1. Kolong Jembatan

329 40 10
                                    

Aku belum menikah, tetapi aku tahu bahwa pernikahan adalah salah satu hal paling sakral di dunia ini. Apabila salah satu dari mereka, atau keduanya, melakukan kesalahan, mengingkari janji pernikahan, hidup mereka akan ditimpa kesialan. Ironisnya, jika pernikahan itu sudah dikaruniai anak, kesialan itu akan terus berlanjut turun-temurun, seolah nasib buruk adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan.

Salah seorang keturunan yang kusebut adalah diriku sendiri. Aku adalah satu dari sekian juta anak kurang beruntung yang terlahir dari keluarga yang salah. Kusebut salah, karena orang lain menganggapnya demikian. Aku pun setuju. Seharusnya, aku tidak hidup seperti ini. Seharusnya, aku tidak dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yang bermasalah.

Ketika aku beranjak dewasa, aku benar-benar paham bahwa keluargaku jauh dari kata normal untuk arti keluarga yang sesungguhnya. Kakek dan nenek dari pihak ayahku bercerai, yang kemudian membuatku memikirkan kata-kata yang tadi kuucapkan. Mereka telah menyalahi pernikahan dan janji suci.

Akibatnya?

Ayahku besar dengan pergaulan remaja yang liar. Semasa SMA, ia sudah merokok ganja. Sebenarnya, adalah siswa yang pintar dan cerdas. Namun, ganja yang sudah menyebar di aliran darah membuatnya kesulitan menyelesaikan pendidikan dengan nilai tinggi. Saat sudah memasuki usia perkuliahan, pergaulannya makin bebas dan tak terkendali. Ayahku menjadi pecandu obat terlarang.

Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi pada ibuku. Dia kabur dari rumah karena tak tahan menjadi sasaran amukan oleh ayahnya. Kakekku sangat ringan tangan dalam arti negatif. Ibuku yang sudah tidak tahan dipukuli nyaris setiap hari, memutuskan pergi dari rumah untuk menjadi gelandangan yang kemudian menjadikannya kurir pengantar obat-obatan, sekaligus pemakainya.

Di salah satu belakang bangunan empat lantai di pinggiran The Bronx, ayah dan ibuku bertemu. Seorang kurir dan pemakai kokain. Singkat cerita, timbul benih cinta dari intensitas dan komunikasi yang terjalin di antara mereka. Jika orang-orang berkata bahwa cinta adalah obat penyembuh, hal itu tidak sepenuhnya berlaku untuk ayah dan ibuku. Mereka justru makin gelap mata.

Sekitar satu tahun kemudian, mereka menikah. Penghasilan mengedarkan obat terlarang cukup untuk menyewa apartemen kecil sehingga mereka tak lagi hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dari pernikahan itu, kakakku lahir tepat di perayaan satu tahun usai mengucap janji suci. Dua tahun setelahnya, aku lahir dengan kondisi yang tak baik.

Ibuku tidak pernah tahu bahwa ia tengah mengandung. Ia terus merokok dan sesekali menghirup lem atau menyuntikkan cairan bening ke lengannya. Cara itu praktis seperti menyuntikkan obat terlarang ke dalam tubuh kami di dalam kandungannya. Bahkan, setelah mengetahui dirinya tengah hamil, ia tidak bisa menghentikan kebiasaannya. Ia menolak direhabilitasi.

"Menyingkirlah!"

Aku tersentak ketika seorang pria dengan bau badan tak sedap mendorong badanku menjauh. Kupandangi pria berjenggot putih dengan rambut yang sepertinya tidak dicuci berbulan-bulan. Aku ingin mengabaikannya, tetapi perutku belum siap untuk ditendang lagi setelah beberapa menit sebelumnya, gelandangan yang lain juga memaksaku untuk berpindah. Padahal, aku yang lebih dulu menempati posisi ini.

Pada akhirnya, aku mengalah. Kusambar tas punggung bulukku menjauh dari pria mabuk yang langsung teler di atas kardus milikku. Aku menghela napas panjang. Sepertinya, malam ini aku harus tidur tanpa alas lagi.

"Hei."

Panggilan dari sisi kanan mengejutkanku. Kupandangi seorang wanita dengan rambut kepang panjang tengah melambaikan tangan agar aku mendekat. Senyumnya hangat. Ia menepuk kardus kosong di sisi kirinya.

"Tidur di sini," bisiknya agar tidak terdengar oleh penghuni lain.

Aku mengangguk pelan, lalu bergeser perlahan-lahan ke sisinya. "Thanks," kataku.

"Never mind. Kau juga pernah memberikan kardusmu untukku."

Dahiku berkerut menatapnya. Tak kusangka, dia mengingat tindakanku yang sudah cukup lama. Aku bahkan nyaris lupa pada kejadian itu.

"Jadi, kau hanya seorang tunawisma, kan?"

"Ya?"

"Kulihat, kau bukan pemabuk apalagi pecandu. Kau tidur di sini hanya karena tidak punya rumah, kan?"

Aku terdiam. Kupandangi puluhan orang yang sudah pulas di setiap sisi dinding kolong jembatan. Aroma menjijikkan dari tempat pembuangan sampah tak jauh dari jembatan menjadi pengharum kolong ini setiap waktu. Sama seperti orang-orang yang berebut kardus untuk tidur di tempat ini, alasanku tak jauh berbeda dari mereka. Aku tidak punya tempat tinggal.

Kolong jembatan ini hanya satu dari sekian tempat persinggahanku. Jika tempat ini penuh, aku akan pergi ke stasiun bawah tanah yang beresiko diusir oleh petugas keamanan atau digelandang polisi. Terkadang, aku juga menyelinap masuk ke gudang atau atap bangunan. Tidak jarang aku merelakan tubuh untuk digigit nyamuk karena pura-pura tertidur di taman sebelum dibangunkan oleh petugas kepolisian yang berpatroli.

"Di mana rumahmu?" tanya wanita itu sambil merebahkan badan. Tangannya menarik bahuku agar ikut berbaring di sisinya. Dia terlihat seperti seorang ibu yang penyayang. Entah apa yang terjadi padanya sampai-sampai harus tidur di tempat seperti ini. Dari penampilannya, terlihat ia sebagai wanita yang sehat. Dalam artian, tidak ada ganja atau kokain di dalam tubuhnya.

"Dulunya di Manhattan," jawabku.

"Ayahmu?"

"Masih di penjara di New Jersey." Aku mengingat-ingat kapan terakhir kali bertemu ayahku. Kira-kira sekitar enam bulan lalu. Artinya, sudah enam bulan aku hidup di jalanan. Astaga. Padahal, usiaku baru tujuh belas, tetapi aku sudah merasakan kehidupan yang sekejam ini.

Wanita berkemeja kotak lusuh itu seketika menoleh. "Ibumu?" tanyanya lagi.

Bibirku terkatup. Aku tak sanggup menggerakkan lidah. Namun, tatapan menunggu dari wanita yang telah baik hati membagi kardus denganku, membuat mulutku bergerak menjawab, "Sudah meninggal."

"I am sorry to hear." Wanita itu menepuk lenganku tiga kali. "Kau anak tunggal?" Suaranya berubah penuh simpati.

"Tidak." Aku menggeleng. "Kakakku bekerja serabutan keliling kota. Aku sudah satu minggu tidak bertemu dengannya."

"Kau tidak selalu berada di sini, jadi bagaimana kakakmu akan tahu keberadaanmu?"

"Di Central Park. Sebenarnya, kami sudah saling berjanji akan datang ke tempat itu setiap dua hari sekali di jam-jam yang kami sepakati. Tapi, dia belum terlihat selama satu minggu ini," jelasku apa adanya.

"Apakah sebelumnya pernah seperti ini?"

Aku mengangguk. "Kami pernah berpisah hampir dua bulan. Kupikir dia sudah mati. Ternyata, dia menjadi korban perdagangan manusia dan dipulangkan oleh kepolisian," kataku.

Wanita di sisiku kembali menepuk lenganku dengan lembut. "Kalian akan segera bertemu lagi. Mungkin, kakakmu hanya sedang sibuk," katanya, seolah berusaha menghibur sekaligus menenangkanku.

"Iya."

"Aku Liz. Lizzy Adams."

"Ya?" Aku menoleh. Senyumnya masih hangat yang sesaat membuatku lupa pada senyum ibuku sendiri. "Oh. Aku Shixun," kataku karena ia masih menungguku memperkenalkan diri. "Shixun Ling."

***

Hai.
Selamat datang di cerita baru.
Semoga cerita ini bisa memberikan nuansa seperti Marijuana ataupun Prince of The City.
Semoga kamu suka ya.
Terima kasih

The Little Boy Who Slept in My Bed (Chanhun Brothership)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang