BAB 1: PROLOG Pt. 1

77 11 0
                                    

.

.
.
.
.

“Riesha! Ariesha! Cepat bangun!”

Archer, si bocah berusia 5 tahun yang terlihat berantakan dengan beberapa noda hitam di pipinya. Bocah lucu itu berkata dengan paniknya sambil mengguncang tubuh seorang gadis kecil yang seusia dengannya.

“Archer cepetan bangunin yang lain juga!” Kata seorang anak laki-laki berusia 10 tahun bernama Harun, dia juga sama berantakannya dengan Archer.

Harun juga terlihat sangat panik, sambil mendekati beberapa anak-anak yang lain, yang usianya lebih muda darinya. Harun kembali membangunkan teman-temannya, “Dimas! Syifa! Rizal! Luna! Cepat bangun!”

Ariesha terbangun karena terganggu dengan teriakan Archer dan Harun, ia mengucek mata lalu bertanya dengan nada khas anak kecil baru bangun tidur, “kenapa dibangunin tengah malam, kak? madam marah, ya?” Archer menggeleng lalu memeluk Ariesha erat.

Anak-anak yang lain juga ikut bangun karena keributan yang ada. Dimas yang baru berusia 6 tahun, Syifa dan Luna yang baru berusia 5 dan Rizal yang berusia 11 tahun perlahan bangun. Meraka hanya membangun anak-anak yang berada di satu  kamar' ini saja. Saat ini Anak-anak berpikir, sepertinya mereka melakukan suatu kesalahan sampai membuat mereka harus dihukum tengah malam seperti ini.

Setelah berhasil membangunkan anak-anak yang berada di kamar ini, Harun mengintruksikan agar mereka segera keluar, wajahnya masih terlihat panik, “cepet keluar dari sini!”

“Hah? Kenapa harus keluar? Madam mau nyiksa kita lagi? Emangnya ada yang buat salah apa lagi?” Tanya Rizal dengan raut wajah yang bingung sekaligus marah. "Siapa yang buat ulah sekarang?"

“Bukan! Udah, pokoknya keluar aja!” Harun berjalan di depan diikuti oleh Archer dan Ariesha di barisan kedua, disusul pula dengan anak-anak lainnya.

Archer mengangguk mengisyaratkan agar mereka bisa mengikuti Harun. Dapat terlihat wajah Rizal yang terlihat enggan tapi tetap mengikuti mereka karena melihat Archer yang begitu mempercayai Harun.

Luna berlari ke depan menyamakan langkahnya dengan Harun, sedangkan Dimas dan Syifa berjalan di barisan paling belakang dengan Archer yang berjalan di tengah sambil menuntun Ariesha sang kembarannya, sekaligus keluarga satu satunya yang ia miliki.

Saat ini mereka sedang berada di ruang tamu. Awalnya mereka berjalan biasa bahkan, Rizal masih mendebatkan beberapa hal dengan Harun. Atau lebih tepatnya bukan Harun dan Rizal yang tengah berdebat, tapi Rizal yang secara terus menerus bertanya pada Harun tentang beberapa hal dengan nada marah namun Harun tidak menjawab dan terus memimpin untuk tetap pergi keluar.

Rizal tiba-tiba mengatakan sesuatu yang menyadarkan semuanya, “ah, sial kenapa bangunannya tambah panas aja, sih.” Ucapnya di sela-sela ocehannya sambil mengibaskan bajunya untuk menghilangkan rasa panas yang ada.

Tanpa sadar rupanya dibelakang mereka terdapat sebuah kobaran api yang cukup besar. Setelah hampir sampai di ambang pintu, secara tiba-tiba terdengar seorang anak laki-laki yang berteriak dari belakang sana di ikuti dengan teriakan-teriakan histeris meminta tolong.

Harun dan yang lainnya menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat dua orang anak di antara 4 orang anak yang tengah berlari mendekat secara tiba-tiba terbakar yang disusul dengan ledakan yang sangat besar hingga menciptakan suara yang amat keras. Madam dan Tuan yang tengah berada di atas juga terdengar berteriak.

Dimas, Rizal, Ariesha, Luna dan Syifa tentu saja ikut berteriak ketakutan. Lain halnya dengan Harun yang justru menatap marah ke arah anak-anak yang mencoba berlari ke arah pintu—walaupun mereka tidak berhasil karena langsung terbakar, sedangkan Archer hanya memeluk Ariesha agar anak itu tidak melihat hal mengerikan yang tengah terjadi.

Harun menarik tangan Luna agar segera keluar dari bangunan ini. Harun menggunakan kain lap basah untuk membuka pintu. Tanpa pikir panjang mereka keluar, mengabaikan anak anak yang terpanggang di dalam, meskipun mereka semua juga terlihat mengkhawatirkan anak-anak itu.

Mereka terus berlari tanpa henti. Setelah merasa sudah cukup jauh, mereka di kagetkan dengan sebuah ledakan yang cukup besar untuk kedua kalinya, bahkan ledakan kali ini berkali-kali lipat lebih dahsyat dari ledakan sebelumnya yang bahkan bisa terdengar dari tempat mereka berada. Raut wajah mereka menjadi panik begitupun juga Ariesha, Ia terus menjerit ketakutan.

Harun yang masih sadar, mencoba menenangkan teman-temannya sambil berkata, "Ngga ada yang harus ditangisi. Ayo pergi, panti udah ngga aman."

Archer menghapus air matanya dengan kasar, mencoba menguatkan dirinya sendiri dulu. Mungkin Archer adalah anak yang paling muda diantara yang lainnya, namun umur hanyalah angka, nyatanya Archer selalu bersikap dewasa karena itu adalah hal yang selalu diajarkan Harun padanya. "Ayo pergi. Kita pergi ke desa buat minta bantuan." Ucap Archer yang sudah merasa lebih baik, meskipun dadanya terus merasa sesak.

Berjam jam mereka terus berjalan, membelah hutan belantara yang sangat gelap dengan hanya mengandalkan cahaya sang rembulan sambil terus berharap malam ini tidak turun hujan seperti biasanya. Sejujurnya tak pernah tahu jalan menuju desa, tapi Harun tahu dimana keberadaan jalan besar yang mungkin akan menuntun mereka menuju desa.

Entah sudah berapa jam mereka terus berjalan. Anak perempuan yang tak mampu berjalan mulai digendong oleh anak laki-laki yang lebih dewasa. Rizal yang menggendong Ariesha, Dimas menggendong Syifa dan Harun menggendong Luna. Mereka benar-benar berharap agar cepat menemui jalan besar.

Sayang sejak tadi, Syifa yang memiliki tubuh lebih lemah dari yang lainnya mulai mengeluhkan sesak nafas, tubuhnya mulai demam tinggi dan nafasnya mulai terdengar semakin berat membuat semua orang semakin panik. Ditengah kepanikan itu mereka melihat secercah cahaya yang rupanya berasal dari lampu-lampu jalan raya. Mereka semua gembira dan mulai merasa lega. Namun seperti keberuntungan belum memihak mereka karena rintik hujan mulai turun, bersamaan itu Syifa kehilangan kesadarannya.

Mereka kembali panik. Keadaan cukup kacau, Luna dan Ariesha yang terlihat menangis, begitupun Dimas yang sudah histeris, Rizal yang terus menerus berusaha menenangkan Dimas meskipun airmata membanjiri pipinya, Harun diam mematung sambil menatap Syifa sedangkan Archer mencoba tetap menenangkan dirinya, ia mencoba berpikir apa yang seharusnya dia lakukan alih-alih hanya menangis tanpa melakukan apapun.

Archer berlari kearah jalan yang sepi kendaraan. Archer berlari menyusuri jalanan itu berharap bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa membantunya. Bocah kecil itu terus berlari dengan semua sisa tenaganya, meski berusaha terlihat kuat, matanya tak dapat bohong. Air matanya mulai menggenang, siap terjun keluar satu demi satu. Tanpa disadari hujan semakin deras bersamaan dengan air matanya yang semakin deras pula. Sorot panjang lampu mobil mulai terlihat dari kejauhan, membuat Archer tersenyum lemah. "Akhirnya..."

Archer diam ditempat. Tepat ketika mobil itu semakin mendekat, Archer merentangkan tangannya. Ia melambai lambai kearah mobil. Archer benar-benar tidak peduli dengan kemungkinan dirinya yang akan tertabrak. Mobil yang bergerak dengan kecepatan normal itu mengerem mendadak tepat di depannya membuat Archer memejamkan matanya, saat itu Archer baru merasakan ketakutan ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan jas abu-abu menghampirinya.

Tidak, Archer tahu kalau ia tak boleh takut, karena jika ia merasa ketakutan hingga tak bisa meminta bantuan mungkin saja nyawa Syifa tidak bisa tertolong. "Tolong temanku..."

.
.
.
.
.

___________[To Be Continue]___________

SECRET STORY {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang