan kehidupan dan masa depan kepada orang yang berjuang tetap hidup sampai masa tahanannya habis. Satu-satunya yang bisa aku andalkan sekarang adalah diriku sendiri. Maka dari itu, aku berdiri di sini.

Di depan bangunan sekolah.

"Shixun?"

Suara Hendery mengundang atensiku. Senyumku tiba-tiba mengembang hanya karena melihatnya lagi. "Hai." Aku melambaikan tangan.

"Ke mana saja kau?" Hendery memukul lenganku cukup keras.

"Hei, dilarang merundung di sekolah!" Aku mendelik karena pukulan Hendery cukup meninggalkan bekas panas di kulit. "Kau tidak mau menyambutku?" tanyaku.

Hendery memutar bola mata. "Kau baru membolos dua minggu. Untuk apa menyambutmu?" cibirnya. Ia memulai langkah ke undakan tangga. "Kau sudah makan?"

"Sudah."

"Bohong." Hendery merogoh ke dalam tas punggungnya, lalu mengeluarkan satu bungkus roti dan susu kemasan. "Kau harus sarapan supaya bisa belajar fokus."

"Apakah menurutmu aku ke sini untuk benar-benar bersekolah?"

"Memangnya tidak?" Dahi Hendery berkerut menatapku.

"Entah." Aku mengangkat kedua bahu. Kami duduk bersebalahan di dalam kelas yang masih cukup sepi. Kelas baru akan dimulai sekitar lima belas lagi, jika guru tidak terlambat karena kemacetan. "Hendery," panggilku.

"Apa?"

"Aku akan membelikanmu toko roti kalau sudah menjadi orang kaya nanti."

Telunjuk Hendery seketika mendorong dahiku ke belakang. "Tahun lalu kau berkata akan membelu dua truk permen hanya karena aku memberimu dua permen," katanya.

"Ya, itu juga. Kau, kan, rajin mencatat. Kau catat saja hal-hal yang kujanjikan padamu."

Hendery kembali mencibir. "Memangnya, bagaimana caramu menjadi orang kaya, huh? Kau saja malas belajar," omelnya.

Aku ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tentang keluargaku. Fakta bahwa Chanyeol Hyung bukan kandung kakakku. Namun, lidahku seperti tersengat es batu. Beku. Aku tidak mengatakan apa-apa untuk menjawab pertanyan Hendery. Kemudian, sepanjang kelas berlangsung, aku sama sekali tidak menyimak. Aku hanya melamun ke buku Hendery yang kuambil asal dari dalam tasnya.

Otakku membayangkan seandainya Chanyeol Hyung berhasil menemui Park David dan ia kembali menjadi putra konglomerat, apakah dia benar-benar akan melupakanku? Seandainya ia ingat padaku, apakah dia akan menjemputku untuk tinggal bersamanya? Dia akan menjadi orang kaya. Apakah itu artinya dia membelikanku rumah yang besar?

"Hei." Hendery menyenggol kakiku cukup keras.

Aku terkesiap. "Apa?" tanyaku.

"Kelas sudah berakhir."

Kelas nyaris kosong. Para siswa sudah meninggalkan ruangan.

"Kau mau ke mana setelah ini?" tanya Hendery.

"Ke toserba. Hari ini aku harus membongkar gudang."

"Syukurlah," ucap Hendery disusul helaan napas panjang. "Setidaknya, kau punya uang untuk membeli makan malam. Bukan begitu?"

"Ya." Aku mengangguk.

Kami berjalan beriringan. Tidak banyak anak-anak di sekolah ini yang saling peduli satu sama lain. Banyak dari mereka lebih suka bergaul dengan teman terdekat saja, atau ke mana-mana sendiri seperti yang aku lakukan jika tidak ada Hendery. Aku menyukai situasi itu, sebab aku bukan orang yang pandai bergaul.

Di tikungan lorong, aku tidak sengaja bertabrakan dengan lelaki pirang yang seketika mengaduh. Setelah mundur beberapa langkah, dahinya berkerut. Ia menatapku seperti tengah memindai sesuatu, lalu sedikit mendekatkan hidung untuk mengendus badanku.

"Kau bau!" teriaknya.

Mau tidak mau, aku ikut mengendus bahuku sendiri. Aku tidak bisa memahami bau seperti apa yang dia maksud, sebab aku tidak pernah mencium aroma badanku. Aku tidak pernah memakai parfum atau pewangi apa pun.

"Hei, berapa hari kau tidak mandi?" Lelaki itu tertawa terbahak-bahak seolah ada hal lucu di hadapannya.

"Jaga ucapanmu!" tegur Hendery dengan suara galak.

"Kau, bagaimana kau betah berdekatan dengan anak ini?"

"Kau!" Hendery hendak menyerang anak itu, tetapi aku segera menahan lengannya. "Lepas, Shixun!" Ia menyentak tanganku.

"Mungkin dia benar," kataku.

"Apa?" Suara Hendery sedikit melengking.

"Aku tidak seperti kau atau anak lain yang bajunya dicuci dan disetrika dengan pengharum. Tentu saja, aku pasti bau. Dia benar. Sebaiknya kau tidak berdekatan denganku," ujarku seraya bergegas menjauh dari Hendery.

"Kau ini bicara apa?" teriak Hendery. Langkahnya segera menyusulku. "Shixun, berhenti!"

Aku tidak mendengarkan teriakan Hendery. Langkahku makin cepat. Aku berlari menjauhi bangunan sekolah. Jangan sampai ada lebih banyak orang yang akan mencium bau badanku. Padahal, aku sudah mandi. Ada kamar mandi di lantai bawah tanah. Walaupun airnya sering mati, aku masih bisa membasuh tubuhku dengan sedikit sabun yang kucuri dari sebuah kantong plastik di belakang pintu.

Nyatanya, hidup tak terawat tetap meninggalkan sesuatu yang buruk padaku.

Aku terus berlari tanpa tujuan sampai napasku habis dan tenagaku tak banyak tersisa. Tubuhku membungkuk di persimpangan. Lampu pejalan kaki berkelip merah. Mobil-mobil berlalu-lalang di hadapanku. Kuperhatikan orang-orang melirikku sedikit. Sebagian besar dari mereka langsung memalingkan wajah dengan tatapan terganggu dengan keberadaanku.

Apa aku sebau itu?

Seberapa kacaunya diriku?

Aku berdiri menghadap pintu kaca sebuah toko dekat trotoar. Baju dan celanaku kusut dan kusam. Persis seperti wajah dan badanku. Benar-benar tak ada satu pun dari diriku yang terlihat sedikit bagus. Aku memperhatikan orang-orang yang berpakaian rapi dan bersih, sementara aku hanya celana jin kebesaran yang ditempeli noda tanah dan kaus polos bercak-bercak.

Di pikiranku, yang penting aku sudah mandi dan pakaianku bersih. Ternyata, itu tidak cukup. Aku harus seperti orang-orang lain kebanyakan agar terhindar dari tatapan merendahkan. Masalahnya, bagaimana? Aku tidak punya apa-apa. Bagaimana aku harus berpenampilan dan menjalani hidup seperti mereka?

Di saat-saat seperti ini, aku teringat pada Baba dan Mama. Walaupun mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengabdi pada kokain, ada saat-saat ketika seluruh perhatian dan kasih sayang mereka selalu tercurah padaku. Terutama ketika aku menangis. Saat mereka melihatku menitikkan air mata, mereka akan menghampiriku. Mereka akan memelukku.

Sejak dulu, banyak orang tidak suka pada kami. Padaku. Orang-orang menghindariku. Hanya Baba dan Mama yang dengan senang hati memelukku. Pelukan mereka membuatku merasa hangat dan tenang. Berada di pelukan mereka, aku merasa aman dan tak perlu takut pada apa pun.

Mereka telah pergi. Baba dan Mama pergi meninggalkanku.

Tak ada lagi orang-orang yang akan memelukku.

The Little Boy Who Slept in My Bed (Chanhun Brothership)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang